Oleh Nuskan Syarif

Masyarakat Adat di enam Kenegerian, Kekhalifahan Batu Songgan, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau dibuat resah sejak wilayah adat mereka ditetapkan seluruhnya masuk ke dalam Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling pada 1981.

Penetapan ini membuat Masyarakat Adat di Kekhalifahan Batu Songgan tidak bisa mengelola kawasan wilayah adat yang telah mereka tempati secara turun temurun dengan aman.

Ketua Adat Kanagoghian Malako Kociak/Miring, Datuk Ajismanto menyatakan tidak pernah ada pelibatan atau pemberitahuan kepada Masyarakat Adat saat wilayah adat mereka ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Datuk mengaku terkejut dengan penetapan tersebut. Padahal, wilayah adat yang dicaplok pemerintah tersebut sudah dikelola secara turun temurun oleh Masyarakat Adat.

“Wilayah adat yang dicaplok itu merupakan warisan leluhur kami. Di sungai, kami memiliki kawasan lindung berupa lubuk larang. Di darat, kami punya kawasan lindung satwa dan tumbuhan yang kami sebut Imbo Gano,” ujar Datuk Ajismanto dalam sebuah wawancara khusus pada  19 Juli 2025.

Menurutnya, pelestarian lingkungan hanya dapat berjalan baik jika berkolaborasi dengan Masyarakat Adat. “Memberikan kembali ruang kelola kepada Masyarakat Adat itu penting, karena kami punya sistem kelola sendiri.

Datuk menjelaskan selama ini wilayah adat yang dicaplok tersebut digunakan Masyarakat Adat untuk berladang. Menurutnya, berladang merupakan budaya mereka sejak dulu.

“Dengan berladang, Masyarakat Adat mandiri dan mampu mencapai swasembada pangan,” ujarnya.

Sistem Berladang Dimusnahkan

Tetua Adat Kampung Adrianto menegaskan penetapan Suaka Margasatwa Rimbang Baling tidak mempertimbangkan kaidah dan hak-hak Masyarakat Adat. Dikatakannya, mereka punya sistem pelestarian yang diajarkan leluhur secara turun-temurun.

Adrianto mengatakan sistem berladang itu bukan sekadar cara bertani, tetapi juga menjaga kelestarian hutan. Namun, setelah wilayah adat mereka dijadikan kawasan Suaka Margasatwa oleh pemerintah, praktis pergerakan Masyarakat Adat jadi dibatasi.

“Sistem berladang kami dimusnahkan. Padahal, dengan berladang kami mandiri pangan, dan hutan tetap lestari tanpa pembalakan,” katanya.

Adrianto menjelaskan pada masa lalu, masyarakat tidak pernah terpikir melakukan pembalakan karena sibuk dengan ladang dan kebun karet. Situasi berubah sejak 1985, ketika pembalakan liar mulai massif dilakukan oleh pihak luar.

“Masyarakat Adat menjadi saksinya,” tegasnya.

Namun, setelah larangan berladang diberlakukan—dari larangan membakar hingga pengejaran bagi peladang—hidup Masyarakat Adat berubah total. Sumber penghidupan menyusut, sementara kebutuhan semakin meningkat, dan harga karet yang tak menentu membuat ekonomi rumah tangga goyah.

Pelestarian yang selama ini dijaga oleh Masyarakat Adat juga ikut runtuh sedikit demi sedikit. 

Adrianto menilai kebijakan pemerintah menjadikan wilayah adat sebagai kawasan lindung tanpa melibatkan Masyarakat Adat sebagai mitra adalah kesalahan besar yang justru mempercepat kerusakan. Kini, sebagian masyarakat mulai menanam sawit di pinggir Sungai Subayang, mengganti kebun karet tua.

“Kami tidak mau hanya jadi penonton, sementara orang lain sejahtera karena sawit. Kami muak menunggu perubahan yang tak kunjung datang. Walau kami sadar menanam sawit bukan jalan keluar, tapi setidaknya keluarga bisa hidup layak dan anak-anak bisa sekolah,” ungkap Adrianto.

Seorang perempuan adat sedang berjalan di Jembatan Penghubung Kenegerian Miring/Malako Kociak, Kabupaten Kampar, Riau.. Dokumentasi AMAN

Hutan Hilang

Nasrun, salah seorang Pemuda Adat, mengatakan hilangnya luasan hutan tidak hanya  terjadi di dalam Suaka Margasatwa Rimbang Baling, khususnya di Kekhalifahan Batu Songgan, Kotak Nan Onam.

Di luar Kotak Nan Onam, imbuhnya, hutan terus dieksploitasi dan diganti pohon kelapa sawit. Dampaknya, cuaca makin tak menentu: panas terik, hujan tidak teratur, dan curah hujan lebih tinggi dibandingkan beberapa tahun lalu.

Menurut Nasrun, cuaca yang tidak menentu akibat perubahan iklim ini bukan ulah  Masyarakat Adat. Sebaliknya, Masyarakat Adat yang menjaga hutan.

“Hutan adalah identitas kami,” tandasnya.

Namun, akibat tekanan ekonomi yang kian berat, sementara hasil karet dan hutan tidak cukup menopang hidup. Kelapa sawit menjadi pilihan pahit yang harus diambil.

“Kami berharap suatu saat ada jalan lain yang membuat kami tetap bisa menjaga hutan, sekaligus hidup layak,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kampar, Riau

 

Writer : Nuskan Syarif | Kampar, Riau
Tag : Kampar, Riau Pelestarian Hutan Suaka Margasatwa Bukit Baling Bukit Rimbang