
Masyarakat Adat Gelar Konsolidasi Menyiapkan Aksi Cabut Izin Toba Pulp Lestari
02 Juli 2025 Berita Maruli SimanjuntakOleh Maruli Simanjuntak
Masyarakat Adat yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup Toba Pulp Lestari menggelar konsolidasi di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara pada Rabu, 25 Juni 2025 menyusul aksi intimidasi yang dilakukan karyawan dan petugas keamanan TPL terhadap Masyarakat Adat keturunan Ompu Umbak Siallagan dua pekan lalu.
Konsolidasi yang dihadiri Masyarakat Adat, organisasi masyarakat sipil, lembaga adat, pemuda, dan tokoh agama ini bertujuan untuk mendesak pencabutan izin operasional perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Sebagaimana termaktub dalam pernyataan sikap bersama mereka dalam acara konsolidasi yang menilai TPL tidak layak berada di Tano Batak dan harus segera ditutup secara permanen. Kehadiran TPL dianggap merusak lingkungan, menghancurkan hutan adat, mengeringkan sumber air, dan menciptakan konflik sosial.
Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Tano Batak Jhontoni Tarihoran menyatakan konsolidasi ini bukan sekadar memperkuat solidaritas lintas komunitas, tetapi juga menjadi momen strategis untuk menyusun langkah bersama dalam menghadapi dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan TPL selama puluhan tahun beroperasi di kawasan Danau Toba.
Selain itu, Jhontoni juga menyoroti konflik yang terjadi antara TPL dan Masyarakat Adat Tano Batak selama ini berawal dari penetapan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan.
“Negara memberikan izin konsesi tanpa penataan batas yang jelas terhadap tanah adat. Itulah penyebab konflik TPL dengan Masyarakat Adat hingga berkepanjangan sampai saat ini,” kata Jhontoni disela acara konsolidasi di Samosir.
Jhontoni menyinggung kasus kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan, petani adat yang sempat divonis dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar karena bertani di atas tanah adatnya sendiri. Di tingkat banding, Sorbatua Siallagan dibebaskan, dan putusan itu diperkuat oleh Mahkamah Agung.
“Ini bukti perjuangan Masyarakat Adat direstui leluhur dan sesuai koridor hukum, ” terangnya.
Ketua PH AMAN Tano Batak Jhontoni Tarihoran sedang berbicara di acara konsolidasi. Dokumentasi AMAN
Kehadiran TPL Ditolak Masyarakat
Josua Sihite dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) bahwa sejak awal kehadiran TPL - ketika masih bernama Indorayon - perusahaan ini telah ditolak oleh Masyarakat Adat karena tidak menghormati hak-hak mereka.
Dikatakannya, penolakan ini berdasarkan pertimbangan dampak dari keberadaan perusahaan TPL tersebut sangat nyata: bencana ekologis seperti longsor dan banjir bandang.
Kemudian, Josua memaparkan berdasarkan data yang mereka miliki menunjukkan bahwa 260 orang Masyarakat Adat pernah dipanggil oleh kepolisian akibat berkonflik dengan TPL, sebagian diantaranya dipenjara. Kemudian, lebih dari 470 orang mengalami kekerasan fisik dari karyawan TPL saat mereka mempertahankan tanah adat.
Ketua Lembaga Adat Samosir, Pantas Marroha Sinaga mengatakan jika praktik penguasaan tanah oleh negara dan korporasi terus dibiarkan, maka dalam dua puluh tahun ke depan Masyarakat Adat bisa kehilangan seluruh ruang hidupnya. Menurut Pantas Marroha, situasi ini tidak boleh dibiarkan karena yang menanggung resiko ini nantinya anak cucu mereka. Karena itu, serunya, kita tak bisa terus berharap pada pemerintah yang ambigu.
“Sudah saatnya hukum adat dan rakyat mengambil sikap. TPL harus ditutup,” tegasnya.
Para Pendeta HKBP Siap Turun ke Jalan Ikut Aksi
Dukungan untuk menutup TPL juga datang dari kalangan gereja. Praeses HKBP Distrik VII Samosir Pdt. Rintalori Sianturi mengingatkan menjaga lingkungan adalah bagian dari panggilan iman. Pdt. Rintalori menyatakan para pendeta HKBP siap turun ke jalan untuk menyuarakan panggilan iman tersebut.
“Para pendeta HKBP Distrik VII siap turun ke lapangan jika ada aksi. Kami akan menyuarakan tanah ini adalah titipan Tuhan. Menjaganya merupakan kewajiban moral dan spritual,” ujarnya.
Pdt. Rintalori menambahkan perlindungan lingkungan hidup merupakan bagian dari suara kenabian. Ia juga menyebut Ephorus HKBP saat ini aktif membangun dialog lintas agama dan menjalin kerja sama dengan lembaga negara demi memperjuangkan lingkungan di Tano Batak.
Rehat Pardosi dari Pemuda Katolik yang hadir dalam acara konsolidasi juga menyatakan sikap tegas menolak kehadiran TPL. "Kami menolak keberadaan TPL yang telah merusak lingkungan dan mengkriminalisasi Masyarakat Adat, termasuk para orang tua dan tokoh adat yang mempertahankan tanah adatnya," katanya.
Pemerintah Bisa Mencabut izin TPL
Tokoh Masyarakat Adat di Samosir Pahala Tua Simbolon menegaskan tahun 2025 harus menjadi tahun terakhir TPL beroperasi di Tano Batak. Pahala pun mencontohkan sikap pemerintah yang mencabut izin tambang nikel di Raja Ampat Papua karena merusak lingkungan.
“Pemerintah bisa mencabut izin tambang di Raja Ampat, kenapa izin TPL tak bisa dicabut. Padahal, perusahaan itu jelas-jelas merusak kawasan Danau Toba,” katanya.
Pahala pun mengajak masyarakat untuk bersatu dalam gerakan perlawanan menutup operasional TPL di Tano Batak.
“Sudah saatnya rakyat bergerak dan bersatu untuk mengusir perusahaan perusak lingkungan,” serunya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Tano Batak, Sumatera Utara