Sekjen AMAN : Pemerintah Harus Bertanggungjawab Atas Bencana Sumatera
16 Desember 2025 Berita SepriandiOleh Sepriandi
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyatakan bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi di pulau Sumatera saat ini bukan hanya disebabkan faktor alam, melainkan akibat kekeliruan pemerintah dalam mengambil keputusan politik.
Rukka menjelaskan kekeliruan yang dimaksudkan adalah pemerintah terlalu royal memberikan izin kepada perusahaan perusak lingkungan hingga sampai terjadi perampasan wilayah adat. Oleh karena itu, bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera menjadi tanggungjawab pemerintah.
Menurut Rukka, kerusakan alam di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat karena pemerintah memberikan izin pengelolaan hutan kepada investor. Akibatnya, terjadi eksploitasi kekayaan alam secara besar-besaran hingga menyebabkan bencana di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
"Kita perlu ingat, bencana yang terjadi di Sumatera saat ini, bukan soal negara hadir tapi memang harus bertanggungjawab. Negara ini berhutang kepada orang Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Dari sana, eksploitasi kekayaan alam dikeruk selama ini,” kata Rukka Sombolinggi dalam dialog bertajuk “Bencana Sumatera, Korban Banjir Bisa Menggugat” di Kompas TV pada Kamis, 11 Desember 2025.
Dalam kasus eksploitasi kekayaan ala mini, Rukka mencontohkan salah satu perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Tano Batak, Sumatera Utara yang telah digugat, dilawan serta diminta untuk dihentikan sejak pemerintah Presiden Soeharto. Namun hingga kini, perusahaan tersebut dibiarkan oleh pemerintah tetap beroperasi. Padahal, perusahaan itu menjadi salah satu perusak hutan.
Rukka menegaskan dari awal perusahaan itu berdiri, Masyarakat Adat telah melakukan penolakan terhadap PT Indorayon yang kini berganti kulit menjadi PT Toba Pulp Lestari. Alasannya, perusahaan milik konglomerat Sukanto Tanoto tersebut telah merampas wilayah adat hingga melakukan kriminalisasi terhadap para tokoh Masyarakat Adat yang kritis menentang perusahaan.
Ironisnya, kata Rukka, negara seakan abai terhadap permasalahan yang dihadapi Masyarakat Adat hingga menyebabkan rakyat yang tidak berdosa menjadi korban kerusakan hutan.
"Akibat ekploitasi hutan, akhirnya terjadi bencana. Rakyat yang tidak berdosa menjadi korban," ungkapnya.
Rukka mengingatkan pemerintah terkait penanganan bencana di Sumatera. Disebutnya, ketersediaan pangan seperti beras, mungkin saja masih cukup dan tersedia di gudang milik pemerintah. Namun yang lebih penting, katanya, masyarakat di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat harus dianggap dan merasa menjadi manusia yang ada di bumi Indonesia.
"Masyarakat Adat yang menjadi korban bencana (Sumatera) ini harus menjadi perhatian khusus. Mereka harus dianggap ada,” tegas Rukka.
Korban Bencana Terus Bertambah
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis jumlah korban meninggal akibat banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di pulau Sumatera terus bertambah hingga Selasa (16/12/2025) mencapai 1.030 orang, sementara 206 korban lainnya masih dinyatakan hilang dan dalam proses pencarian.
Selain korban jiwa, bencana yang melanda 52 kabupaten dan kota di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat tersebut juga mengakibatkan sekitar 7.000 warga mengalami luka-luka dengan berbagai tingkat keparahan.
Sementara, permukiman warga yang rusak sebanyak 186.488 unit, fasilitas umum sekitar 1.600 terdampak, meliputi 219 fasilitas kesehatan, 967 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, 290 gedung perkantoran, serta 145 jembatan yang rusak akibat banjir dan longsor.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Bengkulu