
Pelapor Khusus PBB Mendengar Kesaksian Korban Pelanggaran Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia
11 Juli 2025 Berita Wulan Andayani PutriOleh Wulan Andayani Putri
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak-Hak Masyarakat Adat Albert K. Barume bertemu dan mendengar kesaksian para korban pelanggaran Hak-Hak Masyarakat di berbagai wilayah Indonesia pada Rabu, 9 Juli 2025.
Pertemuan yang berlangsung secara terbatas di Bogor ini merupakan bagian dari kunjungan Albert yang bersifat akademik ke Indonesia. Sekalipun bukan kunjungan resmi kenegaraan, Albert menjadikan kunjungan ini untuk menghimpun informasi langsung dari korban sebagai bahan dalam mendorong perlindungan hak-hak Masyarakat Adat di tingkat Internasional.
Informasi dan kesaksian yang disampaikan oleh Masyarakat Adat Nusantara ini nantinya menjadi data yang dilaporkan Albert kepada Dewan HAM PBB. Sebab sebagai Pelapor Khusus PBB, Albert memiliki mandat dari Dewan HAM PBB untuk mendengar, mencatat, dan membawa persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat ke ranah global—baik melalui laporan tematik tahunan, komunikasi resmi kepada negara, maupun intervensi dalam forum-forum Internasional.
Intimidasi di Tanah Kei
Salah satu kesaksian datang dari Maimuna Renhoran, perempuan adat dari Kepulauan Kei Besar, Maluku Tenggara. Ia menceritakan pada Maret 2024, perusahaan PT Batulicin Beton Asphalt (BBA) yang terafiliasi dengan Grup Jhonlin masuk ke wilayah adat mereka dengan menggunakan kapal milik Kementerian Pertahanan. Proyek ini diklaim sebagai bagian dari program food estate dan difasilitasi langsung oleh pemerintah daerah dan tokoh-tokoh militer.
“Tanah kami dilepaskan hanya dengan imbalan Rp 20.000 per meter untuk jangka waktu 3 –5 tahun, tapi yang dibayar hanya Rp 8.000. Belakangan kami tahu kontraknya 15 tahun, dan keluarga yang mewakili kami tidak pernah menerima salinannya,” ujar Maimuna.
Ia menjelaskan pelepasan tanah hanya dilakukan oleh sebagian perwakilan Masyarakat Adat tanpa partisipasi menyeluruh. Hingga kini, 91 hektare lahan telah ditambang, termasuk area sakral dan sumber air masyarakat. Penambangan tanah Masyarakat Adat ini bertujuan untuk mendapatkan batu gamping yang disebut sebagai penadah air, yang jika dieksploitasi akan menyebabkan banjir dan longsor.
Maimuna menegaskan Masyarakat Adat bukan menolak pembangunan. Tapi, proses penambangan yang dilakukan perusahaan telah mencederai hak dan martabat mereka sebagai Masyarakat Adat.
“Gunung-gunung kami rusak, peninggalan leluhur sudah tidak ada,” terangnya.
Atas permasalahan ini, Maimuna mengajukan tiga tuntutan yang disampaikannya secara langsung kepada Pelapor Khusus PBB. Tiga tuntutan tersebut adalah menghentikan seluruh aktivitas PT BBA yang disebut tidak memiliki izin produksi, menjamin perlindungan wilayah adat dan pulau-pulau kecil, serta mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Seorang perwakilan Masyarakat Adat dari Maluku sedang memberi kesaksian tentang tanah Kei yang dirampas perusahaan tambang. Dokumentasi AMAN
Klaim Sepihak dan Kriminalisasi di Seko
Kesaksian lain datang dari Simon Paorongan dari Komunitas Masyarakat Adat Hono di Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Simon menuturkan tanah adat mereka telah diklaim sepihak oleh PT Seko Fajar Plantation sejak 30 tahun lalu, meskipun tidak pernah ada kesepakatan dengan Masyarakat Adat.
“Nenek moyang kami tidak pernah memberikan sejengkal pun tanah untuk perusahaan itu. Tapi kemudian keluar Hak Guna Usaha, katanya berdasarkan daftar hadir pertemuan awal. Kami anggap ini tipu muslihat,” tegasnya.
Simon menceritakan saat itu, perusahaan berencana membuka kebun teh seluas 4.000 hektare, namun tidak ada satu pun pohon teh yang ditanam. Belakangan, Bank Tanah bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) datang ke Seko dan mengklaim akan mengambil alih tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) untuk negara.
“Tanah itu bukan kosong. Itu kampung kami. Ada bekas sawah, kolam, peternakan. Kami keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Dulu perusahaan, sekarang negara lewat Bank Tanah,” ujarnya.
Simon menegaskan komunitas Masyarakat Adat menolak kehadiran Bank Tanah di wilayah adat. Sejumlah patok yang telah dipasang Bank Tanah dicabut. Akibatnya, 14 orang diproses hukum oleh Polda karena dianggap mencabut patok secara ilegal.
“Padahal itu keputusan musyawarah bersama. Tanah itu milik kami,” imbuhnya.
Terkait hal ini, katanya, Masyarakat Adat di Seko menyampaikan empat tuntutan yaitu menghentikan aktivitas Bank Tanah, menjamin keamanan 14 warga yang dikriminalisasi, memastikan pelaksanaan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), serta mendesak pencabutan klaim HGU PT Seko Fajar Plantation.
Skema Bank Tanah Mendapat Sorotan
Direktur Advokasi AMAN Muhammad Arman menyatakan skema Bank Tanah menjadi instrumen negara untuk mengambil tanah-tanah adat yang belum diakui secara hukum.
“Bank Tanah bekerja dengan logika bahwa tanah yang tak punya sertifikat atau pengakuan formal dianggap sebagai tanah negara. Ini mempercepat perampasan wilayah adat,” ujarnya.
Arman menyebutkan absennya pengakuan legal terhadap wilayah adat membuat Masyarakat Adat sangat rentan terhadap perampasan.
“Dulu tanah diambil untuk tambang dan perkebunan. Sekarang, tanah eks HGU yang belum disertifikasi hendak diambil lagi lewat Bank Tanah,” katanya.
***
Penulis adalah staf Infokom PB AMAN