Oleh Febrianus Kori

Di tepi hutan gambut,  Masyarakat Adat Dayak Kanayatn Binua Sunge Samak hidup dengan kearifan yang telah diajarkan leluhur : menjaga air dan tanah

Bagi Masyarakat Adat  yang tinggal di Kecamatan Sungai Ambawang, Kalimantan Barat ini,  merawat tradisi bukan sekadar tugas, melainkan menjaga keseimbangan alam (hutan dan gambut) demi kelangsungan hidup dan warisan bagi anak cucu di kemudian hari.

Wilayah adat Binua Sunge Samak berada di dataran rendah. Sekitar 70 persen dari wilayah ini berupa tanah bergambut, bukan tanah mineral seperti di banyak daerah lain.

Kondisi ini membuat Masyarakat Adat sangat bergantung pada ekosistem gambut. Namun, selama 20 tahun terakhir, mereka hidup dalam ketidaknyamanan akibat perubahan tata ruang dan kerusakan lingkungan.

Gulwadi, salah seorang anggota komunitas Masyarakat Adat Dayak Kanayatn Binua Sunge Samak, masih mengingat bagaimana kondisi gambut dulu mampu menahan air hingga kedalaman 1–2 meter. Namun, keadaan berubah drastis setelah perusahaan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) masuk ke wilayah adat.

“Dulu gambut membuat air tertahan dan kami hidup tenang. Tapi sejak 20 tahun terakhir, ketika tata ruang diubah dan perusahaan masuk, banjir semakin meluas dan tinggi. Hidup kami tidak lagi aman,” kata  Gulwadi pada Rabu, 30 Juli 2025.

Dikatakannya, air banjir yang kerap melanda kampung mereka kini berwarna hitam akibat serapan gambut dan akar kayu. Bahkan, akhir-akhir ini warnanya berubah kecokelatan, membuat masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih.

Data pemantauan lingkungan memperkuat kesaksian itu. Lorensius, pegiat lingkungan yang tergabung dalam Brigade Pengamanan Hutan dan Gambut Kubu Raya menjelaskan luas lahan gambut di Kubu Raya mencapai 342.984 hektare atau sekitar 60 persen dari total wilayah Kabupaten. Di Kecamatan Sungai Ambawang, terdapat tiga perusahaan sawit—PT Palmdale Agro Asia, PT Bumi Pratama Khatulistiwa, dan PT Graha Agro Nusantara—serta satu Hutan Tanaman Industri :  PT Kalimantan Subur Permai. Lorensius menyebut perusahaan-perusahaan tersebut membuka lahan gambut skala luas.

Menurutnya, 15 tahun terakhir iklim semakin panas, banjir makin besar, dan banyak drainase alam tidak berfungsi lagi karena gambut hilang.

Kesaksian Masyarakat Adat

Tetua adat Amiang menyatakan keberadaan Masyarakat Adat Dayak Kanayatn Binua Sunge Samak sudah lama, jauh sebelum negara ini ada.  Mereka dititipi tanah, hutan, dan sungai oleh leluhur untuk dijaga dan dilestarikan.

“Kami sudah ada di sini sejak tahun 1700-an, jauh sebelum negara ini ada,” tuturnya pada Kamis, 31 Juli 2025.

Amiang mengenang masa lalu ketika wilayah adat dipenuhi pepohonan besar, buah-buahan hutan, serta gambut yang terjaga. Saat itu, banjir tak pernah terjadi dan Masyarakat Adat hidup berdaulat atas tanahnya. Kini, sebutnya, hewan buruan sulit ditemukan, ladang padi makin jarang dan sungai mulai tercemar.

Perubahan ini juga dirasakan oleh Sriwikensi, ibu rumah tangga sekaligus pekerja lepas dari Masyarakat Adat Dayak Kanayatn Binua Sunge Samak.

Ia merasakan cuaca sekarang ini semakin panas.  Pada Januari 2025, mereka mengalami banjir hebat selama lebih dari dua bulan. Tiga desa terdampak—Lingga, Pancaroba, dan Teluk Bakung.

“Kampung kami sudah tidak aman, banjir terus. Kami terpaksa mengungsi,” ujarnya.

Sejumlah pemuda berdiri ditengah lahan gambut yang telah terbakar. Dokumentasi AMAN

Sahkan Undang-Undang Masyarakat Adat

Franseda, salah seorang pemuda adat menyampaikan kegelisahannya atas bencana banjir yang kerap melanda kampungnya. Ia menyebut banjir yang terjadi selama ini disebabkan kerusakan lingkungan. Sebagai generasi penerus, Franseda bersama rekan-rekannya berupaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih parah.  Salah satu buktinya gambut  telah hilang di Binua Sunge Samak.  

Menurutnya, kerusakan ini bukan hanya persoalan lingkungan tetapi lebih pada persoalan hidup, sejarah dan masa depan komunitas Masyarakat Adat.

“Tradisi leluhur kami sejak dulu merawat lingkungan menjadi hal yang rutin dilakukan setiap hari. Namun, semua itu terancam oleh kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada Masyarakat Adat. Banyak lingkungan yang dirusak,” paparnya.

Franseda mengatakan kerusakan lingkungan ini tidak boleh dibiarkan terus menerus. Mereka  berupaya akan melakukan pencegahan, salah satunya mencegah masuknya para perusak lingkungan ke wilayah adat agar hidup Masyarakat Adat aman.   

“Sejak dulu kami diajarkan oleh orangtua untuk menjaga tanah, air, hutan, dan gambut. Jika tanah, hutan, dan air dirusak maka kehidupan Masyarakat Adat ikut hancur,” terangnya.

Franseda berharap negara hadir melindungi Masyarakat Adat, caranya segera sahkan Undang-Undang Masyarakat Adat yang sudah mangkrak belasan tahun di DPR RI.

“Undang-Undang Masyarakat Adat harus segera disahkan karena akan menjadi payung hukum yang sangat penting untuk melindungi Masyarakat Adat Nusantara, baik di kampung, pulau terpencil, pegunungan, maupun pesisir,” tegasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Barat

Writer : Febrianus Kori | Kalimantan Barat
Tag : Kalimantan Barat Adat Dayak Kanayatn Binua Sunge Samak Akibat Kerusakan Lingkungan