Oleh Isnah Ayunda dan Dika Setiawan

Masyarakat Adat yang terikat kuat dengan keanekaragaman hayati dan praktik pertanian tradisional telah terbukti mampu menyediakan ragam pangan yang berlimpah secara berkelanjutan tanpa merusak ekosistem.

Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat 4,9 juta hektar areal budidaya Masyarakat Adat sebagai fondasi dari sistem pangan lokal yang mandiri dan berkelanjutan. Semua ini akan terus berkembang jika wilayah Masyarakat Adat diakui dan dilindungi.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyatakan selama wilayah adat  belum diakui dan dilindungi, ancaman terhadap pangan lokal dan hutan tetap besar.  Rukka menegaskan negara harus hadir untuk mengatasi ancaman ini, caranya segera sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat dan perluas pengakuan wilayah adat, termasuk hutan adat, tanah ulayat, dan wilayah pesisir.

“Itulah jalan untuk memastikan masa depan pangan, alam, dan bangsa,” kata Rukka Sombolinggi disela perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) bertajuk “Memperkuat Hak Menentukan Nasib Sendiri : Jalan Menuju Kedaulatan Pangan”  di Kasepuhan Guradog, Kabupaten Lebak, Banten pada Sabtu, 9 Agustus 2025.

Rukka menambahkan jika negara bergerak sekarang, bukan hanya melindungi Masyarakat Adat, tetapi juga mengamankan masa depan pangan, hutan, dan keanekaragaman hayati Indonesia.

“Menunda berarti kehilangan. Bertindak berarti memastikan Indonesia tetap berdiri kokoh, berdaulat, dan dihormati dunia,” tegasnya.

Pengakuan Hutan Adat Masih Lambat

Kepala BRWA Kasmita Widodo menyebut hingga Agustus 2025, tercatat lebih dari 33,6 juta hektar wilayah adat (tepatnya 33.646.496 hektar) telah dipetakan dan didaftarkan ke BRWA, mencakup ribuan komunitas Masyarakat Adat yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.

Kasmita menjelaskan peta wilayah adat adalah manifestasi dari semangat Masyarakat Adat dalam menunjukkan diri dan menentukan nasibnya sendiri dalam menjaga dan mengelola wilayah adatnya. Namun, dari luas wilayah adat yang telah terpetakan tersebut, sebutnya, baru 18,9 persen yang telah diakui secara hukum oleh negara melalui Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah.

Kasmita mengakui perkembangan pengakuan hutan adat, tanah ulayat, maupun pesisir laut yang menjadi bagian dari wilayah adat masih sangat lambat. Kesenjangan yang mencolok antara peta dan pengakuan ini menjadi bukti bahwa negara masih tertinggal dalam mengimbangi inisiatif Masyarakat Adat yang telah lebih dahulu bergerak. 

Untuk itu, katanya, pengakuan menjadi fondasi penting dari upaya perlindungan dan pemajuan hak Masyarakat Adat. Kemudian, negara harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat untuk menjaga Indonesia tetap kokoh identitas ragam budayanya dan lestari keanekaragaman hayatinya.

“Keduanya modal penting memastikan Indonesia Emas 2045 bagi generasi kini, mendatang yang berlanjut hingga jauh ke masa depan,” kata Kasmita Widodo. 

Kasmita menambahkan sampai saat ini, pemerintah tidak memiliki program pendataan terkait jumlah komunitas Masyarakat Adat dan wilayah adat yang dapat dipertangungjawabkan. Sementara, Asta Cita semestinya mampu secara konkret mengakui dan melindungi ruang hidup Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Kasmita mencatat luasan izin di wilayah adat masih lebih besar dari pada cakupan luas wilayah adat yang diakui melalui produk hukum daerah yakni 21,6 persen (7,3 juta hektar) berbanding 18,9 persen (6,3 juta hektar).

Kepala BRWA Kasmita Widodo (kiri) sedang menyerahkan peta wilayah adat kepada pejabat dari Kementerian Pertanian. Dokumentasi AMAN

Penghancuran Hutan Adat di Papua

Kasmita menyatakan belakangan ini banyak Masyarakat Adat yang mengalami penghancuran wilayah adat, seperti yang terjadi di Papua Selatan. Masyarakat Adat di tanah Papua ini harus berhadapan dengan ratusan bolduser yang menghancurkan wilayah adatnya.

Mama Yasinta Moiwend, perempuan adat dari Suku Malind  mengatakan Proyek Strategis Nasional (PSN) telah merenggut keberlangsungan hidup Masyarakat Adat Suku Malind. Pejuang tanah adat di Papua Selatan ini mengatakan apa yang dilakukan pemerintah saat ini terhadap tanah Papua, melalui PSN merupakan tindakan penghancuran hutan adat. 

Menurutnya, tindakan penghancuran hutan adat yang terjadi saat ini di tanah Papua sama artinya dengan menghancurkan dan mencabik cabik rahim Masyarakat Adat. Sebab, dari situlah (hutan adat) tergantung hidup Masyarakat Adat.

“Jika tidak kami lawan penghancuran hutan adat di tanah Papua, maka rahim kami akan hilang,” tegasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Timur dan Banten Kidul

Writer : Isnah Ayunda dan Dika Setiawan | Kalimantan Timur dan Banten Kidul
Tag : Masyarakat Adat Penopang Kedaulatan Pangan