Oleh Apriadi Gunawan

Sembilan tahun pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Kehutanan (MK 35), Masyarakat Adat mengaku belum merasakan perubahan hak atas hutan adat yang dijamin aturan tersebut. Sejumlah tokoh adat di pelosok Nusantara justru mengeluh karena sampai saat ini tidak ada dampak pasti yang dirasakan dari putusan tersebut.

Pinan, tokoh dari Komunitas Masyarakat Adat Kampung Juhu di Kecamatan Batang Alai Timur, Kalimantan Selatan, mengatakan bahwa Putusan MK 35 masih menyisakan keprihatinan karena belum dirasakan implementasinya oleh Masyarakat Adat. Pria berusia 60 tahun itu hanya mengelus dada saat mengetahui umur Putusan MK 35 sudah berjalan sembilan tahun.

“Sembilan tahun waktu yang panjang. Mestinya banyak hal yang bisa diimplementasikan dari Putusan MK 35. Tapi, sayang, itu belum dirasakaan oleh Masyarakat Adat,” katanya pada Senin lalu (16/5/2022).

Pinan mencontohkan kalau Peraturan Daerah (Perda) Masyarakat Adat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) hingga kini belum ada. Padahal, hal tersebut sudah diperjuangkan oleh AMAN dan Masyarakat Adat sejak dikeluarkannya Putusan MK 35. Ia mengaku kerap bersuara keras terkait pembentukan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di HST. Menurutnya, Perda tersebut sangat penting agar wilayah adat tidak dirusak dan kebijakan pemerintah tidak berdampak buruk bagi Masyarakat Adat.

Pinan yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa Juhu, mengaku ada banyak perusahaan yang pernah ia tolak selama menjabat, termasuk PT Sigaling dan PT Dayasakti yang ingin memasuki Wilayah Adat Meratus.

Ia mengakhiri masa jabatannya bertepatan dengan dibacakannya Putusan MK 35 pada 2013. Ia telah mengabdikan diri untuk Desa Juhu selama 30 tahun, mulai dari menjadi pengurus di tingkat RT, sekretaris desa, hingga kepala desa.

Sebelum Putusan MK 35, Pinan sangat gigih mempertahankan desanya dari masuknya perusahaan kayu, tambang, dan perkebunan sawit. Ia bersama kawan-kawan di AMAN dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) terus mempertahankan dan menjaga hutan serta wilayah adat milik Komunitas Masyarakat Adat Balai Juhu. Salah satu komitmennya adalah tidak membuka akses jalan menuju Desa Juhu karena khawatir perusak hutan akan masuk, sementara masyarakat belum siap. Hingga saat ini, jalan menuju Desa Juhu hanya berupa jalan setapak dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 14-18 jam.

“Prinsipnya, merusak alam dan hutan sama saja dengan melakukan kerusakan pada diri Masyarakat Adat Dayak Meratus dan mencederai warisan leluhur. Menjaga alam merupakan hal yang wajib dilaksanakan secara turun-temurun," ungkapnya.

Pinan berharap bahwa Putusan MK 35 dapat memberikan dampak positif bagi Masyarakat Adat, khususnya dalam pengelolaan wilayah adat, sehingga Masyarakat Adat tidak lagi dihantui rasa takut akan kehilangan wilayah adatnya sewaktu-waktu akibat perampasan yang dilakukan oleh pihak perusahaan maupun negara atas nama pembangunan ekonomi dan kesejahteraan.

Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN HST Syahliwan mengatakan, sembilan tahun pasca-Putusan MK 35 di Kalimantan Selatan sampai saat ini, belum ada Surat Keputusan (SK) Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).  Kemudian, Perda Masyarakat Adat juga masih nihil. Padahal, AMAN sudah hampir sembilan tahun mendorong Perda yang hingga kini pun belum memperlihatkan titik terang.

“Kita prihatin,” ungkapnya. “Sejauh ini, Perda Masyarakat Adat tidak diterbitkan, tapi justru yang muncul (adalah) Program Perhutanan Sosial di wilayah adat yang merupakan ancaman bagi Masyarakat Adat dalam hal pengelolaan hak atas hutan. Ironisnya, izin pertambangan leluasa masuk di wilayah adat yang diklaim oleh pemerintah itu sebagai kawasan hutan lindung, padahal itu hutan adat.”

Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per 17 Maret 2022, disebutkan bahwa terdapat 13.757.752 hektar yang merupakan potensi hutan adat di Indonesia. Namun, baru 75.783 hektar yang telah ditetapkan oleh KLHK sebagai hutan adat.

Secara tegas, Putusan MK 35 menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Putusan yang dibacakan pada 16 Mei 2013 itu meluruskan konsep penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Selama ini, pemerintah menyakini bahwa kawasan hutan adalah kawasan yang bebas dari penguasaan tanah oleh warga negara.

Bustamir dari Masyarakat Adat Kuntu, Kabupaten Kampar, Riau, menyatakan dirinya bersama Masyarakat Adat Kuntu hingga kini belum merasakan efek positif dari Putusan MK 35. Ia mengeluhkan sikap pemerintah yang sejauh ini tidak tegas terhadap batas antara hutan negara dan hutan adat. Ia mengaku bahwa wilayah adat yang menjadi tempat tinggalnya, kerap digusur tanpa solusi.

“Masyarakat Adat selalu jadi korban,” tandasnya. “Banyak peraturan yang hanya slogan dan tidak berpihak ke kami.”

***

Tag : MK 35 Hutan Adat Bukan Hutan Negara Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012