Oleh: Della Azzahra

Posisi Masyarakat Sipil dalam Isu Perubahan Iklim, Transisi Energi, dan Perdagangan Karbon menjadi pokok bahasan hangat dalam diskusi panel di hari kedua pelaksanaan Konferensi Tenurial Nasional 2023 di kawasan Gedung Serbaguna Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (17/10/23).

Diskusi melibatkan sejumlah narasumber: Eustobio Rero Renggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Anggalia Putri Permatasari dari Madani Berkelanjutan, Uli Arta Siagian dari  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),  Amalia Reza Oktabiani dari Trend Asia, Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia, Slamet Daroini dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).

Deputi I Sekjen AMAN Urusan Organisasi, Eustobio Rero Renggi mengatakan bahwa perubahan iklim yang disebabkan pemanasan global memiliki dampak langsung bagi Masyarakat Adat. Dampak tersebut banyak dirasakan oleh Masyarakat Adat di kampung-kampung seperti terjadi kekeringan masal, banjir, tanah longsor.

“Situasi ini yang dirasakan oleh Masyarakat Adat di kampung, bahkan dalam beberapa bulan terakhir ini situasinya cukup mencekam oleh krisis iklim yang begitu panjang,” tutur pria yang akrab disapa Eus tersebut.

Menurutnya, situasi yang disebabkan oleh perubahan iklim ini seringkali berdampak pada turunnya produktivitas lahan-lahan pertanian yang ada di wilayah adat seperti gagal panen. Akibatnya, Masyarakat Adat terpaksa meninggalkan wilayah adatnya untuk bermigrasi ke kota mencari sumber penghidupan baru.

“Ketika mereka bermigrasi ke kota, konsekuensinya mereka menjadi pekerja kasar, buruh kuli bangunan, dan kemudian ketika mereka menjadi buruh, mereka mendapatkan upah yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ini sangat ironi,” kata Eustobio.

Ia menyatakan persoalan mendasar Masyarakat Adat dalam perubahan iklim, transisi energi, dan perdagangan karbon adalah pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat. Karenanya, Eustobio berharap Hak-Hak Masyarakat adat yang didasarkan pada pemenuhan Hak Asasi Manusia dan hak-hak khusus Masyarakat Adat harus dipenuhi.

Persoalan mendasarnya, kata Eustobio, sampai saat ini negara belum mengakui Hak-Hak Masyarakat Adat.

“Ini masalah yang paling mendasar dan paling fundamental,” ujarnya.

Perdagangan karbon

Eustobio menerangkan selain perubahan iklim, perdagangan karbon juga memberikan dampak yang sangat serius bagi Masyarakat Adat. Ia melihat perdagangan karbon ini sebagai karpet merah bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk terus melepaskan emisi seraya melakukan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia Masyarakat Adat maupun Hak-Hak Masyarakat Adat secara khusus.

Dengan demikian, menurutnya, langkah pertama yang mesti dilakukan dalam persoalan ini bagi Masyarakat Adat adalah memastikan bagaimana pengakuan terhadap wilayah adat dan wilayah kelola Masyarakat Adat dapat dipercepat, termasuk didalamnya mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat.

“Kita tahu sampai saat ini sudah lebih dari 26 juta hektar wilayah adat itu sudah dipetakan dan sudah diserahkan kepada pemerintah. Tapi pengembalian, seperti hutan adat itu baru sekitar 0,5 %, sangat kecil sekali. Jadi sangat terjadi ketimpangan,” terangnya.

Dalam kesempatan ini, Eustobio  juga menyampaikan bahwa Masyarakat Adat sedang mendorong untuk mendesak pelaksanaan moratorium perdagangan karbon, termasuk juga melihat bagaimana Hak-Hak Masyarakat Adat terhadap karbon itu sendiri.

“Kita mendorong untuk ada representasi Masyarakat Adat dalam mengawal bagaimana mekanisme karbon. Namun di sisi lain, kita juga mendorong bagaimana pengakuan itu harus komprehensif secara menyeluruh,” tuturnya. 

Dampak bagi Masyarakat Adat

Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang akan diimplementasikan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim. Di dalamnya terdapat mekanisme penurunan emisi menggunakan skema perdagangan karbon. Adapun, perdagangan karbon ini dilakukan dengan dua mekanisme utama, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian mengatakan perdagangan karbon ini digadang-gadang oleh pemerintah sebagai solusi dalam mengatasi krisis perubahan iklim yang kian memburuk. Namun di sisi lain, banyak pihak menilai bahwa perdagangan karbon hanya merupakan solusi palsu pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut. Bahkan, disinyalir menjadi “modus” pemerintah yang berpihak pada kepentingan oligarki yang justru mengorbankan masyarakat.

Menurut Uli, kebijakan perdagangan karbon yang ada saat ini tidak berpihak pada masyarakat, khususnya Masyarakat Adat dan masyarakat lokal. Padahal, Masyarakat Adat dan masyarakat lokal merupakan yang paling terdampak dari kebijakan ini.

“Ketika Masyarakat Adat dan komunitas lingkungan, bicara soal ekologi, bicara soal hutan, mereka membicarakan soal banyak relasi yang mendasar, seperti relasi spiritualitas, relasi sosial-ekologis,” terang Uli.

Knowledge Manager Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri Permatasari menegaskan bahwa kebijakan perdagangan karbon perlu dikaji kembali. Perempuan yang akrab disapa Anggi ini menyebut keuntungan yang didapatkan dari penjualan karbon tidak sebanding dengan dampak yang dihasilkan bagi masyarakat.

“Harga karbon geothermal itu Rp 69.000 per ton, itu cuma 5 dollar kurang sedikit. Sementara, kerusakannya itu lebih besar, bisa sampai 200 dollar per ton.  Jadi terlalu murah,” ungkap  Anggi.

Menurut Anggi, kebijakan yang salah satu peruntukannya adalah untuk membatasi emisi agar pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat celcius ini tidak adil bagi Masyarakat Adat. Dalam diskusi ini, Anggi mempertanyakan kembali seraya mempertegas ironi tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas penurunan emisi ini.

“Kita tanya, beban buat menurunkan emisi ada di siapa ? Di Masyarakat Adat,  tidak adil dong,” tutupnya.

***

Penulis adalah volunteer di Infokom PB AMAN

Tag : Dampak Perubahan Iklim Perdagangan Karbon bagi Masyarakat Adat