Oleh Rima Riati

Hutan di wilayah komunitas Masyarakat Adat Balai Kiyu di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan bukan sekadar hamparan pepohonan. Hutan Balai Kiyu  adalah ruang hidup yang menyimpan sejarah, pengetahuan sekaligus keberlanjutan bagi Masyarakat Adat.

Hingga kini, hutan Balai Kiyu tetap dijaga dengan aturan adat yang ketat, menjadi penopang kehidupan sehari-hari sekaligus benteng terakhir dari gempuran perubahan iklim dan ancaman eksploitasi.

Bagi Masyarakat Adat Balai Kiyu, hutan adalah sumber pangan, obat-obatan, serta bahan untuk membangun rumah dan peralatan. Dari hasil hutan nonkayu seperti rotan, madu, hingga tanaman obat tradisional, mereka menjaga kearifan dalam pemanfaatan tanpa merusak kelestarian. Keyakinan yang diwariskan leluhur menyebut bahwa hutan adalah “ibu” yang memberi kehidupan, sehingga tidak boleh ditebang sembarangan.

Namun, seiring waktu, tantangan terhadap kelestarian hutan semakin nyata. Perubahan iklim kini dirasakan melalui pergeseran musim, menurunnya debit air sungai, hingga berkurangnya hasil hutan tertentu. Selain itu, ancaman dari luar berupa rencana penetapan Taman Nasional Meratus juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Masyarakat Adat.

Hutan Menyimpan Nilai Spiritual

Kepala Balai Kiyu Zarkasih menjelaskan hutan bagi Masyarakat Adat Balai Kiyu tidak hanya bernilai ekonomi, melainkan juga menyimpan nilai spiritual.  Ritual adat, misalnya, kerap dilakukan sebelum dan sesudah musim berladang sebagai wujud penghormatan kepada leluhur dan penjaga alam.

“Jika hutan rusak, maka hilang pula identitas dan kehidupan Masyarakat Adat,” ujarnya pada saat diwawancarai di kediamannya pada 17 Juli 2025.

Hal senada disampaikan oleh Sehadri, penghulu adat. “Hutan adalah nafas kami. Selama hutan ini berdiri, kami bisa hidup. Kalau hutan hilang, kami pun hilang,” tegasnya.

Solidaritas dan aturan adat menjadi dasar bagi Balai Kiyu untuk terus menjaga hutan sebagai warisan berharga bagi generasi mendatang.

Sebuah jembatan penghubung di kawasan komunitas Masyarakat Adat Balai Kiyu. Dokumentasi AMAN

Kekhawatiran Tetua Adat

Para tetua adat menilai perubahan iklim telah menggerus kearifan lokal yang selama ini diwariskan turun-temurun. Pengetahuan membaca tanda alam yang dulu menjadi pedoman hidup kini tidak lagi sepenuhnya bisa diandalkan.

“Kalau dulu, pengetahuan orang tua cukup jadi pegangan kami dalam berladang dan berburu. Sekarang anak-anak muda kebingungan, karena tanda alam yang mereka pelajari sudah tidak sesuai dengan kenyataan,” ungkap Suliman, Kepala Padang Balai Kiyu pada 18 Juli 2025.

Masyarakat Adat menegaskan bahwa hutan tetap dijaga, namun tantangan perubahan iklim membuat perlindungan hutan harus dibarengi dengan upaya adaptasi. Mereka berharap pemerintah maupun pihak terkait lebih memperhatikan kearifan lokal serta pengalaman para orang tua dalam menjaga keseimbangan lingkungan.

Hutan Balai Kiyu tetap menjadi denyut kehidupan Masyarakat Adat di Hulu Sungai Tengah. Namun, di balik kesejukan pepohonan dan gemericik air sungai, tersimpan kegelisahan para tetua yang menyaksikan perubahan iklim perlahan mengubah wajah kehidupan.

“Bagi kami, hutan bukan sekadar tempat mencari makan. Hutan adalah bagian dari hidup, tempat kami bernaung. Kalau hutan rusak, dan iklim terus berubah, maka kehidupan kami juga akan ikut terancam,” tutup Mama Indung dengan suara lirih.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Selatan

Writer : Rima Riati | Kalimantan Selatan
Tag : Kalimantan Selatan Perubahan Iklim Hutan Balai Kiyu Penopang Hidup