Oleh Arnol Prima Burara

Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Toraya bersama Masyarakat Adat Se’seng meluncurkan program Penguatan Wilayah Adat  Se’seng  Melalui Rehabilitasi Wilayah Adat dan Penanaman Pangan Lokal.

Program yang telah disosialisasikan kepada Masyarakat Adat di Gereja Jemaat Buttu Limbong, wilayah adat  Se’seng pada 20 Juni 2025 ini merupakan bentuk respon terhadap krisis iklim dan klaim atas hutan negara yang berada di dalam wilayah adat. Sosialisasi turut dihadiri peserta didik dari Sekolah Adat Bai Pokki’ Se’seng.

Ketua Pelaksana Harian AMAN Daerah Toraya Romba Marannu Sombolinggi  dalam sambutannya di acara sosialisasi ini menekankan pentingnya pendidikan yang berakar pada budaya dan ekologi lokal. Dikatakannya, kegiatan sosialisasi ini bagian dari upaya pendidikan lingkungan dan pewarisan nilai-nilai adat kepada generasi muda.

Ia berharap generasi muda yang ikut dalam acara sosialisasi lebih dibekali dengan pendidikan kampung — mulai dari etika adat, sejarah asal-usul, pengenalan pangan lokal, tanaman obat, hingga semua bentuk kearifan lokal di komunitas Masyarakat Adat Se’seng.

“Sebab suatu hari nanti, merekalah garda terdepan dalam melindungi wilayah adatnya,” kata Romba Marannu Sombolinggi.

Romba juga mengingatkan tanpa pemahaman mendalam tentang akar budaya dan lingkungan, generasi muda bisa saja menjadi pihak yang justru merusak tatanan dan wilayah adatnya sendiri.

Karenanya, menurut Romba, program rehabilitasi ini menjadi langkah awal untuk memulihkan keseimbangan alam serta menegaskan kembali hak-hak Masyarakat Adat atas wilayah adat dan sumber daya tradisional mereka.

Sosialisasi program penguatan wilayah adat Se'seng. Dokumentasi AMAN

Masyarakat Adat Tidak Bisa Mengakses Sumber Daya di Hutan

Tridianus Kala Pongmanapa selaku Ketua Masyarakat Adat Se’seng di acara sosialisasi ini menyuarakan kekhawatiran atas kerusakan sistem ekologi lokal yang selama ini menjadi sumber kehidupan Masyarakat Adat.

"Sejak dulu, leluhur kami hidup dalam falsafah Tallu Lolona tiga pucuk kehidupan: manusia, tumbuhan, dan hewan. Ketiganya hidup setara dalam ikatan yang saling menjaga. Kini, semuanya berubah. Pohon-pohon lokal menghilang, pangan lokal langka, bahkan perlakuan secara adat sebelum masuk hutan pun nyaris hilang. Ini tanda-tanda bahwa hubungan manusia dengan alam sedang rusak,” paparnya di komunitas Masyarakat Adat Se’seng, Kecamatan Bittuang, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Tridianus juga menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah yang menetapkan sebagian wilayah adat sebagai kawasan hutan negara semakin memperparah kondisi.

“Masyarakat Adat kini tak bisa mengakses sumber daya di hutan, yang sejak dahulu mereka rawat. Ini bentuk ketimpangan yang harus segera diatasi,” imbuhnya.

Padahal, akunya, Indonesia telah memiliki dasar hukum untuk pengakuan Masyarakat Adat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 secara tegas menyatakan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara, melainkan hutan yang berada di wilayah Masyarakat Adat yang diakui keberadaannya. Selain itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengakui peran Masyarakat Adat dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Namun dalam praktiknya, sebut Tridianus, banyak Masyarakat Adat termasuk di Se’seng, masih menghadapi berbagai hambatan dalam mendapatkan pengakuan atas wilayah adat secara de facto maupun de jure.

“Dengan adanya program penguatan wilayah adat Se’seng, kami harapkan permasalahan ini bisa segera diatasi,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Tana Toraja, Sulawesi Selatan

Writer : Arnol Prima Burara | Toraja, Sulawesi Selatan
Tag : AMAN Toraya Meluncurkan Program Penguatan Wilayah Adat Se'seng