Oleh Apriadi Gunawan

Tim advokasi Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) mengecam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji formil terhadap UU tersebut.

Tim advokasi menilai Putusan MK mengandung ketidakpastian hukum, apalagi disebutkan bahwa permohonan uji formil yang diajukan itu telah lewat batas waktu 45 hari sejak UU IKN disahkan.

Muhammad Arman, perwakilan tim advokasi dari AMAN, menyatakan kalau putusan MK tersebut didasarkan pada Putusan No. 14/PUU-XX/2022 tanggal 20 April 2022. Ia mengatakan, mengacu pada putusan itu, seharusnya Putusan MK berlaku ke depan setelah tanggal tersebut.

“Di sini letak masalahnya Putusan MK tersebut. Pemohon merasa dirugikan akibat dari norma-norma Putusan MK yang mengandung ketidakpastian hukum ini,” kata Arman usai pembacaan Putusan MK pada Selasa (31/5/2022).

Menurutnya, dalam prinsip hukum, jika terdapat ketentuan hukum yang saling bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum yang menguntungkan pemohon. Arman menyatakan bahwa MK - dalam melakukan penafsiran - seharusnya lebih mengedepankan kepentingan hak konstitusional para pemohon secara substansial, di mana pembentukan UU IKN dilakukan dengan cara mengangkangi konstitusi dan mengabaikan partisipasi publik.

“Poin-poin substansi ini yang seharusnya dijadikan pertimbangan oleh MK saat mengambil keputusan,” tandas Arman.

Arman menuturkan bahwa Putusan MK - dalam pengujian formil UU IKN - tidak lagi memposisikan dirinya sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi dan demokrasi, tetapi justru sebaliknya.

“Ini memprihatinkan,” ujarnya. “MK telah memposisikan kedudukannya sebagai ‘mahkamah administrasi’ (yang seolah menjadi) penjagal hak konstitusional warga negara,” ujarnya.

MK menolak enam perkara pengujian UU IKN pada sidang yang berlangsung pada Selasa lalu (31/5/2022). Salah satu perkara yang tidak diterima, adalah permohonan Busyro Muqoddas, Trisno Raharjo, Yati Dahlia, Dwi Putri Cahyawati, AMAN, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Hakim Konstitusi Aswanto yang bertindak sebagai ketua dalam putusan itu, menyatakan bahwa permohonan uji formil yang diajukan tidak memenuhi syarat pengajuan permohonan. MK memandang bahwa tenggat 45 hari setelah UU dimuat dalam Lembaran Negara, sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap UU.

Aswanto menyebut bahwa pengajuan uji formil Busyro dan kawan-kawan sudah melewati tenggang waktu 45 hari, di mana pemohon mengajukan permohonan pada hari ke-46.

Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan, 46 hari itu dihitung sejak UU IKN diundangkan pada 15 Februari 2022 sampai para pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU IKN ke MK pada 1 April 2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 7 April 2022.

"Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil para pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan, maka kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil para pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut," kata Manahan.

Menanggapi hal itu, Arman menyatakan kalau frase “setelah” dalam putusan itu, bisa dimaknai satu hari setelah dibacakannya suatu putusan. Dengan demikian, frase “setelah diundangkan” dapat dimaknai satu hari setelah diundangkan.

“Itu artinya tidak ada yang salah dengan tenggang waktu permohonan uji formil yang kami ajukan ke MK,” tandas Arman sembari menambahkan pihaknya sedang mempersiapkan langkah hukum atas penolakan MK tersebut.

***

Tag : UU IKN Mahkamah Konstitusi ARGUMEN