Oleh Apriadi Gunawan

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak pemerintah dan investor untuk segera menghentikan tindakan perampasan wilayah adat dan segala bentuk tindak kekerasan terhadap Masyarakat Adat di Pulau Rempang Batam.

AMAN juga mendesak pemerintah untuk membentuk tim independen yang bertugas mencari fakta dan selanjutnya mengaudit kebijakan terkait penguasaan negara dan investasi yang berdampak pada perampasan wilayah Masyarakat Adat di Pulau Rempang.

Deputi II Sekjen AMAN bidang Politik dan Hukum, Erasmus Cahyadi mengatakan tim independen ini perlu segera dibentuk mengingat saat ini keselamatan dan identitas Masyarakat Adat dari Suku Bangsa Melayu yang hidup secara turun temurun di 16 kampung tua Pulau Rempang Batam sedang terancam. Pria yang akrab disapa Eras ini menambahkan pemerintah harus segera mengambil tindakan, khususnya Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk mencegah eskalasai konflik yang semakin meningkat di Pulau Rempang demi mengejar target relokasi pada 28 September 2023.

“Presiden Joko Widodo harus segera mengambil langkah-langkah konkrit ini guna memulihkan Masyarakat Adat di Pulau Rempang yang telah jadi korban dari konflik ini,” kata Eras dalam keterangannya pada Minggu, 17 September 2023.

Eras menjelaskan sejatinya konflik ini tidak perlu terjadi jika pemerintah menghormati kedaulatan wilayah Masyarakat Adat di Pulau Rempang yang sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Namun faktanya, pemerintah lebih pro pada investasi asing yang berlindung di balik nama Proyek Strategis Nasional. Ironisnya, proyek ini dibekingi oleh kebijakan serta aparat negara yang menindas. Akibatnya, kata Eras, pemerintah melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam secara arogan memobilisasi aparat bersenjata (TNI, Polri dan Satpol PP) untuk mengusir paksa Masyarakat Adat di Pulau Rempang. Padahal, sebut Eras, Masyarakat Adat sudah bermukim di pulau Rempang sejak ratusan tahun lalu.

“Tepatnya sejak awal abad 18, Masyarakat Adat sudah bermukim di Pulau Rempang Batam,” tandasnya.

Penangkapan Masyarakat Adat Rempang. Doc. Istimewa

Perampasan Wilayah Adat Meningkat

Eras menyebut selama hampir 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, kasus-kasus perampasan wilayah adat cukup meningkat seiring pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan proyek-proyek investasi lainnya. Atas nama investasi, pemerintah tidak ragu merampas, menggusur, dan melakukan kekerasan terhadap Masyarakat Adat yang telah hidup ratusan tahun di atas wilayah adatnya.

“AMAN mencatat ada 301 kasus perampasan Wilayah Adat selama 2019 – 2023,” ungkapnya.

Eras menuturkan berdasarkan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) disebutkan bahwa sepanjang 8 bulan terakhir di tahun 2023, telah terjadi 692 konflik agrarian.

Ditambahkannya, dari kasus yang terjadi ini memperlihatkan bahwa pemerintah telah bersikap main kuasa, arogan, dan tidak tahu malu karena melanggar prinsip-prinsip dasar negara serta tidak memenuhi tujuan Indonesia merdeka.

Pemerintah saat ini lupa bahwa pemerintahan negara Indonesia merdeka berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum, melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan seterusnya, sebagai idea yang dicita citakan,” ujar Eras.

Ini artinya, kata Eras, keseluruhan tindakan pemerintahan seharusnya mengacu pada tujuan bernegara tersebut. Itulah pula yang menjadi alasan mengapa negara merdeka seharusnya berbeda dengan penjajah.

Kecam Sikap Pemerintah

Eras mengecam sikap pemerintah terhadap Masyarakat Adat di Pulau Rempang. Jangankan legalitas penguasaan Masyarakat Adat secara kolektif, penguasaan pribadi sebagai warga negara saja cukup sulit didapatkan anggota-anggota Masyarakat Adat di Pulau Rempang.

Eras menyebut jika ditelusuri, kenyataan ini tidak dapat terlepas dari adanya keputusan-keputusan pejabat publik pemerintahan yang tidak diketahui, apalagi disetujui Masyarakat Adat di Pulau Rempang. Dicontohkannya, melalui Keppres Nomor 28 Tahun 1992, Pemerintah Orde Baru memperluas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang telah diberikan kepada BP Batam hingga ke seluruh daratan Pulau Rempang dan Pulau Galang. Walikota Batam melanjutkan hal itu dengan menerbitkan surat edaran yang ditujukan kepada camat se-Kota Batam yang memperkecil kemungkinan bagi Masyarakat Adat untuk mendapatkan status hak atas tanahnya

Eras menambahkan situasi semakin mempersulit Masyarakat Adat ketika pada tahun 2023 pemerintah mengalokasikan pulau Rempang menjadi lokasi Proyek Strategis Nasional dengan nama Rempang Eco City dengan Permenko No 7 Tahun 2023.

Lalu ketika kekerasan terhadap Masyarakat Adat di Pulau Rempang mendapatkan sorotan dan kritikan, sebut Eras, publik malah seolah digiring untuk memahami aksi-aksi kekerasan itu sebagai upaya penertiban dan pengosongan lahan. Kemudian, menuding Masyarakat Adat yang menolak sebagai pihak yang bersalah karena mereka tidak punya sertifikat.

Anggapan-anggapan yang dikembangkan ini harus diakui merupakan bentuk dari hilangnya empati dan kebijaksanaan,” kata Eras

Negara Gagal Melaksanakan Konstitusi

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus menyatakan peristiwa perampasan Wilayah Adat dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat di Pulau Rempang, sebagaimana umumnya juga terjadi di berbagai tempat di Indonesia akhir-akhir ini, merepresentasikan kegagalan negara untuk melaksanakan konstitusi, khususnya untuk menghormati dan melindungi Masyarakat Adat dan hak-hak tradisionalnya, terutama hak atas wilayah adat sebagai ruang hidup.

Tidak hanya itu, kata Syamsul, peristiwa ini juga menggambarkan kegagalan negara untuk mengimplementasikan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, sebagaimana pemerintah Indonesia telah setujui, serta sejumlah perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, antara lain: Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi ILO 111, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

Merujuk dari semua ini, Syamsul berpandangan bahwa peristiwa kekerasan yang terjadi di Pulau Rempang adalah akibat dari adanya upaya sistematis pemerintah untuk mengakomodasi kepentingan korporasi tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, serta memberangus peradaban yang turut berkontribusi membentuk karakter bangsa Indonesia.

Masyarakat Adat Melayu di pulau Rempang, seperti Masyarakat Adat lainnya di seluruh Nusantara, merupakan komponen penting dalam menjaga identitas Indonesia sebagai bangsa yang besar dan beragam. Karena itu, sangat tidak manusiawi dirampas Wilayah Adatnya,” tandasnya.

Syamsul mendesak kepolisian untuk segera melepaskan seluruh warga yang ditangkap dan menghentikan penyidikan karena warga tersebut sedang melakukan tindakan konstitusional untuk membela hak-hak mereka yang dirampas oleh penguasa. Syamsul juga mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang, agar Masyarakat Adat tidak selalu menjadi korban dari kebijakan dan pembangunan, tetapi sebaliknya dihormati dan dilindungi sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia.

“Inilah waktunya pemerintah dan DPR RI mensahkan RUU Masyarakat Adat,” katanya.

Tag : SahkanRUUMasyarakatAdat Bp Batam Rempang