
Keseimbangan Alam di Komunitas Masyarakat Adat Dalem Tamblingan Bali Menjadi Rentan Akibat Alih Fungsi Lahan
01 September 2025 Berita Komang Era PatrisyaOleh Komang Era Patrisya
Masyarakat Adat Dalem Tamblingan mengeluhkan perubahan cuaca yang terjadi dalam satu dekade terakhir. Di wilayah adat tertua yang berlokasi di Bali Utara ini kerap turun hujan hingga menyebabkan banjir dan longsor.
Padahal, wilayah yang mencakup empat desa adat : Gobleg, Munduk, Gesing, Umejero ini memiliki kawasan hutan dan danau seluas 1.312 hektare yang dikenal dengan nama Alas Mertajati. Namun, kualitas hutan di empat desa adat yang disebut Catur Desa ini mulai menurun akibat maraknya praktik illegal logging, perburuan liar hingga pencurian tanaman hias.
Putu Ardana selaku Ketua Tim Sembilan Adat Dalem Tamblingan menyatakan hujan lebat yang melanda komunitas Masyarakat Adat Dalem Tamblingan akhir-akhir ini menyebabkan perkampungan mereka kerap dilanda banjir dan longsor. Di Desa Gobleg misalnya, banjir bandang kecil yang disebut blabar semakin sering terjadi. Padahal, selama ini Desa Gobleg termasuk yang tidak pernah dilanda banjir.
Namun, banjir yang melanda komunitas Masyarakat Adat Dalem Tamblingan ini tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Masyarakat Adat hanya kehilangan harta benda seperti sepeda motor yang hanyut terbawa derasnya banjir.
“Banjir yang melanda komunitas Masyarakat Adat Dalem Tamblingan ini disebabkan perubahan pola budidaya dan alih fungsi lahan,” kata Putu Ardana belum lama ini.
Elman, salah seorang pemuda desa menuturkan bahwa pembangunan resort dan villa baru tanpa tata kelola air yang baik membuat situasi di perkampungan Masyarakat Adat semakin parah. Sumber mata air yang biasa digunakan Masyarakat Adat menjadi keruh. Elman juga menyebut banjir kerap terjadi akibat maraknya pembanguan resort tanpa tata kelola tersebut.
Elman mencontohkan di Desa Umejero, banjir dengan ketinggian air sekitar 15 sentimeter pernah terjadi hingga berdampak terhadap rumah warga.
Selain curah hujan yang ekstrem, perubahan cuaca yang melanda komunitas Masyarakat Adat Dalem Tamblingan juga terkadang menyebabkan wilayah Catur Desa pernah mengalami kemarau panjang. Kondisi ini berdampak langsung pada hasil panen kopi dan cengkeh, bahkan sempat menyebabkan gagal panen.
Di Banjar Asah Gobleg, yang berada di ketinggian sekitar 1.200 meter, cengkeh dulu sulit tumbuh karena cuacanya terlalu dingin. Kini, sebut Elman, cengkeh mulai berbunga meski hasilnya belum maksimal. Menurut Elman, peningkatan suhu ini tidak lepas dari perubahan tata guna lahan.
“Dulu kawasan Tamblingan dipenuhi pohon besar seperti pohon dadap yang berfungsi sebagai peneduh tanaman kopi, sekaligus menjaga kesegaran udara. Kini, pohon-pohon tersebut banyak berkurang. Lahan hijau yang dulu rimbun berubah menjadi kebun sayur, kebun bunga, hingga villa dan hotel,” paparnya.
Keseimbangan Alam Menjadi Rentan
Wilayah Tamblingan dilaporkan memiliki sumber air yang melimpah. Namun, akses untuk memanfaatkannya masih menjadi masalah.
Putu Ardana mencontohkan di Desa Gobleg dan Munduk, tepatnya di Banjar Asah Gobleg dan Banjar Tamblingan, Masyarakat Adat yang tinggal di dataran tinggi tersebut kesulitan mengambil air karena sumbernya berada di bawah pemukiman warga.
Dikatakannya, berbagai upaya sudah pernah dicoba untuk mengatasi kesulitan air ini, seperti membuat penampungan air hujan, mengambil air dari Yeh Mua (sumber mata air di tengah hutan), hingga menggunakan pompa hidrolik. Sayangnya, sebut Putu Ardana, dalam beberapa tahun terakhir pompa tersebut sering bermasalah sehingga Masyarakat Adat kesulitan mendapatkan air. Ada yang akhirnya menyedot air langsung dari danau, ada pula yang membuat sumur bor pribadi.
“Air kita sebenarnya masih cukup, bahkan berlebih. Masalahnya ada diakses,” jelas Putu Ardana.
Sementara di Desa Gesing dan Umejero, kondisi air relatif lebih aman. Namun, debit beberapa sumber mata air sudah mulai mengecil, bahkan ada yang kering.
Putu mengatakan berkurangnya ketersediaan air dan meningkatnya suhu dipengaruhi oleh alih fungsi lahan. Dulu, kopi menjadi tanaman utama Masyarakat Adat Tamblingan. Namun, belakangan kebun kopi banyak diganti dengan cengkeh, tanaman sayur, atau bunga musiman. Bahkan, ada pula kebun yang dialih fungsikan menjadi hotel, villa, dan properti lainnya.
“Perubahan ini membuat keseimbangan alam di wilayah adat Tamblingan semakin rentan,” ujarnya.
Pertanian Menjadi Pilar Utama
Pertanian menjadi salah satu pilar utama kehidupan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan. Di wilayah adat ini, dulunya kopi menjadi tanaman utama, sawah juga masih banyak. Namun, sejak tahun 1980-an, terjadi pergeseran. Banyak lahan kopi dan sawah beralih menjadi kebun cengkeh. Pergeseran ini terjadi karena dua alasan. Pertama, faktor ekonomi, di mana harga cengkeh saat itu lebih tinggi sehingga dianggap lebih menguntungkan. Kedua, faktor lingkungan, khususnya menurunnya debit air. Banyak sawah tidak lagi bisa ditanami padi karena kekurangan air, sehingga kemudian diubah menjadi kebun cengkeh. Namun beberapa tahun terakhir banyak pohon cengkeh yang terserang jamur akar putih.
Alin, seorang pemuda adat dari Desa Munduk menyebut sawah di desanya kini sudah sangat sedikit karena sebagian besar telah berubah menjadi bangunan. Akibatnya, Masyarakat Adat Dalem Tamblingan belum bisa dikatakan mandiri pangan.
“Dulu sawah dan kebun kita menghasilkan banyak makanan. Sekarang, sebagian besar bahan pangan harus dibeli di pasar,” ujarnya.
Menurut Putu Ardana, perubahan pola konsumsi yang terjadi di masyarakat berdampak pada kesehatan. Jika dahulu 90 persen bahan makanan berasal dari hasil pertanian lokal, namun kini masyarakat sangat bergantung pada bahan pangan dari luar. Dampaknya, penyakit seperti asam urat, diabetes, dan hipertensi makin banyak dijumpai .
Meski demikian, akunya, angka stunting relatif rendah, berkat penyuluhan gizi rutin melalui posyandu dan akses kesehatan yang membaik. Obat tradisional seperti kunyit, jahe, dan daun piduh masih digunakan Masyarakat Adat.
Pohon-pohon di kawasan hutan Tamblingan banyak ditebang oleh praktek ilegal logging. Dokumentasi AMAN
Pohon di Hutan Banyak Ditebang
Wilayah Adat Dalem Tamblingan memiliki 17 Pura. Tak heran, wilayah Alas Mertajati ini disebut kawasan suci yang tidak boleh diganggu, kecuali untuk kepentingan upacara adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat Adat Dalem Tamblingan.
I Made Suparna, salah satu tokoh Masyarakat Adat Tamblingan, menyayangkan kualitas hutan di Alas Mertajati mulai menurun akibat maraknya praktik illegal logging, perburuan liar, hingga pencurian tanaman hias. Diakuinya, kalau dilihat dari luar Alas Mertajati masih tampak bagus, tapi kalau masuk ke dalam sudah sangat terlihat perubahannya.
“Banyak pohon-pohon yang ditebang,” ungkap I Made Suparna.
Tokoh adat yang sudah berusia 80 tahun ini menambahkan praktik illegal logging ini berdampak pada hewan yang ada di dalam hutan. Beberapa hewan sudah mulai langka seperti kijang, bahkan ada juga hewan yang sudah tidak bisa ditemukan lagi seperti kakapan — sejenis musang dan Ijah —kera hitam berekor panjang.
I Made Suparna menyatakan dalam beberapa tahun terakhir, penebangan liar memang mulai berkurang di kawasan hutan Tamblingan. Namun, hal itu diyakini bukan karena para pelaku berhenti, melainkan karena pohon-pohon yang dicari sudah semakin sedikit dan bahkan mulai langka.
Disebutnya, selama ini Masyarakat Adat Dalem Tamblingan sangat merawat hutan. Hal itu dilakukan bukan sekadar untuk ritual, tapi memang hutan harus dijaga dan dirawat sebagai regulator air agar tidak mudah dilanda banjir dan longsor.
“Buktinya, hutan dirusak akibatnya terjadi banjir dan longsor,” imbuhnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Bali