Oleh Apriadi Gunawan

Jusman Simanjuntak masih trauma atas tragedi kekerasan yang dilakukan oleh petugas PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap dirinya setahun lalu. Lelaki berusia 76 tahun itu menjadi salah satu korban kekerasan TPL. Ia bersama 11 warga Masyarakat Adat Natumingka lainnya pernah dianiaya saat memperjuangkan wilayah adat dari perampasan.

Kasus penganiayaan itu dikenal dengan Tragedi Natumingka. Untuk mengenangnya, Masyarakat Adat Natumingka menggelar doa bersama pada 18 Mei 2022 di lokasi terjadinya peristiwa berdarah tersebut. Masyarakat Adat berdoa sembari menuntut Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) segera menindaklanjuti proses hukum atas tindak kekerasan yang dilakukan karyawan maupun petugas TPL terhadap sejumlah Masyarakat Adat Natumingka.

“Kami minta kasus penganiayaan ini dituntaskan,” kata Jusman Simanjuntak di sela-sela peringatan satu tahun kekerasan TPL di Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara pada 18 Mei 2022. “Sudah setahun peristiwa berdarah ini terjadi, tapi tidak ada kejelasan sampai detik ini. Kepolisiaan bungkam. Ada apa dengan polisi kita? Mengapa mereka tidak berani mengusut tindak kekerasan yang dilakukan petugas TPL?”

Jusman menyatakan bahwa Masyarakat Adat Natumingka akan terus mendesak kepolisian agar menindaklanjuti proses hukum karyawan dan petugas keamanan TPL yang telah melakukan tindak kekerasan. Ia menyayangkan lambannya penanganan kasus yang dilaporkan oleh Masyarakat Adat setahun lalu. Jusman membandingkan ketika pihak TPL yang melaporkan warga, maka pihak kepolisian bisa langsung cepat menindaklanjuti, bahkan sampai menahan warga.

“Ini tidak adil, polisi harus mengayomi semua warga negara. Tidak boleh berpihak hanya kepada laporan perusahaan, sementara disisi lain mengesampingkan laporan warga,” ujarnya.

Pada 18 Mei 2021, belasan Masyarakat Adat Natumingka mengalami luka-luka karena tindak kekerasan yang dilakukan karyawan TPL. Peristiwa itu bermula saat ratusan Masyarakat Adat berusaha mempertahankan wilayah adat dari pihak TPL yang memaksa masuk ke hutan adat untuk menanam eukaliptus. TPL mengklaim secara sepihak bahwa lahan itu merupakan bagian dari wilayah konsesi perusahaan. Bentrokan pun tak dapat dihindari.

Masyarakat Adat telah melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak TPL itu, namun hingga kini belum ada tindak lanjut dari kasus tersebut.

Roy Marsen Simarmata, pengacara Masyarakat Adat Natumingka, mengatakan bahwa kasus sudah masuk ke dalam tahap penyidikan. Menurutnya, itu berarti pihak kepolisian telah membenarkan adanya peristiwa pidana, bahkan ada video yang menunjukkan salah satu staf keamanan TPL yang memberi komando kepada rekan-rekannya untuk melakukan kekerasan.  

“Sayangnya, sampai saat ini Polda Sumut maupun Polres Toba belum juga menetapkan tersangka. Politik kekuasaan dan ekonomi bisa saja menjadi faktor yang menyebabkan korporasi sebesar TPL tidak tersentuh oleh hukum,” ujar advokat dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU).

Natal Simanjuntak selaku Ketua Komunitas Masyarakat Adat Huta Natumingka, menyatakan bahwa mereka akan terus mendesak kepolisian untuk serius menindaklanjuti laporan yang disampaikan tahun lalu itu. Bagi Masyarakat Adat, peristiwa berdarah 18 Mei 2021 sangat menyayat hati.

“Wilayah adat kami dirampas, makam leluhur kami dan tanaman pertanian kami dirusak TPL, bahkan kami mendapat tindak kekerasan dari mereka. Kami tidak tahu mau mengadu kepada siapa lagi, tetapi kami akan terus berjuang agar keadilan berpihak kepada kami. Sampai titik darah penghabisan, kami akan terus berjuang untuk mengembalikan wilayah adat kami,” tandasnya.

Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Tano Batak Roganda Simanjuntak menyayangkan sikap kepolisian yang terkesan berpihak kepada TPL dalam menangani kasus di Natumingka, padahal peristiwa itu telah berlangsung selama setahun.  

Menurutnya, proses pengakuan dan perlindungan kepada Masyarakat Adat Natumingka sampai saat ini belum juga mendapat respons yang serius dari pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hal itu terbukti bahwa pemerintah masih menginginkan kekerasan terjadi lagi kepada Masyarakat Adat yang lain.

Roganda menjelaskan kalau mekanisme kebijakan yang telah tersedia, sebenarnya bukan alasan untuk menunda proses pengakuan Masyarakat Adat. Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2020 Kabupaten Toba Samosir telah memerintahkan adanya pengakuan dan perlindungan atas hak ulayat Masyarakat Adat Batak Toba Samosir yang mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52. Tahun 2014.

“Secara kebijakan, pemerintah sudah memberi jalan, namun rasa keberpihakan kepada Masyarakat Adat, sama sekali belum ada. Inilah yang akan membuat konflik antara Masyarakat Adat dan TPL menjadi bara yang sewaktu-waktu akan dapat terjadi lagi,” ungkap Roganda.

Ia mengatakan bahwa selama ini perusahaan TPL telah merusak lingkungan dengan membabat hutan adat di Natumingka dan juga melakukan kekerasan kepada Masyarakat Adat di sana. Persoalan itu pun telah mengakibatkan kerugian yang besar.

“Masyarakat Adat selalu diposisikan menjadi korban dan terbentur oleh dinding prosedural kebijakan pemerintah yang tidak berpihak. Padahal, kehadiran dari Masyarakat Adat di tanah leluhur telah lama, sementara negara baru saja ada. Bentuk diskriminasi ini sudah seharusnya diperbaiki oleh pemerintah agar Masyarakat Adat dapat menjaga tanah leluhurnya,” tuturnya.

***