Oleh Supriadi bersama Zulyani Evi

Aku selalu terkenang masa kecil bermain di sungai atau menghirup hawa hutan yang sejuk dengan pohon tinggi menjulang. Kala itu, aku tak perlu repot membawa air minum, tetapi cukup datang ke sungai ketika haus. Namun, kini hutan menjadi panas, air di sungai tak mengalir lagi, dan tak ada hewan yang berlarian di hutan. Bukit-bukit yang rimbun sekarang tandus, bahkan salah satunya dinamai Bukit Tengkorak. 

Komunitas Masyarakat Adat Anak Talang tidak dapat dipisahkan dari alam dan tradisi berladang. Hal itu termanifestasi dalam sejarah kami. Anak Talang adalah bagian dari Suku Talang Mamak yang bermukim di Indragiri Hulu, Provinsi Riau. “Talang” berarti ladang. Kami menyebut berladang dengan bahumo. Ladang begitu lekat dengan Masyarakat Adat, begitu pula dengan para pemuda adat di Komunitas Masyarakat Adat Anak Talang.

Keseharianku diisi dengan kegiatan berladang, baik menggarap ladang milik keluarga maupun lahan komunal yang dikelola bersama kawan-kawan. Pada 2019, kami mendapat tanah seluas satu hektar yang dihibahkan oleh seorang ahli waris dari Komunitas Masyarakat Adat Talang Jerinjing. Tanah tersebut dihibahkan kepada kami untuk ditanami padi dan sayur. Kami mengajak para pemuda adat untuk mempraktikkan cara berladang sesuai dengan kearifan leluhur. Ladang itu juga menciptakan ekonomi kolektif dan menguatkan kebiasaan gotong royong di kalangan pemuda adat.

Pada 2020 lalu, kami juga bergotong royong mengelola tanah seluas empat hektar yang dihibahkan oleh Nenek Mamak dan Datuk Muslimin sebagai pemimpin adat kami. Kegiatan pertanian itu dilakukan untuk mengantisipasi ketersediaan pangan selama pandemi Covid-19. Kami memulainya dengan menanam 1.000 bibit pisang. Selain perawatannya yang mudah, pisang juga lebih mudah dijual, sehingga dapat memperkuat ekonomi dan mendukung gerakan pemuda adat melindungi wilayah adatnya. 

Anak Talang dikenal dengan ungkapan “Ayam tagas benteng aduan, kalau duduk menajam rajau, kalau togak maninjau jarak.” Pemimpin Masyarakat Adat Anak Talang bergelar dubalang. Orang Talang Mamak menyebutnya dengan Dubalang Anak Talang, yaitu orang yang baga (berani dan keras). Karakternya yang keras dari orang Anak Talang, tidak bisa dipisahkan dari peran di dalam struktur adat Talang Mamak. 

Kelembagaan adat yang ada di komunitas kami, terdiri dari dubalang atau datuk raja pangulu, mangku, monti, dan bubungan. Pengambilan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah mufakat (pokat dapat undingan tasuo).

Dubalang Anak Talang Datuk Muslimin bercerita bahwa Masyarakat Adat Anak Talang memiliki banyak falsafah, mulai dari cara menentukan batas wilayah adat sampai dengan menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya berladang.

 Peta Wilayah Adat Dubalang Anak Talang.

Tahapan pertama dalam berladang, dinamakan singkil kalo kalo. Dalam tahapan itu, akan diambil kayu bercabang sebesar ibu jari, lalu dikaitkan ke cabang kayu yang berdiri. Tujuannya untuk memberi tanda bahwa akan ada yang berladang di tempat itu. Setelahnya, barulah dilakukan tahapan melambas, yakni ritual adat untuk memberi tahu makhluk gaib di sekitar ladang agar kita tidak diganggu. Jika makhluk gaib melarang kita berladang di tempat itu, akan ada keganjilan, seperti tanah yang berbau tanah makam atau tanaman yang kita tanam tidak hidup. Jika tidak ada tanda-tanda seperti itu selama tiga hari, maka proses berladang dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
 
Tahapan selanjutnya adalah meritis, yakni membuat batas ladang yang akan dibuka. Setelah itu, dilanjutkan dengan menobas atau menebang anak-anak kayu, memotong akar, dan sebagainya. Kemudian, dilanjutkan dengan menumbang yang biasanya menggunakan beliung, kapak, dan parang. 

Setelah tiga bulan, barulah membuat landang atau yang disebut sekat bakar agar api pembakaran tidak merembet ke tempat lain. Ketika akan membakar, diadakan ritual adat dengan sesajen ancak, limas. Tujuan ritual tersebut memberi tahu kepada yang gaib dan kepada binatang, seperti semut, serangga, dan semua yang ada di areal ladang yang akan dibakar agar menghindar untuk sementara. Ritual itu disebut Merabun Langit Memolas Bumi.

Setelah beberapa hari selesai membakar, dilakukan ritual Menurun Bonih, di mana orang yang melakukan ritual itu adalah orang yang mengerti tentang padi. Lalu, kami melakukan menugal basolang atau menanam padi ramai-ramai. Setelah tiga bulan, dilakukan menangkal agar padi terhindar dari hama dengan ritual yang bernama Lengkiso. Jika ritual Lengkiso tidak dilakukan, biji padi yang masak akan kosong, bahkan padinya pun bisa hilang.

Setelah musim panen datang (kami disebut menuai), sehari sebelum menjemput padi, orang akan memasang pelepah salak, duri rukam, duri timbun tai, dan bambu temiang di sudut-sudut ladang untuk menangkal hama dan kekuatan gaib.

Ketika panen tiba, para pemuda adat berperan penting dalam tradisi menuai.

Seseorang yang menjemput padi, harus mengenakan pakaian yang bagus (bersih dan baru),  kain panjang, dan peci. Lalu, padi yang dijemput itu akan digendong ke rumah. Kemudian, sehari setelah ritual, menjemput padi dilakukan lagi - kami menamainya dengan menuai pengiring - oleh satu orang. Setelah itu, padi yang dituai tersebut, dipisahkan kulit dengan beras untuk dimasak dan dimakan. Kami menyebut kegiatan itu dengan makan bungo padi. Pada proses memisahkan kulit padi dengan beras, dahulu masih menggunakan cara manual yang disebut menumbuk belosung. Tetapi, sekarang sudah menggunakan mesin. Setelah selesai makan bungo padi, barulah dilakukan menuai ramai-ramai atau menyangga.

Menyangga sudah dilakukan pada zaman nenek moyang kami dan masih dilaksanakan sampai sekarang. Menyangga terdiri dari dua bagian: pertama, menyangga ikuk taun kepalo taun dan kedua, menyangga ketika ada seseorang yang sakit. Tujuan melakukan ritual menyangga ikuk taun kepalo taun yakni agar terhindar dari penyakit musiman, serangan binatang buas, balak, dan agar kampung damai. Pepatah menyebut: sakit barubat, domom nak bauras, poning nak bapupuk.  Menyangga ini tidak akan bisa hilang. Jika hilang, maka hilanglah adat dari Anak Talang.

Pada proses persiapan, dilakukan penyurungan pesiriahan (memberikan alat sirih) yang bertujuan “pogi bapadah balik bakoba, ngambik mintak nyoncang batanyo” yang artinya adalah memberi tahu kepada yang tua (Datuk Dubalang). Setelah itu, barulah tuo longkop (ketua untuk urusan perlengkapan alat-alat ritual) mengarahkan kepada orang yang paham pekara itu untuk menyiapkan ayam panggang, nasi kuning, darah ayam, limas yang terbuat dari daun pisang, beberapa jenis bunga, macam-macam kue, pucuk aren, lengkonai, bambu, kayu, rotan, kelapa, pulut, lilin, telur ayam, selasih, kemenyan, dan lemang. 

Semua biaya ditanggung oleh Masyarakat Adat Anak Talang dengan bergotong royong yang disebut: “Ayik di baka angus, bungo di karang dak rampai. Sadokak bak batu, lah sadoncing bak bosi, lah saikat bak kayu, sagulung bak daun lah saiyo bak anak jantan sakato bak anak batino.” Itu pepatah untuk penyebutan kesepakatan semua Masyarakat Adat. Jika mufakat sudah didapat, barulah alat-alat ritual dikumpulkan. 

Setiap tahun, kami mengadakan pesta besar yang disebut Gawai Gedang. Dalam kegiatan itu, ke-29 kebatinan (komunitas) di dalam Suku Talang Mamak, akan menggelar berbagai tradisi, seperti sabung ayam, pernikahan, dan sebagainya. Hari bangkitnya Masyarakat Adat kami, adalah saat kami mulai memikirkan nasib kami: hak kami atas wilayah adat dan bagaimana kami bisa mempertahankan budaya yang terancam di tengah perkembangan zaman.

Menolak Punah
Hutan adalah paru-paru dan tanah kami. Namun, kini hutan tak lagi tersisa. Kelekatan Masyarakat Adat dengan alam, berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Suku kami termasuk dalam kategori yang terancam punah karena sebagian wilayah adat kami dirampas oleh perusahaan perkebunan sawit. Saat ini, para pemuda adat melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan hutan dan keutuhan alam. 

“Hutan sudah tidak ada karena dijual dengan skala luas dan perambahan hutan oleh perusahaan,” ujar Aan Pardinata, salah satu temanku sesama pemuda adat.

Peta Perizinan Negara di Wilayah Adat Dubalang Anak Talang. 

Salah satu bentuk perjuangan kolektif pemuda adat dalam menjaga hutan, adalah dengan melakukan patroli hutan adat. Kami menyebut diri sebagai Pemuda Sembilan Penjaga Hutan. Alkisah, dahulu terdapat sembilan pemuda yang ditokohkan oleh Suku Talang Mamak. Dari situ, kami terinspirasi. Berbekal semangat dan tekad yang kuat, aku, Darsen, Aan Pardinata, Seki, Joni, Bujang Hadi, Alri, Dedi Asmar, dan Edi menginisiasi kegiatan patroli hutan adat sejak 2014. 

Kami rutin melakukan patroli mengelilingi hutan seluas 23 ribu hektar. Kami berjalan kaki menyusuri pepohonan untuk memastikan tidak ada kegiatan penebangan liar. Kami biasanya mulai berjalan jam delapan pagi sampai empat sore. Setelah itu, istirahat dan dilanjutkan keesokan hari. Kami melakukannya dua kali dalam sebulan. 

“Agar anak cucu kelak masih bisa melihat Hutan Adat Anak Talang,” ucap sahabatku, Aan. Sebagai pemuda adat, Bende dan kawan-kawan bertekad melakukan sesuatu untuk menyelamatkan hutan. Berbekal semangat, kami mulai lakukan semua yang dibutuhkan untuk itu.

Ancaman kekerasan adalah hal yang kerap kami hadapi. Mulai dari oknum militer sampai perusahaan besar, pernah kami lawan. Peristiwa yang paling tidak terlupakan adalah saat kami menahan dua alat berat (buldoser) PT Runggu Prima Jaya yang beroperasi di Desa Anak Talang pada 2016 silam. Masyarakat Adat menolak kehadiran perusahaan itu karena melakukan penebangan kayu di kawasan hutan adat tanpa memiliki izin. Selain merusak hutan, pihak perusahaan juga merusak sumber mata air yang menjadi tempat bagi ribuan orang dari Suku Talang Mamak untuk mencuci, mandi, dan minum.

Tentu ada perasaan takut. Pernah suatu kali kami diancam akan dibunuh dan diburu ke kampung-kampung.

“Pada saat kami melakukan aksi pengamanan terhadap alat berat perusahaan yang merusak hutan kami, saya merasa takut karena ada ancaman dari perusahaan tersebut. Itu adalah kali pertama kami berhadapan secara langsung dengan perusahaan perusak hutan kami. Aku dan Supriadi pergi berbulan-bulan meninggalkan kampung karena intimidasi dari pihak perusahaan. Sampai saat ini masih teringat,” ungkap Aan.

Alam Raya Sekolah Kami
Selain melakukan patroli adat, para pemuda adat juga melestarikan sejarah dengan menelusuri jejak-jejak leluhur melalui diskusi-diskusi dengan para tetua atau mengunjungi situs-situs yang memiliki arti penting bagi kami. Pengetahuan yang kami dapat dari aktivitas itu, telah kami tuliskan dalam buku berjudul Dubalang Anak Talang.

Bagian dari bentang wilayah Adat.

“Sekarang, tidak banyak pemuda adat yang peduli dan berminat dengan sejarah kampung. Berangkat dari situlah, saya mulai terlibat dalam kegiatan menggali sejarah dan bertanya kepada para tetua. Karena jika dibiarkan, sejarah kampung saya akan hilang,” ujar Eti Lestari, seorang pemuda adat.

Eti adalah salah satu perempuan adat yang terlibat aktif dalam gerakan pelestarian sejarah. Ia bercerita tentang bagaimana awalnya ia ikut terlibat dalam gerakan tersebut. Menurut penuturan Eti, hal itu dimulai ketika sekelompok pemuda adat di Talang Mamak, melakukan kunjungan ke tempat bersejarah, seperti makam keramat dan hutan keramat. Rasa penasaran yang muncul secara perlahan, berubah menjadi semangat juang. Berbagai rintangan dalam aktivitas kunjungan penggalian sejarah, seperti jarak dan cuaca, tidak menyurutkan semangatnya. 

Saat ini, Eti bertutur bahwa dalam setiap pertemuan kampung, kaum perempuan adat sudah mulai dilibatkan, baik dalam kegiatan pertemuan adat maupun pertemuan kampung lainnya. Eti berharap, kampungnya dapat kembali seperti sedia kala, di mana hutan lebat dan sungai bersih. Ia selalu dan terus berharap agar pemuda adat di kampung mau bersatu untuk berjuang mempertahankan kampung dan menggali sejarahnya.

Dalam konteks pandemi Covid-19, kami mengambilnya sebagai kesempatan untuk merawat ingatan dalam menanam dan meramu obat. Sejak awal pandemi, kami sibuk menanam tanaman obat di lahan adat yang dihibahkan oleh tetua. Kami menggali informasi kepada tetua adat dan mengumpulkan tanaman-tanaman untuk meramu obat. Setelah bahan terkumpul, kami mulai meramunya dengan merebus dalam panci besar, kemudian airnya dikemas. Selain untuk daya tahan tubuh, ramuan itu dapat menyembuhkan penyakit, seperti pegal atau luka. Masyarakat Adat Anak Talang memiliki kearifan pengobatan tradisional lainnya, seperti menyangga, badukun togak, dan merancak ramuan dari alam. 

Dubalang Anak Talang Datuk Muslimin berujar, “Apa yang mereka (para pemuda adat) lakukan, adalah bagian dari apa yang sudah kami lakukan dahulu. Kurang lebih itulah arti dari pepatah “Orang tua bak napuh di ujung tanjong, ilang sikuk berganti sikuk.”

“Tugas kami hanya menyampaikan, tugas kami hanya memberi tahu. Sementara yang menjalankannya, adalah anak-anak muda tersebut,” ucap Datuk Muslimin memaknai arti pepatah.

Masyarakat Adat Talang Mamak, termasuk para pemuda adat, bertekad untuk terus berjuang. Kami menegaskan, “Kami tidak (akan) membiarkan pohon ini menjadi pohon terakhir.”

Tekad itu ditujukan bagi semua pohon. Semua yang ada di hutan adat kami di Talang Mamak. 

***

Penulis adalah pemuda adat dari Komunitas Masyarakat Adat Anak Talang di Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Artikel ini merupakan bagian dari tulisan yang ditulis untuk Kisah dari Kampung - sebuah gerakan penulisan buku yang digagas oleh AMAN dalam upaya menghadirkan profil berupa kisah dari berbagai kampung di penjuru Nusantara dan ditulis oleh para Kader AMAN bersama pasangan jurnalis.