
Batu Basaluh : Cerita Leluhur dari Komunitas Masyarakat Adat Lewu Jabiren
08 September 2025 Berita YumeroOleh Yumero
Matahari mulai memberikan sengatan cahaya panas saat tiga pemuda adat : Andra, Merliadi, Sepdianto hendak naik perahu di Sungai Kahayan. Ketiganya tidak bergeming dengan cuaca panas. Mereka abaikan sengatan matahari, yang dalam bahasa Dayak disebut Matan Andau..
Sambil menahan teriknya cuaca panas, ketiga pemuda tetap semangat naik perahu kayu menyusuri Sungai Kahayan. Perahu melaju kencang menuju lokasi Batu Basaluh di Desa Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah pada Sabtu, 19 Juli 2025.
“Kita sedang melalui sungai Kahayan, nanti kita akan melewati sungai Tanginin, dan setelah itu baru sampai di Batu Basaluh,” kata Merliadi dengan penuh semangat.
Setelah menempuh perjalanan 30 menit, perahu yang ditumpangi tiga pemuda tiba di Batu Basaluh. Merliadi mengikatkan tali perahu ke batang kayu yang terdapat di sekitar daratan. Jarak perahu yang di parkir ke Batu Basaluh sekitar 20 meter. Ketiga pemuda tadi menghampiri Batu Basaluh.
Sepdianto yang mengenakan baju hitam langsung menaruh beberapa minuman soda dan menghidupkan dupa di samping Batu Basaluh. Kemudian, memanjatkan doa kepada leluhur. Merliadi, yang juga mengenakan baju hitam menjelaskan fungsi minuman soda dan dupa yang diletakkan disamping Batu Basaluh untuk menghormati leluhur.
Usai berdoa, Merliadi membersihkan area sekitar Batu Basaluh dan juga kuburan-kuburan leluhur yang ada di area itu. Kemudian, ia membuka kain kuning yang menutupi Batu Basaluh secara perlahan-lahan.
“Dari cerita orang tua, saat menyentuh Batu Basaluh dengan kedua tangan, kita bisa merasakan detang jantung dari nenek dan cucunya”, jelas Andra, sembari menyusul Merliadi untuk begantian menyentuh batu.
Seketika suasana hening saat Andra mulai menyentuh Batu Basaluh. Dari keheningan tersebut, tiba-tiba terdengar suara kicau burung selama 12 detik. Kicau burungnya merdu sekali.
“Kicau burung itu merupakan tanda bahwa leluhur menyambut baik kedatangan kita,” ucap Merliadi sembari bersiap meninggalkan lokasi Batu Basaluh bersama dua rekannya Andra dan Sepdianto.
Asal Usul Batu Basaluh
Menurut cerita leluhur Masyarakat Adat Lewu Jabiren sekitar dua abad yang lalu, Batu Basaluh itu adalah seorang nenek dan cucunya yang berubah menjadi batu ketika sedang mencari ikan di sungai Tanginin. Mereka mencari ikan tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Keduanya tinggal di sekitar sungai Tanginin, sekarang desa Jabiren.
Pada saat mereka mencari ikan di anak sungai Tanginin. Tiba-tiba, datang lalat pikat dalam jumlah banyak menghampiri mereka, lalu menggigitnya sehingga nenek mengucapkan sumpah serapah dengan bahasa yang tidak selayaknya. Setelah menyumpahi lalat pikat tersebut, langit menjadi mendung, lalu kilat petir menyambar disertai suara gemuruh yang nyaring. Seketika itu juga nenek memeluk cucunya dan melindunginya dengan sauk atau alat yang digunakan untuk menangkap ikan. Seketika mereka berdua disambar petir. Setelah disambar petir, keduanya berubah menjadi batu.
Seorang pemuda adat sedang membersihkan area Batu Basaluh. Dokumentasi AMAN
Cuaca Panas Akibat Pohon Berkurang
Berlin, selaku tetua adat di desa Jabiren menyatakan pada tahun 1990-2005, pepohonan masih banyak ditemukan di komunitas Masyarakat Adat Jabiren. Namun di tahun 2025, imbuhnya, pepohonan sudah berkurang sehingga perjalanan dari pemukiman menelusuri sungai Kahayan menuju sungai Tanginin (daerah Batu Basaluh) menggunakan perahu terasa panas sepanjang siang hingga sorenya.
“Dulu, ketika berangkat menuju ke Batu Basaluh, cuacanya terasa sejuk walau pun di siang hari. Sekarang, rasanya panas karena pepohonan sudah mulai berkurang,” terangnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah