Meskipun banyak yang telah memiliki WC di dalam rumah, tidak sedikit Masyarakat Adat di Dangiang Batuwangi dan Kampung Dukuh yang mempertahankan sistem sanitasi tradisional dengan memanfaatkan kolam ikan di tengah tantangan krisis iklim yang semakin nyata. WC bersama di luar rumah, yang disebut pancuran, masih menjadi solusi bagi banyak keluarga.

Di Dangiang Batuwangi, WC bersama ini dibuat dengan sederhana, hanya memerlukan bambu dan paku. Fungsinya tidak hanya untuk sanitasi, tetapi juga untuk membantu tetangga yang belum memiliki WC pribadi atau saat persediaan air di rumah mati akibat musim kemarau yang semakin panjang. “Nggak semuanya (punya wc), Kayak ua inikan kita pernah buat wc di rumah, tapi tetangga yang gapunya wc jadi pada bingung ini ke wc mau kemana gitu,” ungkap Sudirman, Canoli (pengurus adat) Dangiang Batuwangi.

Keberadaan pancuran ini telah menggeser kebiasaan lama masyarakat. “Memang kalau dulu karena minimnya wc umum jadi pada buang airnya ke sungai. mandi juga ke sungai,” kata Dudu Muhammad Abdussalam, Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi.

Sistem pembuangan yang langsung mengalir ke kolam ikan justru mendorong budidaya ikan air tawar yang cukup banyak. Ikan-ikan ini memanfaatkan kotoran sebagai pakan alami, sehingga peternak tidak perlu memberi pakan khusus. Sumber airnya berasal dari sungai atau sumur yang diendapkan terlebih dahulu di bak penampungan agar jernih, meski sering berubah keruh saat hujan deras yang semakin intens akibat perubahan iklim.

Praktik serupa juga ditemui di Kampung Adat Dukuh, khususnya di Dukuh Dalam. Berbeda dengan Dangiang Batuwangi, larangan adat menjadi alasan utama masyarakat Dukuh Dalam untuk tidak membangun WC pribadi di rumah. “Di dukuh dalem itu tidak ada wc khusus. Itukan dilarang, karena ada pembuangan air besar. karena itu mengganggu dan lokasinya kan itu hutan keramat. Jadi tidak sopan gitu,” jelas Yayan Hermawan, salah satu pengurus adat kampung Dukuh.

Mereka pun bergantung pada satu WC umum dengan pembuangan kolam ikan yang besar. Sementara itu, masyarakat di Dukuh Luar umumnya sudah memiliki WC di masing-masing rumah, dengan WC umum yang berfungsi sebagai cadangan saat kekeringan melanda. Kampung ini memiliki banyak sumber air, seperti dari Gunung Dukuh dan Datar Pari. Namun, sama seperti di Dangiang Batuwangi, airnya bisa menjadi keruh ketika hujan lebat yang kini semakin tidak terprediksi. “Disini mah kalau hujan gede emang suka gitu, airnya keruh. Nanti kalau hujannya sudah berenti baru airnya jernih lagi kayak biasa,” ungkap Sasqia, pelajar sekolah adat Kampung Dukuh.

Melalui sistem ini, kedua komunitas adat menunjukkan cara mereka beradaptasi terhadap dampak krisis iklim dengan memadukan kearifan lokal dan kebutuhan modern, menciptakan solusi sanitasi yang unik dan berkelanjutan di tengah ketidakpastian iklim.

Writer : Fujianti Nurjanah | Simahiyang
Tag : Krisis Iklim The Answer Is Us