Masyarakat Adat Balassuka Terapkan Strategi Dalam Menghadapi Perubahan Iklim
28 Oktober 2025 Berita Sahrul GunawanOleh Sahrul Gunawan
Komunitas Masyarakat Adat Balassuka di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan telah merasakan dampak perubahan iklim dalam hidupnya. Bencana alam hingga kelangkaan air, memacu komunitas berpenduduk 2.678 jiwa ini untuk mengembangkan strategi adaptasi dan ketahanan.
Terletak di ketinggian 600-1.000 meter di atas permukaan laut, kehidupan Masyarakat Adat Balassuka masih sangat lekat dengan alam. Sebanyak 60 persen rumah Masyarakat Adat masih berbentuk panggung tradisional dari kayu dan bambu, dengan aktivitas harian berpusat pada pertanian dan persawahan yang dikelola secara tradisional.
“Ompo (hutan adat) adalah pelindung utama dan sumber penghidupan kami. Jika rusak, kami yang akan paling terdampak,” kata Jumri, salah seorang Masyarakat Adat Balassuka di rumahnya pada bulan Agustus 2025.
Jumri menyatakan dampak perubahan iklim sangat terasa oleh Masyarakat Adat Balassuka. Disebutnya, pada Februari 2024 banjir bandang dan longsor yang dipicu curah hujan ekstrem merusak sawah, kebun, dan sejumlah rumah warga di sepanjang Sungai Tanggarra. Sebaliknya, saat musim kemarau, masyarakat menghadapi kekeringan yang membuat sumur tradisional dan mata air mengering.
Menghadapi tantangan ini, sebutnya, Masyarakat Adat tidak tinggal diam. Secara swadaya dan gotong royong, mereka membangun tanggul, memperbaiki saluran air, merawat mata air, dan membangun bak penampungan.
“Kami terus menjaga wilayah adat, terutama hutan dan sumber air untuk diwariskan ke generasi selanjutnya,” ujar Musyahyuddin, salah seorang Masyarakat Adat Balassuka lainnya.
Musyahyuddin menambahkan hutan adat memegang peran sentral dalam kehidupan mereka. Selain sebagai sumber air untuk minum, mengairi sawah, dan kebutuhan sehari-hari, hutan juga menyediakan kayu bakar, bambu, rotan, madu, umbi-umbian, dan tanaman obat seperti Raung tobo-tobo.
Namun, imbuhnya, dominasi pohon pinus yang terus meluas mengancam kelestarian hutan asli dan keanekaragaman hayati.
“Ancaman lain adalah infrastruktur yang masih terbatas. Jalan tanah yang menjadi licin di musim hujan dan berdebu di kemarau menyulitkan akses, termasuk untuk mendapatkan layanan kesehatan,” ungkap Musyahyuddin.
Ia mencontohkan untuk mencapai rumah sakit, warga harus menempuh perjalanan sekitar 100 kilometer ke ibukota Kabupaten.
Dikatakannya, di tengah segala tantangan tersebut, Masyarakat Adat Balassuka bertekad mempertahankan tradisi dan pengetahuannya. Generasi muda dan tua menyadari bahwa menjaga hutan dan sumber daya alam berarti menjaga masa depan yang dapat diwariskan untuk generasi berikutnya.
Musyahyuddin mengatakan mereka membuka diri untuk berkolaborasi menjaga sumber daya alam dan tradisi leluhur. Dukungan pemerintah dan pihak terkait sangat dibutuhkan untuk memperkuat pengelolaan hutan adat, menyediakan infrastruktur air bersih yang memadai dan membantu komunitas Masyarakat Adat Balassuka menghadapi tantangan perubahan iklim yang kian nyata.
Krisis Lingkungan
Basri, seorang pemuda adat dari komunitas Masyarakat Adat Suka, menyuarakan keprihatinan mendalam mengenai krisis multidimensi yang sedang melanda wilayah adatnya. Perubahan ekosistem, kelangkaan air, gagal panen, hingga migrasi pemuda dinilainya mengancam keberlangsungan budaya dan penghidupan Masyarakat Adat.
“Kami tidak menolak kemajuan, tapi kemajuan jangan sampai merusak penghidupan kami,” kata Basri saat ditemui di kediamannya, Minggu (3/8/2025).
Menurut Basri, cuaca di wilayah adatnya kini terasa lebih panas daripada masa lalu. Ia menyoroti berkurangnya populasi tanaman kayu lokal dan meluasnya pohon pinus sebagai penyebab utama.
“Pertumbuhan pinus yang semakin pesat mulai nampak dari pinggir hutan adat. Ini mengancam sumber penghidupan kami, sumber air surut, dan suhu terasa lebih panas,” ujarnya.
Hutan adat yang merupakan sumber kehidupan masyarakat untuk pangan, obat-obatan, air, dan kayu bakar, disebutnya telah berubah drastis. Dominasi pinus yang menyerap air dalam jumlah besar mengancam keanekaragaman hayati dan ekosistem.
“Dampak paling nyata adalah penurunan volume air. Masyarakat Adat yang sebelumnya bergantung pada sumber air alami, kini mengandalkan saluran pipa dari mata air untuk kebutuhan sehari-hari,” ungkap Basri.
Dikatakannya, kondisi ini kian parah pada musim kemarau, khususnya bulan Juli-Agustus, di mana hampir semua keluarga mengalami kekurangan air dan hanya mengandalkan penampungan di rumah masing-masing.
Ancaman lainnya adalah migrasi generasi muda. Basri menuturkan, banyak pemuda yang memilih bekerja di luar desa, terutama mereka yang mengenyam pendidikan tinggi di kota. Hal ini, menurutnya, mengancam kelanjutan tradisi dan budaya leluhur.
“Banyak anak muda pergi ke kota mencari kerja, kondisi ini mengancam kelanjutan tradisi adat kami,” tutur Basri.
Sejumlah anak sedang membantu orangtuanya ikut mengumpulkan jerami untuk makanan sapi pasca panen padi di sawah. Dokumentasi AMAN
Krisis Pangan
Sangnging, seorang perempuan adat mengaku dalam sepuluh tahun terakhir gagal panen sering terjadi akibat serangan hama seperti keong, tikus, ulat, dan gulma. Perubahan pola iklim juga diduga menyebabkan merebaknya penyakit seperti demam, diare, gatal-gatal, dan sakit kepala.
“Akhir-akhir ini kami sering mengalami gagal panen dan sering sakit demam, diare, dan sakit kepala,” tutur Sangnging pada Senin (4/8/2025).
Ia menambahkan tanaman obat tradisional masih menjadi andalan pengobatan, namun sumber daya alam tersebut ikut terancam seiring kerusakan hutan adat.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Gowa, Sulawesi Selatan