Oleh Jomima Ihalawey bersama Permata Adinda 

Dini hari itu, Desa Uraur masih ramai. Semua orang sudah terjaga. Kami  mempersiapkan sebuah ritual adat. Kaum laki-laki sibuk ke hutan berburu babi ataupun rusa. Mereka juga menyempatkan diri menebang pohon bambu untuk membakar daging dan menangkap ikan di sungai.

Hasil buruan itu akan dibawa kepada kami, perempuan-perempuan yang sudah berkumpul di pusat desa. Para perempuan memasak daging hasil tangkapan dengan kayu bakar yang telah dibawakan kaum pria. Perempuan-perempuan juga mencari dan memotong daun riuk dan sirih pinang untuk keperluan ritual.

Penyematan Gender
Hari itu, seorang bayi baru saja lahir dan perlu disiapkan untuk menghadapi dunia luar. Itulah mengapa ritual Tana Ile dilakukan: sebelum seorang bayi boleh keluar rumah dan berbaur dengan masyarakat, ia harus mengikuti serangkaian upacara adat yang dipercaya akan membawakan berkah untuknya. Mama Biang, sebutan bagi bidan atau dukun beranak yang membantu melahirkan sang anak bayi, akan bertanggung jawab untuk menggendong anak di dalam rumah.

Ritual Tana Ile menyematkan peran gender yang spesifik bagi seorang anak. Jika bayi tersebut adalah perempuan, Mama Biang akan membawakan pisau dan garuru sebagai tanda bahwa ia akan tumbuh besar dengan keahlian berkebun dan memasak. Sementara, jika anaknya adalah laki-laki, Mama Biang akan membawakan parang sebagai tanda bahwa si anak laki-laki akan punya keahlian berburu.

Saya, Jomima Ihalawey, saya perempuan adat di Desa Uraur, bagian dari Negeri Adat Honitetu. Pada 30 tahun lalu, saya juga menjalani ritual itu. Peran perempuan disematkan pada saya dan masih saya pegang hingga saat ini.

Saya mengawali aktivitas setiap pagi dengan memasak dan membersihkan rumah sambil suami bersiap untuk kerja dan anak saya berangkat sekolah.
 
Namun, di sisi lain, Negeri Adat Honitetu yang terletak di Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, tidak memberlakukan peran itu secara tegas. Pagi hari, setiap saya melakukan aktivitas rumah tangga, suami dan anak saya akan turut serta membantu. Suami saya ikut memasak dan menyapu. Anak saya mencuci piring. Di malam hari, ketika keduanya telah pulang ke rumah, mereka tidak serta-merta beristirahat dan membiarkan saya mengerjakan tugas-tugas rumah tangga sendirian. Keduanya ikut mencuci baju, memasak makan malam, ataupun aktivitas-aktivitas domestik lainnya.

Saya sengaja membiasakan anak laki-laki untuk melakukan tugas-tugas domestik sejak kecil. Saya menginginkan, suatu hari kelak saat berumah tangga, anak lelaki saya tidak akan membiarkan istrinya bekerja sendirian.

Perempuan di Negeri Adat Honitetu diibaratkan sebagai “mata sagu.” Mata sagu akan menciptakan rumpun sagu dengan jumlah berkali-kali lipat. Perempuan, sebagaimana mata sagu, adalah sumber kehidupan. Ia mesti dihargai dan dilindungi setiap saat.

Ada sistem matriarki yang berlaku di Negeri Adat Honitetu. Perempuan punya posisi sebagai kepala mata rumah manakala dia menikah dengan laki-laki dengan marga berbeda. Pihak perempuan akan meneruskan marganya ke anak-anaknya. Selain itu, ketika seorang laki-laki menikah dengan perempuan asal Negeri Adat Honitetu, ia mesti tinggal di kampung si perempuan. 

Sebagai seorang perempuan adat, hidup saya tidak hanya berkutat di perihal rumah tangga. Setelah suami saya, seorang guru SMA, dan anak saya berangkat sekolah, inilah waktu di mana kesibukan saya yang sebenarnya dimulai. Saya bersama dengan perempuan-perempuan adat lain akan mengorganisasi berbagai aktivitas di kampung kami. Kegiatan itu termasuk kegiatan bersama sesama perempuan adat, ritual adat, ataupun peribadatan di gereja.
 
Saya mengawali aktivitas di luar rumah itu dengan pergi ke warung dan kebun kolektif yang saya kelola bersama dengan 20 perempuan lain di desa. Kebun seluas setengah hektar milik ayah saya, akan kami bersihkan terlebih dahulu, sehingga layak untuk ditanami. Kami akan menanam sayur-sayuran dan buah-buahan di sana, termasuk jagung, pisang, dan kacang.

Perempuan adat di Desa Uraur memanen hasil kebun kolektif mereka.

Ketika sudah waktunya panen, sebagian hasil kebun itu akan kami jual. Keuntungannya akan kami tabung untuk kebutuhan organisasi dan anggota, sedangkan sebagian lainnya akan kami bagikan ke orang-orang di sekitar yang membutuhkan, terutama kaum perempuan. Saya bagikan kepada ibu-ibu, termasuk yang sudah tidak punya suami dan sangat membutuhkan.

Jika tidak ke kebun, saya akan pergi ke warung milik saya, juga mengurus kegiatan peribadatan ataupun kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan gereja melalui unit atau sektor pelayanan. Ada organisasi perempuan di gereja. 

Selain beribadah, organisasi perempuan yang beranggotakan semua perempuan ini punya fokus untuk memberdayakan sesama perempuan. Kami mengadakan kegiatan pelatihan pangan lokal dengan tujuan agar perempuan dapat mengutamakan sumber pangan di sekitar kami untuk dikelola. Jenis-jenis pangan, seperti ubi, singkong, dan sagu, kami coba olah sekreatif mungkin. Misalnya, dijadikan sumber karbohidrat sebagai pengganti nasi, atau kami olah menjadi kue. 

Di level komunitas adat, dari semuanya itu terlihat juga pentingnya peran perempuan di lembaga adat atau yang biasa disebut sebagai Saniri. Honitetu terdiri dari sembilan kampung, sehingga wilayah adat ini juga disebut sebagai Nudua Siwa yang berarti “sembilan mulut” atau “sembilan suara.” Sembilan kampung itu adalah Rumatita, Imabatai, Honitetu, Sokawati, Ursana, Uraur, Nunaya, Nui, dan Lakubutui. Kampung-kampung tersebut terdiri dari sembilan soa, yaitu Soa Lattu, Soa Moly, Soa Titta, Soa Mauwene, Soa Tebiary, Soa Laiuluy, Soa Tayane, Soa Taniwel, dan Soa Hokojate. Perwakilan soa inilah yang nantinya akan menjabat di Saniri atau lembaga adat yang berperan mengayomi hukum adat. Kepala Soa Mauwene haruslah seorang perempuan. Perannya krusial: keputusan akhir di level adat ada di tangannya. Jika ia tidak setuju, maka keputusan tidak bisa dijalankan. Itu bukan disebabkan kepala soa dari Mawene punya posisi tertinggi dibandingkan kepala-kepala soa lainnya di Saniri. Hal itu diatur demikian karena Masyarakat Adat Honitetu amat menghargai perempuan. Jadi, segala keputusan terakhir selalu ditanyakan kepada saudara perempuan. Kalau perempuan bilang tidak bisa, maka tidak akan dilakukan.

Tradisi yang Hilang
Desa Uraur, tempat saya tinggal, masuk wilayah Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, dan merupakan bagian dari wilayah adat Negeri Honitetu. Desa ini terdiri dari penduduk dengan lima marga asli, yaitu Ihalawey, Latumadina, Serihollo, Tayane, dan Rumahmale.

Pada mulanya, desa ini menjadi salah satu dari sembilan kampung yang ada di Negeri Adat Honitetu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak pendatang yang menetap dan tinggal bersama penduduk asli. Dengan semakin membesarnya Uraur dan semakin membengkaknya anggaran untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan kebutuhan publik lainnya, maka Uraur dimekarkan menjadi sebuah desa sejak 2001. Dari yang awalnya desa persiapan, Desa Uraur resmi menjadi desa definitif sejak 2007.

Meski telah terpisah secara administrasi dari Negeri Adat Honitetu, secara adat Desa Uraur masih menjadi bagian dari Honitetu. Desa Uraur merupakan pintu masuk Honitetu. Masyarakat Adat yang tinggal di Desa Uraur punya keleluasaan sebagaimana Masyarakat Adat Honitetu lainnya untuk mengakses hutan adat dan mengambil kebutuhan pangan dari sana.

Perempuan adat di Desa Uraur mengumpulkan dan mengolah hasil panen untuk dijual dan dibagikan ke warga yang membutuhkan. 

Terlepas dari itu, semakin banyaknya pendatang yang menetap di Desa Uraur juga berpengaruh ke semakin terkikisnya tradisi dan kepercayaan adat yang telah diteruskan turun-temurun oleh Masyarakat Adat Honitetu.

Para pendatang, misalnya, tak semua menganut sistem matriarki. Banyak dari mereka yang tumbuh besar dengan menganut sistem patriarki dan membawa kepercayaan dan keseharian itu ke Desa Uraur. Ketika orang tersebut menikah dengan perempuan dari marga asli Honitetu, perempuan tersebut kerap “mengalah.” Ia bisa saja ikut ke kampung suaminya dan tinggal di sana dan tidak lagi menjalani hidup, seperti tradisi asli Honitetu agar pasangan suami-istri itu bisa tinggal di kampung sang istri. Peran kepala rumah tangga juga bisa beralih ke laki-laki, tidak lagi ada di pihak perempuan sebagaimana tradisi adat Honitetu. 

Dalam beberapa kasus, fenomena tersebut berdampak ke dinamika suami dan istri di keluarga. Relasi mereka menjadi tidak setara. Warisan orangtua yang semestinya diberikan kepada perempuan, beralih menjadi hak anak laki-laki sepenuhnya. Suami yang percaya bahwa tugas perempuan sepenuhnya adalah di dalam rumah, juga bisa mengekang sang istri untuk berkegiatan dan bersosialisasi di luar rumah. Dinamika inilah yang membuat masih ditemukannya perempuan di Negeri Adat Honitetu, khususnya di Desa Uraur, yang enggan berorganisasi bersama perempuan lain atau menjadi pemimpin di desa. 

Di sisi lain, situasi ekonomi membuat banyak perempuan di Desa Uraur tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi, sehingga mereka tidak cukup percaya diri dalam meningkatkan kapasitas diri mereka. Akses transportasi yang terbatas dan jarak sekolah yang jauh membuat banyak penduduk Desa Uraur putus sekolah di bangku SMP, bahkan SD. Fenomena ini paling banyak dialami penduduk berusia 40-50 tahun ke atas, yaitu mereka yang tumbuh besar ketika sarana dan prasarana publik di Desa Uraur, belum memadai. Saya melihat banyak di antara mereka yang berusia di bawah 30 tahun, rata-rata setidaknya sudah lulus SMA, bahkan tingkat sarjana.

Kekhawatiran yang Mendera
Kendala-kendala yang saya uraikan itu, diperparah dengan belum adanya pengakuan terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Kami, dengan sejumlah wilayah adat yang telah diklaim sebagai hutan negara atau hutan lindung oleh pemerintah, menyimpan ketakutan bahwa suatu kali nanti tanah dan sumber penghidupan kami, akan dirampas dan dijadikan industri perkebunan atau pertambangan. 

Kecurigaan itu kembali membesar ketika Kabupaten Seram Bagian Barat mengeluarkan perintah agar pemilihan kepala desa dijalankan secara serentak dengan melibatkan semua  desa adat. Itu berarti calon-calon kepala desa, bisa dari mana saja dan tidak lagi mesti orang bermarga asli Honitetu.

Sementara itu, ada tradisi di Honitetu, termasuk di Desa Uraur, agar kepala desa dipilih berdasarkan marga keturunan raja atau kepala desa sebelumnya. Kekhawatiran terbesar saya yaitu ketika jabatan kepala desa dapat diduduki oleh siapa saja, maka bisa saja wilayah adat kami tidak lagi dianggap sebagai wilayah adat, tetapi disebut desa. Kalau menjadi desa, bisa jadi seluruh wilayah hutan kami diklaim sebagai hutan negara.

Kekhawatiran itu sangat beralasan. Meski belum ada konflik vertikal dengan negara di kalangan Masyarakat Adat Honitetu, tetapi belum disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang mengakui keberadaan Masyarakat Adat dengan wilayah adatnya, menyebabkan kami berada di posisi rentan.
 
Sementara itu, Catatan Akhir Tahun 2020 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa kasus konflik agraria meningkat pada 2020. Selama lima tahun terakhir, terdapat 2.288 kasus konflik agraria, di mana 241 konflik terjadi akibat praktik-praktik perampasan tanah di kampung atau desa yang terjadi sepanjang 2020.

Banyak cara yang kami lakukan untuk memperjuangkan negeri kami. Strategi-strategi itu melibatkan perempuan secara aktif dan - pada saat yang sama - memberdayakan kaum perempuan. Di level kebijakan, kami juga melakukan audiensi dengan pimpinan daerah. Kami berencana akan membuat aksi besar bersama Masyarakat Adat lain dengan harapan pemilihan kepala desa tidak perlu dilakukan secara serentak. 

Pembagian hasil panen dan sembako kepada perempuan adat kepala keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi.

Di level komunitas, kami para perempuan adat membicarakan strategi untuk mengembalikan tradisi adat dan mempertahankan wilayah adat kami di tengah kegiatan berkebun kolektif. Bekerja sama dengan Pemerintah Desa maupun Saniri, kami sepakat untuk membangun sekolah adat dengan kurikulum yang isinya memperkenalkan kembali generasi muda dengan asal-usul dan budaya tanah tempat kami dilahirkan dan tumbuh besar, salah satunya bahasa adat.
 
Keluarga di Masyarakat Adat Honitetu percaya bahwa pendidikan berperan penting bagi hidup seorang anak. Ketika orangtua seorang anak mampu secara ekonomi, maka akan mendukung anak-anak untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin, terlebih untuk anak perempuan. Perempuan adat di sini ibarat mata sagu. Saya amat mengharapkan perempuan adat yang bersekolah, akan bisa memberikan manfaat bagi dirinya sendiri, keluarganya, dan lingkungan sekitarnya. Tujuan utamanya, lagi-lagi, adalah demi melestarikan budaya Negeri Adat Honitetu. Saya tidak akan lupa dan saya bangga, kami adalah mata sagu.

***

Penulis adalah perempuan adat dari Komunitas Masyarakat Adat Negeri Adat Honitetu di Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Artikel ini merupakan bagian dari tulisan yang ditulis untuk Kisah dari Kampung - sebuah gerakan penulisan buku yang digagas oleh AMAN dalam upaya menghadirkan profil berupa kisah dari berbagai kampung di penjuru Nusantara dan ditulis oleh para Kader AMAN bersama pasangan jurnalis.