AMAN, 10 November 2014. Berita duka kembali menghampiri masyarakat adat nusantara. Bagaimana tidak, Riko Muldiyanto, pejuang masyarakat adat Dayak Maanyan, yang selama ini gigih memperjuangkan hak masyarakat adat telah meninggal dunia.

Beberapa hari lalu kami, ecosoc right, mendapat khabar, seorang pemuda pejuang hak masyarakat adat dari Barito Timur dirawat di rumah sakit. Namun kemarin siang kami mendapat khabar, sang pejuang itu telah meninggal dunia.

Pemuda pejuang itu bernama Riko Muldiyanto, asal desa Pulau Patai, kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Pemuda dari suku Dayak Maanyan ini adalah pejuang gigih hak masyarakat adat yang banyak dirampas oleh perusahaan tambang dan perkebunan sawit yang distruktif bagi lingkungan fisik dan sosial. Tanpa kenal lelah dan tanpa kenal takut, Riko rajin pergi dari satu kampung ke kampung untuk bergabung bersama komunitas lokal yang tengah berjuang mempertahankan hutan adat dan kebun2 mereka dari ancaman pembabatan oleh perusahaan sawit dan tambang.

Ia bersama beberapa warga dan komunitas yang lahan dan hutan adatnya diambil alih perusahaan sawit terus memperjuangkan hak mereka dengan mengadu ke berbagai pihak terkait, mulai dari tingkat desa sampai provinsi. Berkat perjuangannya pula, masyarakat di desanya terbebas dari investasi perkebunan sawit dan tambang yang mengambil alih hutan adat dan lahan warga serta merusak lingkungan.

Saat kami melakukan riset tentang sawit dan hak asasi manusia di Kalimantan Tengah, Riko juga yg aktif mengantar kami pergi ke kampung2 dan ke perkebunan2 sawit. Kami sama sekali tidak menyangka Riko akan berpulang dalam usia muda. Khabar kepergian Riko benar2 membuat kami sedih. Tak mudah menemukan anak muda yang memiliki kesadaran tentang pentingnya menjaga warisan leluhur, yang memilih untuk menolak menukarkan hutan dan lahan adat demi setumpuk uang merah, dan yang mau bersusah payah membangunkan kesadaran masyarakatnya dan ikhlas berkorban untuk kepentingan masyarakatnya. Kami merasakan betapa sedihnya ibu Riko karena anak satu2nya pergi dalam usia muda.

Pada saat sakit dan berobat ke rumah sakit di ibukota kabupaten, Riko sempat ditolak pihak rumah sakit karena ia tak memiliki kartu peserta BPJS. Untuk mengurus BPJS ia harus mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar baginya karena sudah beberapa minggu ia sakit, tak bisa menyadap karet dan karenanya tak memiliki uang cukup. Kepala desa setempat menolak memberikan surat keterangan tidak mampu karena Riko dianggap sebagai provokator dan penghalang bagi kepala desa dalam menjual hutan adat ke pihak korporasi sawit. Bukannya membantu, kepala desa bahkan menunjukkan rasa senang bahwa Riko, sang provokator kini terbaring tak berdaya. Kepala desa itu menyatakan, "Sekarang Riko sakit, apa yg bisa dia lakukan sekarang."

Dengan uang hasil utang, Riko berhasil mendapatkan kartu peserta BPJS dan mendapatkan layanan dari RSUD setempat. Sayangnya, pihak RS setempat tak mampu menangani penyakit Riko dan memberikan rujukan agar Riko dibawa ke RS di Banjarmasin. Atas bantuan beberapa pihak, Riko dibawa ke RS di Banjarmasin. Dua kali pulang balik ke RS Banjarmasin, akhirnya Riko meninggal dalam perjalanan. Duka cita mendalam dirasakan, bukan hanya oleh ibu Riko tetapi juga oleh komunitas2 adat di Barito Timur. Terima kasih Riko untuk semua perjuangan dan pengorbananmu. Terima kasih juga untuk ibumu, Riko, yang meskipun miskin dan hanya memilikimu, namun merelakanmu, anak tunggalnya, untuk berjuang demi kepentingan masyarakat. Biarlah Tuhan yang menjaga ibumu, beristirahatlah dalam damaiNya. Semoga pengorbanan dan keteladananmu melahirkan semakin banyak pemuda pejuang di kalangan masyarakat Dayak.
Ditulis di media sosial ecosoc right (https://www.facebook.com/ecosoc.rights/posts/10204857441573097)

Writer : |