Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Perjuangan gerakan Masyarakat Adat di Indonesia punya sejarahnya sendiri. Proses itu telah dilalui oleh Masyarakat Adat melalui jalan yang panjang dan berliku. Kehadiran AMAN sebagai wadah perjuangan, tentu tidak dapat dipisahkan dari hal tersebut.

Bangkitnya Gerakan Masyarakat Adat

Tana Toraja memiliki arti yang spesial untuk disebut ketika kita hendak menghubungkannya dengan kilas balik kebangkitan gerakan Masyarakat Adat. Tahun 1993 menjadi penanda waktu atas terjadinya konsolidasi sejumlah pemimpin Masyarakat Adat yang saat itu dilakukan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan bersama dengan berbagai organisasi masyarakat sipil, antara lain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Wahana Lestari Persada (WALDA), dan lainnya. Di sanalah lahir organisasi pendukung hak-hak Masyarakat Adat bernama Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari para aktivis lingkungan dan warga Masyarakat Adat sendiri.

Bergabungnya para aktivis lingkungan ke dalam gerakan Masyarakat Adat bukanlah tanpa alasan. Untuk menarik trajektori atas perjuangan gerakan ini lebih dalam ke belakang, sesungguhnya nyala api dari perjuangan-perjuangan Masyarakat Adat telah muncul terlebih dulu dalam sekup yang terbatas dan belum terkonsolidasi secara nasional. Masyarakat Adat sebelumnya sudah memulai perjuangan di kampung maupun wilayah adatnya masing-masing di berbagai penjuru Indonesia. Itu terjadi bersamaan dengan adanya agresi “pembangunan” yang dilakukan oleh rezim otoriter Orde Baru terkait dengan perampasan wilayah adat dan pengerahan militer. Untuk mengenang perjuangan tersebut dan tidak melupakan peran penting perempuan adat sebagai - apa yang diutarakan Abdon Nababan - “motor” dimulainya gerakan di komunitas Masyarakat Adat dalam narasi perjuangan Masyarakat Adat, kita dapat menyebutkan sejumlah tokoh pejuang perempuan adat yang berdiri di garis depan perjuangan.

Mereka termasuk Den Upa Rombelayuk dari Masyarakat Adat Toraja di Sulawesi Selatan yang bergerak membangkitkan kembali pengetahuan dan tatanan adat terkait dengan pengelolaan wilayah adat dan sumber daya di dalamnya yang terancam oleh hutan negara, perkebunan kopi, dan industri pariwisata; Nai Sinta boru Sibarani dan sembilan inang (ibu) lain dari Masyarakat Adat di Tano Batak, tepatnya Sugapa, Sumatera Utara yang berjuang menyelamatkan wilayah adat dari ancaman perampasan oleh PT Inti Indorayon Utama (kini menjadi PT Toba Pulp Lestari); Yosepha Alomang dari Masyarakat Adat Suku Amungme, Papua yang melawan perusahaan tambang raksasa PT Freeport McMoran Copper & Gold atas perampasan wilayah adat; Rukmini Toheke dari Masyarakat Adat Ngata Toro di Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah yang menggali peran perempuan kelembagaan adat sebagai upaya dalam keterlibatan proses pengakuan wilayah adat yang diklaim Taman Nasional Lore Rindu; dan Aleta Kornelia Ba’un dari Masyarakat Adat di Mollo, Nusa Tenggara Timur yang melakukan aksi protes mempertahankan wilayah adat dari perusahaan tambang.

Istilah “Masyarakat Adat” pertama kalinya dicetuskan, dibahas, dan disepakati pada pertemuan JAPHAMA dan dimaknai sebagai padanan dari terjemahan “Indigenous Peoples” yang menggantikan beragam label yang dilekatkan pada diskriminasi dan stigma Masyarakat Adat, seperti masyarakat terpencil, suku terasing, masyarakat terbelakang, masyarakat tradisional, perambah hutan, dan lain-lain.

Adalah JAPHAMA yang lantas mendorong dan mengorganisir terjadinya Kongres I Masyarakat Adat pada 17-22 Maret 1999 di Hotel Indonesia, Jakarta. Kini, Kongres Masyarakat Adat masih terus dilangsungkan dan dikenal dengan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN). Perhelatan tahun 1999 tersebut menjadi momentum pertama bagi kehadiran ratusan pemimpin Masyarakat Adat dari berbagai perwakilan komunitas Masyarakat Adat di seluruh Nusantara. Ada pula 20 perwakilan perempuan adat yang berhasil hadir dalam KMAN I dari total 208 peserta. Selama sepekan, KMAN I dilangsungkan untuk membahas dan mencari solusi atas banyak persoalan seputar Masyarakat Adat, termasuk pelanggaran hak asasi, perampasan wilayah adat, pelecehan budaya, dan berbagai kebijakan yang mendiskriminasi Masyarakat Adat. Berbagai rangkaian workshop yang dihadiri dan dipimpin langsung oleh Masyarakat Adat, dikelola dengan kemitraan bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil. Pertemuan tersebut juga diwarnai dengan aksi protes, di mana Masyarakat Adat turun ke jalan. Sejak itulah, visibilitas atas wajah yang sebenarnya dari Masyarakat Adat, semakin tampak di permukaan melalui berbagai publikasi dan media. Suara-suara Masyarakat Adat pun mulai bergaung.

KMAN I pada 17 Maret 1999 di Jakarta. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Kelahiran AMAN dan Penetapan HKMAN

Hari pertama penyelenggaraan KMAN I pada 17 Maret 1999 itu sekaligus menjadi hari yang bersejarah. Selain mendeklarasikan penetapan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN), AMAN juga dilahirkan pada saat yang bersamaan. Sebuah obor perjuangan gerakan Masyarakat Adat di Indonesia telah dinyalakan dan api itu masih terus terjaga hingga kini dan nanti.

Sebagai gerbong atas perjuangan gerakan Masyarakat Adat Nusantara, AMAN didirikan dengan tujuan terwujudnya Masyarakat Adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

Setelah penyelenggaraan KMAN I, sejauh ini KMAN berikutnya telah dilangsungkan sebanyak lima kali, yaitu KMAN II di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada September 2003; KMAN III di Pontianak, Kalimantan Barat pada Maret 2007; KMAN IV di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara pada April 2012; dan KMAN V di Deli Serdang, Sumatera Utara pada Maret 2017.

Saat ini, AMAN tengah melakukan persiapan menuju KMAN VI yang akan diselenggarakan di Wilayah Adat Tabi, Papua pada 23-28 Oktober 2022 dengan tema “Bersatu Pulihkan Kedaulatan Masyarakat Adat untuk Menjaga Identitas Kebangsaan Indonesia yang Beragam dan Tangguh Menghadapi Krisis.”

Menginjak usia yang ke-23 tahun pada 2022 ini, AMAN terus memperkuat kerja-kerja di tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk mewakili dan melakukan advokasi isu-isu Masyarakat Adat. AMAN memiliki anggota sebanyak 2.423 komunitas Masyarakat Adat dengan perkiraan jumlah populasi mencapai sekitar 20 juta jiwa dari total warga Masyarakat Adat di seluruh Indonesia yang diprediksi mencapai 40-70 juta orang. AMAN juga memiliki tiga organisasi sayap, yaitu Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN) AMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN); dua badan otonom, yaitu Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Yayasan Pendidikan Masyarakat Adat Nusantara (YPMAN); serta dua lembaga ekonomi, yaitu Credit Union Pancoran Kehidupan (CU Randu) dan Koperasi Produsen AMAN Mandiri (KPAM).

“Sebagaimana Perayaan HKMAN dan Hari Ulang Tahun (HUT) AMAN pada 2021 lalu, kita mengangkat tema ‘Tangguh di Tengah Krisis,’ maka tahun ini kita ingin menegaskan kembali semangat ketangguhan dan menambahkan dua aspek yang amat penting dan kontekstual di tengah krisis ini, yaitu memperkuat solidaritas dan memulihkan kedaulatan Masyarakat Adat,” ungkap Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi terkait tema yang diusung AMAN pada HKMAN 2022, yaitu “Tangguh di Tengah Krisis, Perkuat Solidaritas, Pulihkan Kedaulatan.”

Menurutnya, Perayaan HKMAN dan HUT AMAN tahun ini menjadi momentum bagi Masyarakat Adat untuk merangkai simpul dalam menegaskan ketangguhan, memperkuat solidaritas, dan memulihkan kedaulatan untuk seluruh umat manusia.

 

***

Tag : KMAN VI JAPHAMA KMAN I HKMAN