Press Release: Jakarta 8 Februari 2013. Keberadaan dan nasib masyarakat adat di Indonesia hingga saat ini masih jauh dari pengakuan dan perlindungan dari para pemangku kekuasaan dan negara. Pemerintah lewat kementerian- kementeriannya bersama pemerintah daerah (Pemda) justru memberikan ijin konsesi pada perusahaan-perusahaan skala besar tanpa melakukan sosialisasi serta meminta persetujuan lebih dulu dari masyarakat adat yang telah mendiami dan menguasai wilayah-wilayah peruntukan konsesi tersebut. Masyarakat adat dapat dipastikan sudah berdiam di wilayah konsesi itu secara turun temurun, bahkan jauh sebelum Republik Indonesia ini diproklamirkan. Dalam beberapa kasus, antara kementerian terkait (Kehutanan, KLH, Pertanian, BPN dan Pemerintah Kabupaten (dalam hal ini Bupati) justru saling lempar tanggung jawab. Pada sisi lain para anggota DPRD sebagai representasi masyarakat yang seharusnya berpihak pada suara para pemilihnya dimana seharusnya bekerja memantau kinerja dan kebijakan bupati. Apakah kinerjanya bupati di wilayahnya sudah berpihak pada masyarakat?. Namun dalam kenyataanya secara umum mereka justru bersembunyi di balik ketiak orang nomor satu tingkat Kabupaten itu atau perusahaan-perusahaan pemegang ijin konsesi tersebut. Di lapangan acap kali ijin Perkebunan skala besar, tambang atau Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK ) mendapat perlawanan dari masyarakat adat dan akhirnya terjadilah konflik berkepanjangan yang sangat merugikan rakyat, khususnya masyarakat adat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa produk hukum Indonesia sampai hari ini belum akomodatif terhadap tuntutan-tuntutan yang selalu disuarakan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat. Meskipun memang harus diakui pula bahwa saat ini DPR-RI terutama Badan Legislasi-nya tengah menggodok satu Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. RUU ini sangat diharapkan oleh kelompok masyarakat adat di seluruh nusantara sebagai satu undang-undang yang akan membuat pengakuan dan perlindungan konstitusional masyarakat adat “mewujud” di dunia nyata. Namun harus disadari pula bahwa upaya pada tingkat nasional melalui penyusunan RUU tersebut tidaklah cukup. Karena itu harus pula kita manfaatkan ruang politik hukum yang semakin terbuka pada era desentralisasi ini. Di samping Kabupaten Lebak dan Kabupaten Kampar, Kabupaten Malinau adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Kalimantan Utara – Propinsi yang baru terbentuk beberapa waktu lalu, juga telah mengambil inisiatif untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Pada tahun 2012 DPRD Malinau berinisiatif untuk menyusun PeraturanDaerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Kabupaten Malinau yang kemudian disahkan pada akhir tahun 2012. Tidak berhenti di situ, DPRD Kabupaten Malinau juga merasa bahwa Perda itu masih harus didukung dengan peraturan lain dalam membangun pertahanan yang kuat untuk membentengi hak-hak masyarakat adat dari serbuan investasi di masa depan yang bisa mengancam ketahanan pangan masyarakat adat di Kabupaten Malinau. Karenanya DPRD Malinau ingin agar ada peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan lahan-lahan potensial untuk perkebunan dan pertanian bagi masyarakat adat di Kabupaten Malinau. Selain itu DPRD Kabupaten Malinau juga merasa perlu untuk menyusun peraturan yang berkaitan dengan lembaga adat di Kabupaten Malinau. Untuk memulai usahanya tersebut, DPRD Kabupaten Malinau mengajak Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk bekerjasama dalam rangka melakukan kajian yang diarahkan untuk menyusun kedua peraturan daerah dimaksud di atas. Untuk kepentingan itu, AMAN dan DPRD Malinau telah melakukan diskusi-diskusi awal terkait dengan gagasan tersebut. Pembuatan Perda Perlinduangan Masyarakat adat inilah yang akan dikerjakan oleh Alinasi Masyakat Adat Nusantara dengan DPRD Kabupaten Malinau, Propinsi Kalimatan Utara. Demikian siaran pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Nota Kesepahaman dengan DPRD Kabupaten Malinau. Sekjen AMAN (Abdon Nababan) Staff Deputi II Bidang Advokasi PB AMAN (Erasmus Cahyadi)