Iman Yang Runtuh Bersama Hutan
30 Oktober 2025 Berita Thata Debora AgnessiaOleh Thata Debora Agnessia
Di sebuah rumah kayu di Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, sebuah keluarga terlihat menumpuk kayu bakar di belakang halaman rumahnya. “Orang Kaharingan masih menyimpan kayu bakar, karena adat Kaharingan melarang pakai gas untuk memasak. Kalau melanggar, mereka takut kena bura,” ucap Sumiati (43) khidmat dan pasti.
Namun kayu yang dulu mudah didapat dari hutan, kini semakin langka. Hutan yang dulu lebat telah banyak berubah menjadi kebun sawit. Dari situlah masalah lebih besar muncul yakni keyakinan Kaharingan yang berakar pada hutan kini mulai kehilangan pijakan.
Bagi orang Kaharingan, hutan bukan sekadar penyedia pangan dan obat, melainkan ruang sakral. Di sanalah mereka melaksanakan berbagai ritual untuk menyatu dengan leluhur. Pohon besar menjadi simbol penghubung dengan dunia roh, sungai menjadi saksi upacara, dan tanah menjadi altar alami.
Tetapi, seperti yang telah diakui seorang Perempuan Adat Tempayung, Sumiati “Kalau hutannya habis, di mana lagi tempat orang Kaharingan sembahyang? Sekarang sudah tidak ada tempatnya. Itulah kenapa banyak yang akhirnya pindah agama lain.”
Hilangnya hutan berarti hilangnya rumah ibadah. Dan ketika ruang sakral lenyap, banyak warga merasa lebih aman mencari pegangan pada agama-agama besar yang memiliki gereja atau masjid permanen.
Selain deforestasi, krisis iklim kian menggerus keyakinan. Dulu, masyarakat Kaharingan membaca tanda alam seperti suara burung, atau musim buah sebagai penanda waktu. Kini tanda itu hilang. Hewan yang dulu ada kini tak pernah terlihat lagi, dan buah hutan kadang berbuah di bulan tak menentu. “Kalau bulan tertentu pasti hujan, kalau bulan lain kering. Sekarang susah memprediksi.” Ujar seorang ibu rumah tangga, Indri (26).
Di Tempayung, penganut Kaharingan kini hanya bisa dihitung jari. Sisanya beralih ke agama lain. Bukan semata-mata karena tekanan dari luar, melainkan karena kebutuhan spiritual yang tak lagi bisa dipenuhi. “Semuanya harus dari alam, dalam Kaharingan itu bura alias pantangan wajib, jika tidak dilakukan akan sakit,” ujar Sumiati dengan nada getir. Bagi mereka yang masih bertahan sebagai Kaharingan, keyakinan itu terasa semakin berat, seolah kehilangan jati diri.
Kondisi ini sejalan dengan temuan sejumlah lembaga lingkungan. Seperti dilaporkan Green Network Asia, “Deforestasi telah menggerus dan bahkan melenyapkan budaya adat yang telah ada selama berabad-abad, termasuk pengetahuan adat yang penting dalam upaya pelestarian lingkungan.” Hilangnya hutan berarti hilangnya budaya dan keyakinan yang terikat erat dengan alam.
Sama seperti yang dirasakan Masyarakat Adat Tempayung, perpindahan ini berarti kehilangan warisan budaya. Doa-doa leluhur tak lagi mereka hafal, ritual tiwah hanya tinggal cerita, dan hubungan dengan alam semakin renggang. Bagi orang Kaharingan, hutan adalah kitab suci. Ketika kitab itu ditebang, iman perlahan ikut runtuh.