RITUAL AMPA FARE KOMPAS/KHAERUL ANWAR Sebelum dimasukkan ke uma lengge, padi yang dipanen harus melalui acara ritual ampa fare. Padi ataupun beras adalah komoditas terpenting dalam peradaban manusia. Dari kandungan kalorinya, padi atau beras memberikan energi dan penjaminan hidup sehari-hari. Dalam masyarakat agraris, komoditas ini dianggap buah keberkahan dan kemurahan Sang Pencipta bagi umat-Nya. Oleh karena itu, sejak masa tanam, pemeliharaan, hingga pascapanen, padi memiliki ”tempat khusus” di kalangan petani. Sebutlah dalam tradisi ampa fare, sebuah ritual menyimpan padi di uma (rumah) lengge (kerucut) yang dilakukan warga Desa Maria, Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Sebuah legenda Fare Ma Lingi atau ”padi menangis’ menunjukkan tingginya penghormatan akan padi. Legenda ini dipentaskan beberapa orang yang berperan sebagai Fare, Manusia, dan Ina Fare, sang pemilik ”lumbung” padi itu. Kisahnya begini. Suara ratapan tangis menyelinap keluar dari dalam asi kara (nama lain uma lengge). ”Belum 40 hari aku berada di sini, pemilik ku sudah ’mengusir’-ku.” ”Bicaralah, apa kesalahanmu sehingga engkau diusir,” sahut Manusia. Fare menjawab, ”Pemilikku mau makan ikan, aku ditukar dengan ikan, aku pun ditukar dengan baju kalau pemilikku ingin baju.” ”Maukah kau ikut denganku,” ucap Manusia itu, seraya meminta sang Fare menuruni anak tangga uma lengge, kemudian mereka bergandengan keluar dari kompleks penyimpanan komoditas pangan itu. Pentas selesai, para pemuka agama dan adat berdoa kepada Sang Khalik atas hasil panen padi yang diharapkan cukup sebagai bekal hidup hingga masa tanam-petik tahun berikutnya. Padi (biasanya padi bulu) pun dimasukkan ke uma lengge, dengan cara dilempar dari bawah dan masuk melalui jendela rumah penyimpanan itu. Sebelumnya, padi yang sudah dipanen dibawa dari sawah ke kompleks uma lengge untuk dijemur, dengan cara digantung pada sebilah bambu yang dipasang horizontal. Setelah kering, padi diikat menurut kapasitasnya, dengan sebutan berbeda. Satu to’do (ikat) seberat sekitar seperempat kg, 1 kafi (> 4 to’do > 2 kg), 1 kalo (10 kafi >20 kg), 1 wuwu (10 kelo > 100 to’do > 200 kg), dan 1 jala (10 wuwu (10.000 to’do > 2 ton) yang merupakan kapasitas uma lengge. Berbentuk kerucut Uma lengge berbentuk kerucut, atap dan dindingnya dari alang-alang, memiliki tiga lantai: tempat duduk-duduk (amben) di lantai I, kemudian palawija dan jawawut tersimpan di lantai II, dan padi di lantai III. Ada juga jompo, yang fungsi dan jumlah lantainya sama dengan lengge, meski dinding bangunannya berupa kayu. ”Gudang” hajat hidup warga sekampung meliputi 13 lengge dan 93 jompa, berdiri di atas lahan 2 hektar itu, kata Hasan Abu Bakar, tokoh adat Desa Maria, adalah bentuk kearifan lokal warga dalam menyiasati hidup pada musim kemarau. Warga acapkali lalai mematikan api saat memasak dengan bahan bakar kayu dan ranting sehingga sering terjadi kebakaran. Bara api cepat menjalar karena tempat tinggal mereka berupa rumah panggung, dengan jarak di antara rumah berdekatan. Oleh karena itu, uma lengge dibangun agak jauh dari permukiman, sekitar 500 meter di atas bukit. Tujuannya, jika terjadi kebakaran di perkampungan, bekal makanan selama setahun itu selamat dari jilatan api. Apalagi, dengan geografis wilayah kabupaten itu, seperti Desa Maria, areal sawah/ladang 1.510 hektar, bertadah hujan, bisa ditanami tiga-empat bulan dalam setahun. Wajar warga desa berjarak 17 kilometer dari Kota Bima itu memiliki strategi mengamankan logistiknya agar cukup sampai masa tanam berikutnya. ”Dalam tradisi warga, padi maupun beras hanya untuk dimakan, bukan dijual,” tutur M Tahir Alwi, budayawan Bima. Persepsi itu tersirat dari fare malingi: padi bukan alat jual beli, melainkan untuk konsumsi domestik rumah tangga. Ini mengingat warga Desa Maria umumnya mendapatkan sumber nafkah dari hasil menjadi buruh bangunan, tukang batu, tukang kayu, dan lainnya. Keberadaan lengge dan jompa agaknya ajakan untuk hidup hemat. Pemilik boleh mengambil padi untuk ditumbuk setelah disimpan 40 hari, jumlahnya terbatas 25 kg-26 kg cukup untuk keperluan seminggu. Lengge dibangun di atas dataran tinggi dan sepi, kata Jon Karim, juru kunci lengge, berdasarkan pertimbangan keamanan. Itu gampang dipantau jika ada orang yang bermaksud ”mengambil” bahan pangan yang tersimpan di lumbung itu. Boleh jadi pula, lokasi lengge yang berada di atas bukit itu, dimaksudkan agar pemiliknya malas jalan kaki memikul beban dari rumahnya sehingga mereka terhindar dari sikap konsumtif. Itu kearifan lokal yang terus dikikis pola hidup metropolitan yang merambah hingga desa Sumber: kompas.com