Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Rakyat Penunggu adalah komunitas adat yang berada di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Tahun 2017 lalu, AMAN menyelenggarakan Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kelima (KMAN V) di sana, tepatnya di Kampung Tanjung Gusta yang merupakan wilayah adat yang telah direklaim dari PT Perkebunan Nusantara Dua (PTPN II). Suasana di Kampung Tanjung Gusta dan kampung-kampung sekitarnya begitu kering di musim kemarau. Tetapi, Masyarakat Adat di sana terus bergerak. Setelah memenangkan kembali tanah leluhur, mereka masih berjuang untuk menyuburkan lahan pertanian yang rusak akibat perkebunan monokultur dalam skala besar di masa lalu. Ada peran perempuan adat di situ.

Sehari-hari, aktivitas Masyarakat Adat Rakyat Penunggu berjalan seperti biasa dengan berbagai penyesuaian dan pembatasan. Sebagian besar warga menggantungkan hidup dari bertani, berternak, dan berdagang. Suasana kampung memang tak seramai sebelum wabah. Berbagai aktivitas kumpul-kumpul tak diperkenankan lagi sejak pandemi terjadi.

“Situasi kami terkait wabah, itu awalnya masyarakat seperti dihantui ketakutan dengan yang namanya virus Covid-19,” ungkap Meiliana Yumi - atau akrab disapa Yumi - menggambarkan kondisi di Kampung Menteng. “Tadinya kawan-kawan kita biasa berkumpul, melakukan kegiatan di kampung, itu langsung terhenti…. Masyarakat Adat merasa takut dan menghindari semua kegiatan rutin untuk pertemuan atau pengajian untuk ibu-ibu. Kami masih tetap di rumah dan sangat menjaga.”

Potret Meiliana Yumi. Sumber foto: Dokumentasi pribadi.

Inisiatif Pengembangan Kebun Kolektif

Di Sumatera Utara, berbagai kelompok perempuan adat terorganisir ke dalam sejumlah wilayah pengorganisasian, termasuk di Kampung Menteng yang menjadi bagian dari Rakyat Penunggu. Dalam beberapa tahun sebelum pandemi, PEREMPUAN AMAN telah lebih dulu memulai kegiatan membangun kebun kolektif atau demplot. Yumi berbagi kisah bagaimana awal mulanya ia dan kawan-kawan perempuan adat di sana menginisiasi keberadaan kebun-kebun kolektif di wilayah adatnya.

Kebun kolektif di Rakyat Penunggu. Sumber foto: Dokumentasi pribadi.

Sawah di wilayah pengorganisasian PHD Deli. Sumber foto: Dokumentasi pribadi.

“Kami menyadari kalau kami harus mengelola kebun-kebun kolektif tersebut karena perempuan adat di Rakyat Penunggu ini sulit sebenarnya kalau diajak duduk bersama untuk bertemu dan berbicara. Mereka lebih senang langsung bekerja di kebun,” kata Yumi. Ia bersama yang lain mengawalinya dengan membentuk satu kelompok yang terdiri dari lima sampai sepuluh orang. “Kami memulai itu, sehingga kebun kolektif yang kita kerjakan bersama itu bisa dilihat dulu, baik dilihat sesama perempuan adat anggota PEREMPUAN AMAN, pengurus, maupun para lelaki.”

Dari situlah Yumi mengakui bahwa kemudian banyak warga mulai menyadari mudahnya bekerja secara kolektif menggarap kebun sekaligus menjadi sarana bagi kelompok perempuan adat berkumpul dan mengorganisir diri. Kebun pertama dibangun sekitar tahun 2018 di Secanggang dengan komoditi ubi. Dalam waktu enam bulan, mereka panen dan sebagian uang dapat dinikmati oleh penggarap sekaligus digunakan untuk menggerakkan roda organisasi. Kemudian, satu tahun berselang, jumlah kebun bertambah menjadi empat yang ditanami jagung, pisang, cabai, dan berbagai macam sayuran.

Yumi menjelaskan tentang kepemilikan dan pengelolaan kebun-kebun kolektif itu. “Tanahnya itu memang punya bersama. Jadi, pembagian profit kalau mereka panen, itu mereka sisihkan keuntungan untuk organisasi di Rakyat Penunggu, organisasi PEREMPUAN AMAN, dan mereka yang kerja. Kalau pembagian tugasnya, itu yang saya lihat semua bersama, jadi lebih ringan. Misalnya, ada 10 atau 15 rante itu yang nugal berapa orang. Jadi sekalian nugal, sekalian benih. Jadi sehari, penanaman selesai. Kalau kepemilikan, milik bersama dan itu sudah diakui pengurus kampungnya.” Rante (rantai) adalah ukuran tanah yang lumrah di kalangan masyarakat Melayu di Sumatera. Satu rante umumnya setara dengan 400 meter persegi.

Menurut Yumi, tantangan bagi perempuan adat mengorganisir diri dan membangun kebun-kebun kolektif, tidak gampang. Ia mengungkapkan berbagai penolakan yang pernah muncul dari komunitas adat sendiri, termasuk kokohnya nilai-nilai patriarki yang terutama mengakar kuat di antara para pria. Yumi dan kawan-kawan pun terus bergerak memanfaatkan segala celah untuk bisa bersuara di dalam berbagai ruang pengambilan keputusan. Mereka memberanikan diri untuk menegaskan peran perempuan adat yang pernah ikut berjuang (bersama kaum lelaki) mereklaim wilayah adat.

“Saat wilayah adat kami masih dikuasai PTPN II itu kita berani, terutama perempuan. Kami (perempuan adat) siap untuk mempertahankan tanah adat kami. Kami yang terdepan karena kalau laki-laki yang di depan, itu akan berdarah-darah. Maka, kami langsung turun pertahankan wilayah adat kami, sementara yang laki-laki, melalui proses advokasi dan negosiasi bersama pemerintah,” ungkap Yumi. Meski begitu, para perempuan adat kemudian ikut mengawal proses pembuatan Perda terkait Masyarakat Adat sebab menyadari keterhubungan dampak kebijakan terhadap nasib perempuan adat, terutama wilayah kelola perempuan adat.

Menegaskan Kontribusi untuk Kedaulatan Pangan

Melalui kebun-kebun kolektif yang dikelola oleh anggota PEREMPUAN AMAN, kelompok perempuan adat Rakyat Penunggu pun menegaskan kontribusi penting mereka dalam mempertahankan dan mengelola wilayah adat secara berkelanjutan dan adil. Hal itu terutama terkait erat dengan kebutuhan pangan keluarga dan komunitas secara umum. Kegiatan-kegiatan tersebut semakin terasa relevan dan kontekstual ketika kini Indonesia tengah diliputi bayang-bayang krisis akibat Covid-19.

Pada masa-masa awal pandemi, kelompok perempuan adat di Rakyat Penunggu aktif melakukan sosialisasi tentang Covid-19 di kampung-kampung. Secara teroganisir, mereka menjelaskan tentang informasi seputar virus korona dan upaya pencegahan untuk meredam rasa takut dan mengantisipasi keterpaparan masyarakat. Yumi dan kawan-kawan intens melakukan komunikasi dengan organisasi, bahkan ia sempat diundang untuk berdiskusi dengan pejabat pemerintah setempat.

Kebun sayur di wilayah adat Rakyat Penunggu. Sumber foto: Dokumentasi pribadi.

“Dengan adanya pandemi, Masyarakat Adat yang selama ini bekerja di luar, itu diberhentikan dari pekerjaannya, dirumahkan,” katanya. Ia dan kawan-kawan pun kian menggiatkan aktivitas berkebun dan mencoba mengajak lebih banyak warga untuk mengelola tanah. “Saya mengarahkan kawan-kawan perempuan adat dan bapak-bapaknya untuk bertanam dan menjaga ketahanan pangan kita. Kami juga sempat kumpulkan warga yang masih mampu dan bisa beri bantuan untuk warga yang membutuhkan. Masyarakat bergotong royong kumpulkan beras untuk dibagikan ke masyarakat yang butuh bahan pokok. Kalau untuk sayuran, kami bisa berbagi karena kami masing-masing bertanam sayuran, baik itu cabai, kangkung, bayam, terong, kacang panjang di sini banyak. Jadi, kami fokus kembali mengerjakan tanah adat kami untuk melakukan ketahanan pangan ini.”

Keberadaan kebun-kebun kolektif itu kian terasa manfaatnya sejak pandemi melanda. Ketika krisis Covid-19 turut memberikan imbas pada perekonomian rakyat, warga komunitas adat yang bertani atau berladang, justru punya kecukupan dan bisa berbagi makanan.

“Ternyata memang sangat menguntungkan bagi kita, khususnya bagi perempuan adat. Apa yang selama ini kita tanam dan tabung, saat inilah kita petik hasilnya.” Yumi dan para perempuan adat di sana pun kerap tak sungkan mempromosikan foto-foto hasil panen mereka yang seringkali mengundang decak kagum dan menginspirasi kelompok lain untuk semakin percaya diri menjadi petani. Dari hasil bertani, perempuan-perempuan adat bisa ikut menopang ekonomi keluarga karena sebagian dapat dijual atau ditukar dengan komoditi lain, bahkan ada dari mereka sempat mencoba mengkreasikan keripik pisang dari panen pisang kepok. “Dengan mengelola tanah adat, sangat mampu kita berkontribusi untuk peningkatan ekonomi. Jadi, peningkatan ekonomi tak hanya didapat dari kerja di luar (wilayah adat).”

Meski tak seramai sebelum pandemi melanda, tapi kini dengan adanya pembatasan kampung, mereka masih dapat berkumpul di ladang. Situasi kampung-kampung di Rakyat Penunggu pun tak lagi segersang dulu. Tanah-tanah tandus berangsur berubah menyegarkan mata.

“Perempuan adat yang berpartisipasi mengelola, alhamdulillah, di Kampung Menteng ada beberapa. Kalau jumlah lahannya, di Bandar Kelipa sudah tambah luas. Di Bandar Setia juga ada kebun sayuran: kemangi, kangkung, bayam, daun ubi. Di Menteng, ada kacang panjang dan cabai. Kalau di Secanggang, tetap ubi, jagung, cabai, dan pisang. Kami kelola tanah kosong, ada dua-tiga rante, itu kami kerjakan,” ungkap Yumi.

Melalui kebun-kebun kolektif itulah perempuan adat menegaskan posisi dan peran penting mereka sebagai garda depan dalam mempertahankan keberlangsungan komunitas. Lalu, bagaimana rencana terhadap kebun-kebun kolektif tersebut di tengah pandemi kini dan nanti?

“Kegiatan di kebun kolektif tetap berjalan meski pandemi Covid-19 tak tahu kapan berlalu. Kita tetap kerja di kebun kolektif dan kebun masing-masing untuk pertahankan pangan di wilayah adat.” Yumi pun menyampaikan pesan bagi Masyarakat Adat lain, “Jangan takut dengan virus ini! Mari, kita jaga kesehatan diri sendiri dan keluarga sesuai arahan pemerintah! Tapi, jangan juga kita tak lakukan pergerakan. Kalau terkait pangan, mari kita kelola tanah adat. Dengan mengelola tanah adat, kita bisa hidup. Jangan kita hidup dari menjual-belikan tanah adat. Kita jaga wilayah adat kita!”

***

Obrolan lebih lanjut dengan Meiliana Yumi pada artikel ini, juga dapat didengar lewat siniar Jelajah Nusantara edisi “Peran Perempuan Adat di Tengah Wabah” melalui tautan berikut: