Oleh Isnah Ayunda

Komunitas Masyarakat Adat Mentawir di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur saat ini dirundung rasa cemas. Mereka khawatir mata pencarian mereka yang selama ini tergantung dari hutan bakau (mangrove) akan hilang menyusul akan dimulainya pembangunan ibu kota negara (IKN) di PPU.

Sahnan, pemangku adat dari Komunitas Masyarakat Adat Mentawir, mengatakan bahwa sejak pemerintah mengumumkan IKN pindah ke PPU, Komunitas Masyarakat Adat Mentawir pun langsung cemas. Pasalnya, wilayah adat mereka akan jadi salah satu lokasi yang disasar menjadi kawasan IKN. Menurut Sahnan, hal itu mencemaskan Komunitas Masyarakat Adat Mentawir karena jika itu yang terjadi, maka dipastikan hutan bakau yang selama ini jadi penyokong hidup mereka, akan musnah.

“Jika hutan mangrove kami musnah, maka musnah pula mata pencaharian kami,” kata Sahnan pada Selasa (23/8/2022).

Sahnan menjelaskan bahwa selama ini mata pencarian Komunitas Masyarakat Adat Mentawir hanya mengandalkan hasil laut dan bakau. Ia menuturkan, jika dua sumber penghidupan tersebut dirusak, maka akan makan apa Masyarakat Adat.

Karena itu, lanjut Sahnan, Masyarakat Adat kini sedang berjuang menyelamatkan bakau dari kepunahan. Ia menyebut upaya yang sedang dilakukan saat ini mendesak pemerintah untuk menjadikan kawasan bakau sebagai hutan adat agar dapat dilindungi dari ancaman pengrusakan oleh gencarnya pembangunan IKN ke depan.

“Kami berharap pemerintah bisa melakukan hal itu, melindungi hutan mangrove kami,” ungkapnya.

Selain khawatir akan mangrove yang menjadi mata pencaharian akan hancur, kehadiran IKN juga dikhawatirkan oleh Masyarakat Adat karena akan menggusur tempat tinggal mereka.

Benah, seorang perempuan adat dari Komunitas Masyarakat Adat Mentawir, menuturkan bahwa selama ini Masyarakat Adat di sana telah hidup nyaman dengan tinggal di tempat yang sekarang. Meski rumah mereka hanya beratap seng, namun tidur mereka bisa nyenyak. Mereka tidak pernah digusur.

Namun, sejak pengumuman peindahan IKN ke PPU, Benah mengungkapkan kalau Masyarakat Adat Mentawir takut tergusur dari kampung halamannya sendiri.

“Kami takut nasib kami tidak baik ke depannya. Saya melihat di televisi, banyak orang yang digusur akhirnya tidur di kolong jembatan. Ini menyedihkan,” kata Benah sembari berharap hal itu tidak terjadi pada mereka.

Benah menegaskan kalau mereka tidak ingin melihat anak dan cucu mereka nanti semakin menderita seiring dengan adanya pembangunan IKN.

“Kami tidak tahu sampai kapan kami hidup di dunia ini, tapi yang kami khawatirkan (adalah) nasib anak dan cucu kami di masa depan. Apakah pemerintah bisa menjamin suatu saat nasib anak dan cucu kami akan baik-baik saja,” kata Benah sembari berharap pemerintah memperhatikan nasib Masyarakat Adat di sela pembangunan IKN. 

Sejarah Asal-usul

Berdasarkan asal-usulnya, Komunitas Masyarakat Adat Mentawir disebut dengan Mentawar. Kata “Mentawar berasal dari nama sebuah sungai yang konon airnya dapat dijadikan obat segala penyakit. Banyak orang yang berasal dari luar Kampung Mentawir datang untuk mengambil air sungai tersebut. Hingga kini, sungai tersebut masih diyakini ampuh mengobati penyakit.

Selain air sungainya yang mujarab, Kampung Mentawir juga dikenal dari dulu sebagai kampung yang aman dari segala marabahaya.

Mentawir merupakan Komunitas Masyarakat Adat yang terletak di kawasan Teluk Balikpapan. Ada beberapa suku di Komunitas Masyarakat Adat Mentawir, di antaranya Paser Semunte dan Paser Migi. Selain itu, ada juga Suku Balik yang merupakan kampung lamanya Mentawir.

“Beragam suku yang berada di Komunitas Masyarakat Adat Mentawir selama ini hidup berdampingan dan saling menjaga satu sama lain,” kata Sahnan.

Potensi Mentawir

Sahnan menerangkan bahwa Mentawir memiliki potensi hutan bakau yang sangat potensial. Maka, Komunitas Masyarakat Adat Mentawir sangat menjaga kelestarian hutan bakau. Menurutnya, selama ini hutan bakau menjadi salah satu destinasi wisata alternatif bagi masyarakat lokal. Selain itu, buah dari pohon bakau di sana juga dapat diolah menjadi sirup, dodol, dan pupur (bedak) dingin.

“Semua potensi ini jadi mata pencarian Komunitas Masyarakat Adat Mentawir. Kami tidak bisa hidup tanpa mangrove,” katanya.

***

Penulis adalah jurnalis rakyat dari PPU, Kalimantan Timur