Oleh Apriadi Gunawan

Pada suatu sore di bulan Ramadan, sanak kerabat dari Parenge Madandan yang mayoritas beragama Kristen, datang ke masjid tertua di Toraja. Mereka membawa beragam makanan untuk disiapkan sebagai menu buka puasa di tempat ibadah umat Islam yang berlokasi di Kecamatan Rantetayo, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Sambil membawa makanan, mereka ikut membaur bersama warga muslim yang saat itu hendak berbuka puasa di Masjid Jami’ pada 16 April 2022.

Romba’ Marannu Sombolinggi menyatakan kalau tradisi buka puasa bersama umat Nasrani di masjid tertua itu, sudah berlangsung lama. Ia menuturkan, tradisi tersebut tidak terlepas dari sejarah berdirinya masjid yang dibangun atas kerja sama para penganut agama-agama di Toraja.

Ketua AMAN Toraya itu juga menceritakan kisah berdirinya masjid yang berawal dari kedatangan buyutnya yang bernama Nek Uttu’ Andi  ke Madandan. Uttu’ Andi sendiri datang dari Sidenreng yang saat ini adalah Kabupaten Sidrap.

Romba’ menyebut bahwa Uttu’ Andi-lah yang membawa Islam dan mendirikan masjid pertama di sana. Ia menikah dengan perempuan Madandan bernama Rangga pada akhir 1890-an. Setelah menikah, keduanya menjalani hidup di Madandan. Rumah mereka beberapa kali dipindahkan, termasuk masjid yang didirikan Uttu’ Andi.

Namun, setelah beberapa kali dipindah, Uttu’ Andi membangun Masjid Jami’ di Madandan, Kecamatan Rantetayo secara permanen bersama masyarakat pemeluk agama lain pada akhir 1800-an.

“Di masjid tertua ini, umat Nasrani sering menyiapkan menu makanan untuk berbuka bagi umat muslim yang berpuasa di bulan Ramadan,” kata Romba’ pada Selasa (19/4/2022).

Ia mengatakan bahwa toleransi antar-umat beragama di Toraja, sudah terjalin sejak dulu hingga sekarang. Menurutnya, jauh sebelum semangat toleransi dan moderasi beragama digaungkan di negeri ini, Masyarakat Adat sudah lebih dulu membumikan itu.

“Inilah masyarakat Madandan. Sejak dulu, kami hidup berdampingan. Kami tetap rukun, saling membantu, dan mengasihi,” katanya.

Romba’ menyebut bahwa potret kehidupan Masyarakat Adat itu setidaknya tergambar dari keluarga Rangga. Anak Rangga yang bernama Rukka menikah dengan sepupunya, yaitu Herman Saba’ yang merupakan penerima baptisan pertama di Madandan. Herman pernah menjabat sebagai Kepala Distrik Madandan saat itu. Pasangan beda agama itu pun hidup rukun dan bahagia. Keduanya melahirkan anak bernama Sampeasang.

Sampeasang kemudian menikah dengan Welem Popang yang merupakan anak dari Raja Sangala. Dari pernikahan tersebut, lahir Laso’ Sombolinggi dan Batara Sombolinggi.

“Laso’ Sombolinggi merupakan orangtua saya,” kata Romba’ sembari mengaku dirinya anak kedua dari pasangan Laso’ Sombolinggi dan Den Upa’ Rombelayuk yang merupakan pula tokoh penting dari berdirinya AMAN. Romba’ menyebut bahwa orangtua mereka memiliki delapan anak, termasuk Rukka Sombolinggi yang kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN. “Rukka Sombolinggi itu adik saya. Dia anak kelima, sedangkan saya anak kedua.”

Romba’ menjelaskan bahwa saat ini mereka telah menjadi yatim piatu karena kedua orangtua telah meninggal. Laso’ Sombolinggi meninggal lebih dulu pada 2012, lalu tujuh tahun kemudian, menyusul Den Upa’ Rombelayuk pada 2019 lalu.   

Meski kedua orangtua Romba’ dan Rukka Sombolinggi telah berpulang, namun Masyarakat Adat di Madandan, khususnya umat Islam, menaruh hormat yang besar kepada keluarga Sombolinggi. Setiap ada kegiatan keagamaan, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, mereka datang ke rumah.

“Kami sudah seperti saudara, saling mengunjungi di saat senang maupun susah,” ujarnya.

Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Rantetayo Buhari Pamilangan mengapresiasi harmonisasi kehidupan umat beragama di Madandan, khususnya pada keturunan keluarga besar Uttu’ Andi dan Rangga yang dinilai memiliki semangat toleransi beragama yang tinggi. Bahkan, dalam hubungan sosial, keluarga besar itu telah jadi panutan.

“Saya berharap semangat hidup berdampingan antar-sesama yang dirintis oleh keturunan keluarga besar Uttu’ Andi dan Rangga ini, bisa jadi role model kerukunan umat beragama di Indonesia, bahkan dunia,” ujarnya.

Sementara itu, Saba’ Sombolinggi yang merupakan cicit dari Herman Saba’, menyatakan kekaguman dan rasa harunya atas persaudaraan yang hingga kini tetap terpelihara dengan baik di tanah kelahirannya di Madandan.

Sikamali’, siangga’ na siangkaran (saling merindukan, saling menghargai, dan saling menolong) adalah budaya kita orang Toraja,” katanya.

Sebagai keturunan nenek Rukka, ia benar-benar merasa telah menjadi keluarga dan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat muslim di Madandan. Karena itu, setiap bulan puasa, mereka selalu menyiapkan santapan berbuka untuk masyarakat muslim di sana.  

“Tradisi ini terus kami pertahankan karena itu adalah amanah dan wasiat dari leluhur kami,” ungkap Saba’ yang turut menghadiri acara buka puasa bersama di Masjid Jami’.

***

Tag : Masyarakat Adat Toraja Ramadhan