Basri, pemuda adat dari komunitas Masyarakat Adat Suka, menyuarakan keprihatinan mendalam mengenai krisis multidimensi yang melanda wilayahnya. Perubahan ekosistem, kelangkaan air, gagal panen, hingga migrasi pemuda dinilainya mengancam keberlangsungan budaya dan penghidupan masyarakat.

“Kami tidak menolak kemajuan, tapi kemajuan jangan sampai merusak penghidupan kami,” tegas Basri.

Menurutnya, cuaca di wilayah adat kini terasa lebih panas daripada masa lalu. Ia menyoroti berkurangnya populasi tanaman kayu lokal dan meluasnya pohon pinus sebagai penyebab utama. “Pertumbuhan pinus yang semakin pesat mulai nampak dari pinggir hutan adat. Ini mengancam sumber penghidupan kami, sumber air surut, dan suhu terasa lebih panas,” ujarnya.

Hutan adat yang merupakan sumber kehidupan masyarakat untuk pangan, obat-obatan, air, dan kayu bakar disebutnya telah berubah drastis. Dominasi pinus yang menyerap air dalam jumlah besar mengancam keanekaragaman hayati dan ekosistem.

Dampak paling nyata adalah penurunan volume air. Masyarakat yang sebelumnya bergantung pada sumber air alami kini mengandalkan saluran pipa. Kondisi ini kian parah pada musim kemarau, khususnya bulan Juli-Agustus, di mana hampir semua keluarga mengalami kekurangan air.

Krisis pangan juga turut menghantui. Sangnging, perempuan adat, mengaku dalam sepuluh tahun terakhir gagal panen sering terjadi akibat serangan hama seperti keong, tikus, ulat, dan gulma. Perubahan pola iklim juga diduga menyebabkan merebaknya penyakit seperti demam, diare, gatal-gatal, dan sakit kepala.

“Akhir-akhir ini sering mengalami gagal panen dan sering sakit demam, diare, dan sakit kepala,” tutur Sangnging. Ia menambahkan, tanaman obat tradisional masih menjadi andalan pengobatan, namun sumberdaya tersebut ikut terancam seiring kerusakan hutan adat.

Ancaman lainnya adalah migrasi generasi muda. Basri menuturkan, banyak pemuda yang memilih bekerja di luar desa, terutama mereka yang mengenyam pendidikan tinggi di kota.

“Banyak anak muda yang pergi kerja ke kota yang mengancam kelanjutan tradisi adat kami,” tutur Basri.

Ia menyerukan kolaborasi antara pemerintah, pemuda adat, dan masyarakat luar untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan budaya serta tradisi. Langkah tersebut dinilai krusial untuk melindungi hutan adat, memulihkan sumber air, dan memperkuat ketahanan pangan komunitas Masyarakat Adat Suka.

Writer : Sahrul Gunawan | Sulawesi Selatan
Tag : Krisis Iklim The Answer Is Us