
Kementerian HAM Mendukung Percepatan Pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat
07 Mei 2025 Berita Shinta AprilliaOleh Shinta Aprillia
Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia mendukung sepenuhnya proses legislasi Rancangan Undnag-Undang Masyarakat Adat untuk bisa segera disahkan sesuai semangat konstitusi.
Menteri HAM Natalius Pigai menyebut pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat merupakan kekosongan hukum yang sudah lama berlangsung.
“Dalam batang tubuh UUD 1945, ada dua pasal yang secara tegas mengatur soal Masyarakat Adat. Namun sejak Indonesia Merdeka, belum pernah ada satu pun Undang-Undang yang mengatur secara komprehensif perlindungan, pelestarian, dan penghormatan terhadap Masyarakat Adat,” kata Pigai saat menerima audiensi Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat di kantor Kementerian HAM, Jakarta pada Selasa, 6 Mei 2025.
Pigai menegaskan Kementerian HAM berkomitmen mendukung penuh proses legislasi RUU Masyarakat Adat. Bahkan, tokoh Papua ini bersedia untuk memfasilitasi diskusi lanjutan segera setelah naskah akademik dan draf RUU Masyarakat Adat tersedia.
“Kami siap memfasilitasi, Kementerian HAM ini berkewajiban mendorong agar proses pengesahan (RUU Masyarakat Adat) berjalan sesuai semangat konstitusi,” ucapnya.
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat yang terdiri atas 47 organisasi Masyarakat Sipil beraudiensi dengan Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai di kantornya, Selasa (6/5/2025).
Dalam audiensi ini, perwakilan koalisi berharap Kementerian HAM dapat segera berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, lembaga teknis lainnya dan DPR untuk memastikan percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025.
Hak Tradisional Masyarakat Adat Bagian Dari Hak Asasi Manusia
Abdon Nababan, anggota Tim Substansi Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, menyampaikan landasan konstitusional bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat telah diatur dalam Pasal 18B dan 28I UUD 1945. Karena itu, menurutnya, Indonesia membutuhkan Undang-Undang yang mengoperasionalkan mandat konstitusi tersebut secara konkret.
“Pasal 28I menegaskan bahwa hak-hak tradisional Masyarakat Adat merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Maka, sudah semestinya Kementerian HAM menjadi rumah yang menyambut perjuangan ini,” ungkap Abdon yang pernah menjabat Sekretaris Jenderal AMAN dua periode 2007 - 2012 dan 2012 – 2017.
Dalam kesempatan ini, Abdon menyoroti berbagai konflik agraria yang kerap terjadi di wilayah adat. Dikatakannya, ketidakjelasan pengakuan hukum atas wilayah adat sering kali memicu konflik, terutama saat proyek-proyek investasi skala besar masuk ke dalamnya.
“Masyarakat Adat tidak menolak investasi. Tapi, ketika investasi masuk tanpa mengakui dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, maka yang terjadi adalah perampasan,” kata Abdon dalam konferensi pers selepas audiensi.
Audiensi koalisi kawal RUU Masyarakat Adat dengan Kementerian HAM. Dokumentasi AMAN
Masyarakat Adat Tidak Anti Pembangunan dan Investasi
Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Pengurus Besar AMAN Muhammad Arman mengatakan pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat ini sangat penting untuk memastikan investasi yang dilakukan di lahan-lahan milik Masyarakat Adat berlangsung sesuai aturan dan tidak mengabaikan prinsip keadilan. Sebab, kata Arman, hampir 75 persen wilayah Masyarakat Adat diklaim sebagai kawasan hutan oleh pemerintah. Kemudian, tanah yang diklaim tersebut akhirnya digunakan oleh perusahaan.
Arman menegaskan bagi Masyarakat Adat kehilangan tanah itu adalah cultural genocide. Wilayah adat adalah ibu bagi Masyarakat Adat. Dikatakannya, Masyarakat Adat tidak anti dengan pembangunan dan investasi. Namun, proses pembangunan yang dilakukan harus bisa dirasakan oleh semua pihak secara adil. Untuk itu, imbuhnya, DPR dan Pemerintah perlu segera mensahkan Undang-Undang Masyarakat Adat.
“Dengan adanya Undang-Undang Masyarakat Adat ini, kita ingin memastikan perampasan wilayah adat, kriminalisasi diakhiri. Dengan begitu, Masyarakat Adat bisa mendapatkan keadilan dan kesejahteraannya,” kata Arman belum lama ini dalam acara media briefing di Kedai Tjikini Jakarta.
Arman menuturkan berdasarkan data AMAN, ada 2.596 komunitas Masyarakat Adat di Indonesia yang terus berkonflik hingga kini dengan perusahaan. Komunitas Masyarakat Adat yang berkonflik tersebut rentan terhadap kriminalisasi dan terancam punah.
Menilik dari berbagai kasus yang terjadi di komunitas Masyarakat Adat ini, Arman menyebut sudah waktunya dibentuk satu institusi khusus dibawah Presiden yang mengatur tentang Masyarakat Adat. Sebab, kata Arman, negara dan Masyarakat Adat tidak dapat dipisahkan, baik secara history maupun berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
***
Penulis adalah volunteer Infokom PB AMAN