Oleh Adrianus Lawe bersama Nurdiyansah Dalidjo

Saya Adrianus Lawe, seorang pemuda adat dari Kampung Koker di Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Saya saat ini menjadi Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Flores Bagian Timur. Saya akan berkisah tentang kampung saya, tentang aktivitas kawan-kawan pemuda adat di tempat tinggal saya. Saya juga akan bercerita tentang awal mula Gerakan Pulang Kampung yang kami lakukan tahun 2017-2018. 
 
Kabupaten Sikka, di mana Kampung Koker berada, secara geografis terletak di antara 8°22'–8°50' Lintang Selatan dan 121°55'40"–122°41'30" Bujur Timur. Daratan kabupaten ini merupakan daerah pantai dan perbukitan dengan luas 1.713,91 km². Di sebelah utara, Sikka berhadapan dengan Laut Flores dan di sebelah selatan, berhadapan dengan Laut Sawu. Sikka diapit oleh Kabupaten Flores Timur di sisi timur dan Kabupaten Ende di sisi barat.

Masyarakat Adat Sikka memiliki tiga suku bangsa yaitu Ata Lio, Ata Krowe, dan Ata Tana Ai. Dalam bahasa setempat, “ata” berarti orang. Yang membedakan Ata Krowe, Ata Lio, dan Tana Ai (Muhang) yaitu penguasaan wilayah, bahasa, dan cara pandang terhadap sistem perkawinan.

Dari sisi penguasaan wilayah, Ata Lio menguasai dan mendiami wilayah barat Sikka, Ata Krowe mengusai dan mendiami wilayah tengah Sikka, dan Ata Tana Ai mendiami wilayah timur Sikka. Dari bahasa yang digunakan sehari-hari, Ata Lio menggunakan Bahasa Lio, Ata Krowe menggunakan Bahasa Krowe, dan Ata Tana Ai menggunakan Bahasa Muhang.

Ata Krowe dan Ata Lio menganut sistem patrilineal, yaitu sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan warisan. Menurut hukum adat Ata Krowe, ketika seorang perempuan dari suku lain menjadi istri lelaki Ata Krowe, maka ia wajib meninggalkan orangtuanya dan tinggal bersama suaminya. Laki-laki memiliki kekuasaan lebih dibandingkan kaum perempuan, baik dalam pengambilan keputusan maupun pembagian warisan. 

Sedangkan di Ata Tana Ai, menganut pola budaya matrilineal dalam perkawinan. Posisi perempuan adat Ata Tana Ai menjadi lebih penting dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan adat maupun pembagian warisan. 

Kehidupan Masyarakat Adat Lio, seperti Komunitas Masyarakat Adat Mbengu; Masyarakat Adat Krowe, seperti Komunitas Masyarakat Adat Koker dan Ruha Nukak; serta Masyarakat Adat Tana Ai, seperti Komunitas Masyarakat Adat Natargahar, Runut, dan Tana Tukan Eko, begitu dinamis dan berupaya mengikuti perkembangan situasi dalam menentukan dan mengelola kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum adatnya. Kami terus berusaha untuk bisa mandiri serta mencoba menerapkan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan wawasan gender untuk memperoleh pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas hak-hak adatnya.

Wilayah Adat Koker
Sementara kampung saya, yang didiami Komunitas Masyarakat Adat Koker masuk ke dalam wilayah administrasi Dusun Koker, Desa Pogon, Kecamatan Waigete di Kabupaten Sikka, NTT. Satuan wilayah adat kami disebut sebagai Natar Koker. Kondisi wilayahnya komplet, lengkap. Mulai dari wilayah yang bergunung, perbukitan, bentang dataran rendah, hingga bentang pesisir.  

Beberapa waktu lalu, kami bersama AMAN dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah melakukan pendataan untuk menghasilkan data yang komprehensif tentang Masyarakat Adat di Indonesia. Dengan pengalaman itu tidak sulit bagi saya  bercerita tentang Masyarakat Adat Komunitas Koker. Saya tinggal mengacu pada pendataan yang sudah kami lakukan.

Di sisi utara, wilayah adat kami berbatasan dengan Ne Blo, Gak Herat, Wai Ti (Pantai Wairita) dan Laut Flores; di sisi selatan dengan Watusoking (batu) dan wilayah adat Romanduru; di sisi timur dengan Napun Huler (sungai), Halar Watat, Tilu Robong, Tara Gahar, Tara Buluk, Urun Bega (kawasan pegunungan dan hutan lindung), dan wilayah adat Lua; dan sisi barat berbatasan dengan Koli Wutut, Roka Mahet (batu artefak peninggalan Moan Roka), Pantai Desa Wairbleler, dan wilayah adat Sogelaka. Luas wilayah adat kami sekitar seribu hektar atau kurang lebih 50 km2.

Di kampung, terdapat kurang lebih 400 kepala keluarga dengan populasi sekitar 1.500 jiwa. Mata pencaharian utama kami umumnya adalah petani. 

Toba dan Roka 
Menelusuri sejarah asal-usul kami tidak begitu sulit. Sesuai dengan apa yang telah dituturkan oleh kawan Paulus Ronal pada Formulir Pendataan Komunitas Adat, inilah sejarah asal-usul kampung kami. 

Dahulu kala, ada dua orang berpasangan, Ipir Wodon dan Tou Teren. Mereka memiliki dua orang anak Lo’eT Bawak, laki-laki, dan Koi Meni, perempuan. Sewaktu muda, Lo’et Bawak pergi berburu dan baru kembali pulang setelah usia dewasa. Saat kepulangannya itu, ia tidak lagi mengenali saudari perempuannya, Koi Meni. Dan mereka pun saling menyukai satu sama lain, dan akhirnya mereka menjadi suami-istri. Setelah sekian lama hidup berkeluarga, pada akhirnya mereka mengetahui bahwa mereka adalah saudara kandung. 

Ketika kebenaran itu terungkap, terjadilah bencana besar di Wolo Wodon. Menurut kepercayaan, bencana terjadi karena kejadian pire (haram) akibat dari hubungan bahut, yaitu hubungan yang terlarang bagi kami, yaitu hubungan suami istri di antara saudara kandung. Akibat bencana tersebut, anak mereka, Toba dan Roka, memutuskan untuk melarikan diri. Mereka pindah ke arah barat Maumere yang meliputi area dari Napun Huler sampai Koli Wutut yang merupakan batas timur dan batas barat Masyarakat Adat Koker. 

Mereka tak selamanya mendiami tempat itu. Mereka berpindah-pindah,  membuka lahan garapan dari Halar Watat, Tilu Robong, Tara Gahar, Tara Buluk, Urun Bega, dan selanjutnya mereka memutuskan berpindah lagi ke Rotat. Di tempat baru tersebut, mereka memberi tanda dengan menancapkan o’le. Tempat itu sekarang diberi nama Rotan Olet. Kedua bersaudara tersebut lantas menggarap dan membuka lahan sampai ke arah selatan, di Watusoking. 

Suatu ketika, keduanya sepakat untuk berbagi tugas dalam wilayah tersebut. Roka sebagai anak sulung mengatakan pada Toba: “Au reta ilit wali mam, ma bapa ha plamang ha” yang artinya Toba disuruh menuju ke selatan menyusuri wilayah bagian lereng gunung. Sedangkan apa yang ditujukan pada Roka: “Au lau urut wawa mam, pere ha pleder ha” yang artinya engkau ke arah barat sampai utara menyusuri pesisir. 

Wilayah tugas Roka kemudian diadopsi oleh Suku Wodon. Mereka dikenal dengan istilah ruha taran, maksudnya sebagai yang tertua. Mereka kemudian lebih dikenal dengan sebutan tana pu’an (penguasa wilayah adat) yang keturunannya kemudian menjadi sub-Suku Wodon Gebin. Sementara Toba, dikenal dengan istilah ai kaet yang kemudian menjadi sub-Suku Wodon Waihi. Setelah pembagian tugas itu, mereka tinggal menetap dan beranak cucu di wilayah garapan mereka, mulai dari Napun Huler sampai Watusoking. Seluruh tempat garapan itulah yang kelak diberi nama “Koker.” 

Memahami seluruh aktivitas yang dilakukan, mulai dari membuka lahan, menggarap, dan bercocok tanam sampai sambil terus berkembang dengan beranak cucu, mereka mulai menyadari dan meyakini akan adanya hal lain. Mereka mulai yakin bahwa di atas semua hal yang telah mereka lakukan melalui segala aktivitas mereka, ada sesuatu yang lebih berkuasa yang mendukung dan menopang kehidupan mereka. Yang lebih berkuasa yaitu Ina Nian Tana Wawa (tanah atau daratan yang mereka tempati) dan Ama Lero Wulan Reta (langit yang memberi panas dan hujan untuk keberlangsungan hidup mereka). 

Dari keyakinan itu, akhirnya mereka menciptakan ritual untuk menyembah dan mensyukuri apa yang mereka peroleh. Ritual itu mereka sebut dengan Piong Tewok. Ritual itu dilakukan dengan menyiapkan sesajen berupa pangan hasil pertanian (pare lele), binatang untuk disembelih. Semua sesajian tersebut ditaruh di atas watu mahang. Ritual tersebut masih kami terapkan sebagai salah satu ritual kami hingga saat ini.

Proses ritual adat.

Capaian di Tengah Ketidakadilan
Ketidakadilan yang dialami Masyarakat Adat Sikka, khususnya Krowe dan Tana Ai, telah berdampak langsung terhadap pemuda adat. Pemuda adat saat ini menghadapi berbagai persoalan serius.

Mereka mengalami keterpurukan ekonomi akibat pembangunan yang tidak adil sebagai dampak negatif dari globalisasi, diskriminasi akses, dan tidak dipenuhinya hak-hak dasar pemuda adat atas pendidikan dan kesehatan secara mudah dan gratis, serta kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam (SDA). Akibatnya, banyak pemuda adat menjadi buruh di tanah sendiri dan menjadi miskin di atas kekayaan akan SDA. Lebih lagi, mereka  dianggap penjahat, dikriminalisasi, Ketika mereka memperjuangkan dan mempertahankan wilayah adatnya. Pemuda adat menjadi orang yang tidak memiliki identitas diri dan mereka kehilangan budaya leluhur. 

Hal-hal itulah yang dialami pemuda adat Koker. Dengan posisi mereka  yang ideal di dalam suku ataupun komunitas adat, seharusnya hak-hak dasar laki-laki dan perempuan Krowe ini setara. Hak-hak yang dimaksud antara lain, hak untuk mendapatkan pendidikan formal, pekerjaan yang layak, upah yang layak, dan pelayanan kesehatan gratis.
 
Namun, semua hak yang berkaitan dengan hak-hak itu berbanding terbalik dengan realita yang mereka hadapi. Mereka, pemuda adat dari dua sub-etnis dan dari dua komunitas adat yang ada, jika dilihat dari sudut pandang pendidikan, yang dijumpai adalah potret buram. 

Dengan usia yang ideal untuk mengenyam pendidikan, para pemuda adat, baik lelaki maupun perempuan, justru terpaksa dirumahkan atau tidak melanjutkan sekolah karena tingginya biaya pendidikan. Jarak menuju lokasi sekolah juga relatif jauh. Selain itu, pemuda adat yang masuk dalam kategori remaja atau belum berkeluarga juga cenderung tidak diberikan ruang dalam pengambilan keputusan, baik dalam musyawarah adat maupun musyawarah di tingkat dusun ataupun desa.

Saya mencoba melakukan musyawarah dengan kelompok pemuda adat. Kami mulai  memetakan masalah utama yang muncul dalam kehidupan pemuda adat di Koker. Kami menemukan sejumlah fakta, bahwa:
a.    Pemuda adat tidak bisa melanjutkan studinya karena faktor ekonomi keluarga yang tidak mendukung, sehingga tidak bisa mengakses pendidikan. Banyak pemuda adat, setelah tamat SMP atau SMA, tidak bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
b.    Pemuda adat yang telah bersekolah di kota, enggan untuk pulang kampung, sehingga banyak kebun di kampung tidak terurus.
c.    Pemuda adat, perempuan, dan lelaki tidak diberi ruang dalam pengambilan keputusan, termasuk musyawarah.
d.    Para pemuda adat sulit mendapatkan pekerjaan karena tidak memiliki akses. Ada pandangan bahwa mereka yang sudah selesai menempuh pendidikan sulit mendapatkan pekerjaan di kampung. Sementara, bagi Masyarakat Adat, lapangan pekerjaan di kampung sebenarnya ada, yaitu berkebun. Cara pandang itu berkaitan dengan belum adanya kesadaran, bahwa mengurus kampung adalah bagian dari pekerjaan atau sumber penghidupan.

Sejak tahun 2017-2018, kami para pemuda adat telah banyak melakukan kegiatan dan memperoleh capaian, antara lain:
a.    Menginisiasi pendirian organisasi Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Flores Bagian Timur.
b.    Melakukan perekrutan anggota di setiap komunitas adat.
c.    Melaksanakan pertemuan daerah di Kampung Natargahar.
d.    Melaksanakan program pendokumentasian wilayah adat, terdiri dari penulisan 11 profil komunitas adat.
e.    Mengadvokasi tanah eks-HGU (Hak Guna Usaha) Nanghale Patiahu.
f.    Menginisiasi pembentukan organisasi Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), yaitu Pengurus Harian Daerah (PHD) Flores Bagian Barat dan Pengurus Harian Komunitas (PHKom) Natarmage.
g.    Menjalankan dan membantu Komunitas Adat Natargahar dan Natarmage dalam pengajuan Program Gerakan Kedaulatan Pangan dan Ekonomi Masyarakat Adat.
h.    Melakukan pemasangan plang di wilayah-wilayah komunitas adat.

Plangisasi Wilayah Adat
Saya bersama pemuda-pemuda adat berniat mewujudkan apa yang telah kami lakukan terkait wilayah adat kami. Kami telah memetakan wilayah adat kami sehingga kami berpikir, penting untuk menandai wilayah adat-wilayah adat tersebut. Maka, saya dan pemuda-pemuda adat yang tergabung di dalam BPAN, melakukan plangisasi sekaligus pendataan komunitas adat. Hal itu merupakan bagian penting dari upaya pendokumentasian wilayah adat yang turut diinisiasi oleh BPAN secara nasional.

Pendataan itu kami lakukan melalui proses pengumpulan dan penulisan data antara lain  profil komunitas adat. Hasil profil itulah yang menjadi bahan penting dalam upaya saya membuat tulisan ini. Selain pendataan, kami melakukan plangisasi, yaitu pemasangan plang-plang papan nama komunitas adat sebagai anggota AMAN. Kami melakukannya di 11 wilayah komunitas adat yang tersebar di Kabupaten Sikka. 

Bersamaan dengan pemasangan plang, kami juga menyertakan bendera AMAN, BPAN, dan PEREMPUAN AMAN di komunitas-komunitas adat tersebut. Papan nama dan bendera itu menjadi bagian dari upaya kami memperkuat identitas komunitas kami sebagai Masyarakat Adat. 

Dulu, para orangtua kami menyebutkan keberadaan berbagai komunitas adat maupun batas-batas wilayah adatnya secara lisan. Dengan cara itu, hanya orang-orang tertentu yang dapat mengetahui persisnya letak dan cakupan wilayah dan masyarakat suatu komunitas adat. Namun,  hari ini, saat ini,  semua orang sudah bisa mengetahui dengan jelas tentang nama komunitas adat dan alamatnya. Kami sudah dapat menunjukkan dengan tepat letak geografis dan wilayah administratif wilayah adat suatu komunitas, beserta batas-batasnya. Semua itu kami lakukan melalui gerakan plangisasi yang kami buat. Bersama BPAN, kami telah mendokumentasikan wilayah adat lewat penulisan profil komunitas adat di Flores Bagian Timur, khususnya Sikka, di mana kini terdapat 11 komunitas adat yang sudah kami data.

Plang-plang tersebut saat ini telah kami pasang. Plang-plang itu kami pasang begitu kami selesai melakukan pendataan profil komunitas adat. Bentuknya sederhana berupa spanduk dengan ukuran dua kali satu meter. Dalam pemasangannya, terkadang kami melibatkan warga sekitar yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Biasanya, kami memasang plang di depan rumah adat atau rumah pemimpin wilayah adat atau kepala suku. Setelah plang-plang dipasang, kami merasakan bahwa Masyarakat Adat mulai percaya diri. Ada banyak orang datang bertanya tentang keberadaan Masyarakat Adat. Mereka ikut memberikan dukungan dan lain-lain. Sekarang, setelah plang-plang terpasang di tempatnya masing-masing, sejauh ini tidak ada konflik antara pemerintah atau perusahaan dengan Masyarakat Adat.

Pendataan profil dan plangisasi komunitas adat itu sebetulnya bertujuan untuk memperkuat identitas kami sebagai Masyarakat Adat yang sudah ada secara turun-temurun. Kedua hal itu dibuat karena ada sebagian orang yang menganggap kalau bicara mengenai Masyarakat Adat berarti berbicara tentang sesuatu yang usang dan dianggap tua. Maka, dengan menghadirkan keberadaan kami sebagai Masyarakat Adat, profil, dan wilayah adat kami melalui tulisan dalam plang tersebut, kami berharap stigma buruk terhadap kami bisa hilang. Mereka yang awalnya berprasangka terhadap Masyarakat Adat  dapat menghormati budaya kami. Dan bagi kami, para pemuda adat, semoga juga mencintai budaya kami. 

Gerakan Pulang Kampung 
Pada mulanya saya dan teman-teman sesama pemuda seringkali pergi-pulang ke kota dan ke kampung untuk urusan pendidikan dan urusan pekerjaan. Namun kini kami telah memutuskan untuk pulang kampung. Sejak tahun 2017-2018 kami memperkenalkan Gerakan Pulang Kampung. Kami tidak lagi pergi-pulang. Justru kami yang berada di luar kampung akan kembali pulang. Gerakan itu mendapatkan rohnya ketika saya bersama teman-teman terlibat dan menjadi bagian dari Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Daerah Flores Bagian Timur.

Di kampung, melalui BPAN, kami ikut menggerakkan pemuda-pemuda adat untuk kembali ke kampung untuk menjaga dan mengelola wilayah adat. Pemuda yang pulang kampung ini adalah anak-anak adat yang sempat mengenyam pendidikan di kota. Ada di antara kami yang malas kembali ke kampung. Setelah bergabung dengan AMAN, kami terpanggil mendirikan BPAN dan mulai melakukan konsolidasi ke teman-teman lain yang sudah selesai menempuh pendidikan untuk bergabung pulang ke kampung dan mengurus kampung. Kami sebagai pemuda adat mulai bercocok tanam atau berkebun dan terlibat dalam advokasi hak Masyarakat Adat. Khususnya di Kampung Natargahar, kawan-kawan pemuda terlibat dalam mengelola ternak babi dan kebun sayur. Kami juga bekerja sama dengan beberapa organisasi kemahasiswaan dalam mendengungkan Indonesia darurat iklim.

Mewakili pemuda adat Koker, Januarius mengungkapkan, tantangan pemuda adat hari ini adalah ketika teman-teman yang sudah selesai kuliah, itu enggan ke kampung untuk urus kebun dan kekayaan di kampung. Saat ini, BPAN sedang terus mendorong teman-teman pulang ke kampung lewat berbagai kegiatan atau cara, seperti seminar, diskusi, penyebaran pamflet, dan spanduk yang mencoba menginspirasi pemuda adat untuk mau kembali ke kampung.  Hal itu merupakan upaya kami dalam memberikan pendidikan adat kepada generasi sekarang. Selain itu, kami juga sedang berproses untuk membangun sekolah adat di Koker.

Potret pemuda adat dari Kampung Koker.

Selama kurang lebih dua tahun, kami menginisiasi pendirian BPAN bersama dengan pengurus AMAN. Gerakan Pulang Kampung menjadi slogan bersama yang digaungkan di kampung dan seluruh pengurus. Pada tahun 2018, kami, para pemuda adat melakukan pertemuan dan mendapat Surat Keputusan (SK) dari Pengurus Nasional BPAN dan  Pengurus Besar (PB) AMAN. Kami kemudian Pertemuan Daerah AMAN dan terciptalah kepengurusan BPAN yang dipilih secara musyawarah mufakat. 

Karena sudah mendapatkan legitimasi dari Pengurus Nasional BPAN, kami mulai mengadakan kerja-kerja organisasi. Kegiatan pertama yang kami lakukan adalah advokasi persoalan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) yang berkapasitas 40 megawatt (MW) dan tanah ulayat Patiahu-Nanghale yang berada di wilayah Masyarakat Adat Koker dan Natarmage.

Tahun 2020 lalu, kami juga membantu komunitas Natarmage dan Natargahar untuk mengakses Program Gerakan Kedaulatan Pangan dan Ekonomi Masyarakat Adat. Kedua komunitas itu pun bisa mendapatkan bantuan bibit, seperti sorgum, kacang hijau, jagung, dan beberapa fasilitas lain untuk mendukung kerja-kerja komunitas dalam meningkatkan ekonomi dan hasil pangan lokal. Januarius Dunia mengungkapkan kalau dia bersama dengan teman-teman BPAN, telah memiliki kebun cokelat, sayur, padi, dan jagung. “Kami mengelola kebun ini secara kolektif dan juga terlibat dalam Tim Gugus Tugas #AMANkanCovid19, baik di level desa maupun kabupaten,” katanya.

Pemuda dan Pandemi
Selain mendukung kegiatan-kegiatan terkait kedaulatan pangan dan ekonomi, secara bersamaan para pemuda di kampung juga terlibat aktif dalam upaya mengantisipasi penyebaran Covid-19 dan dampak-dampak lain dari situasi pandemi. 

Pemberian bantuan di masa pandemi.

Lusia Eritha, seorang perempuan adat dari Komunitas Masyarakat Adat Natargahar yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan desa, menjelaskan bahwa dirinya bersama teman-teman pemuda adat lainnya telah terlibat aktif dalam penanganan penyebaran Covid-19 di wilayah adat lewat sosialisasi, pembagian masker dan hand sanitizer kepada warga adat. Mereka juga menginisiasi penutupan atau lockdown wilayah adat. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menekan angka penyebaran dan meningkatnya Covid-19 di wilayah adat. Lusia pun berkisah tentang suka dukanya dalam upaya penanganan Covid-19. Ia sempat terpapar virus tersebut dan mendapatkan perawatan dan menjalani karantina mandiri selama 20 hari.

“Upaya yang harus dilakukan seluruh pemuda adat saat ini adalah  memberikan edukasi kepada para orang-orang tua dan saudara-saudari yang ada di kampung tentang bahaya Covid-19,” ungkapnya.

Selain mematuhi protokol kesehatan (prokes), kami pun berusaha membatasi aktivitas pelaku perjalanan untuk orang masuk dan keluar kampung. Kami menghimbau agar warga mengonsumsi makanan bergizi dan buah-buahan untuk meningkatkan imunitas. Dengan demikian, secara bersama kami di wilayah adat bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Ketika tulisan ini ditulis pada pertengahan tahun 2021, vaksinasi Covid-19 bagi Masyarakat Adat di kampung, belum ada. “Sebagai pemuda adat yang berprofesi sebagai perawat, saya berharap lebih, supaya Masyarakat Adat bisa mendapatkan vaksinasi untuk mengurangi angka positif dan angka kematian di wilayah adat yang disebabkan Covid-19,” tegas Lusia. Pemuda pulang kampung menjadi tumpuan harapan bagi keberlanjutan kampung. Merekalah yang bakal meneruskan kehidupan di kampung dengan membangun ketahanan pangan dan ketahanan terhadap serangan pandemi.

***

Penulis adalah warga dari Masyarakat Adat di Kampung Koker, Sikka, NTT. Artikel ini merupakan bagian dari tulisan yang ditulis untuk Kisah dari Kampung - sebuah gerakan penulisan buku yang digagas oleh AMAN dalam upaya menghadirkan profil berupa kisah dari berbagai kampung di penjuru Nusantara dan ditulis oleh para Kader AMAN bersama pasangan jurnalis.