Oleh Muhammad Hajazi

Tantowi Serahman tak bergeming saat gempa bumi melanda Lombok pada 2018 lalu. Pemuda asal Dusun Ende, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu tidak panik. Ia dan 30 kepala keluarga lainnya yang tinggal di dusun tersebut, tetap tenang berada di dalam rumah.

“Kami duduk santai sambil mengobrol di dalam rumah saat terjadi gempa tahun 2018,” kata Tantowi saat menceritakan pengalaman pribadinya ketika bencana gempa terjadi. 

Ia menyatakan bahwa tidak ada satu pun warga yang panik kala itu. Bahkan, aktivitas warga berjalan seperti biasa. Menurutnya, semua berjalan normal.

“Kami rasakan guncangan gempa cukup kuat, tapi tak satu pun ada rumah warga yang rusak,” katanya.

Pengakuan yang sama juga diceritakan oleh Inaq Buncis, seorang tetua adat di Dusun Ende. Ia mengisahkan pengalamannya dengan bahasa setempat. Ia bilang, “Isiq naon tan araq lendur, sin dengan bekuih kene bojot baingkh, kadi jek ndek naon ape-ape.” (Saya mengetahui adanya gempa karena orang-orang berteriak bojot. Kalau tidak teriak, saya tidak merasakan dan tidak mengetahui jika ada gempa.)

Bojot” biasanya diteriakkan oleh Masyarakat Pujut bersamaan dengan bunyi kentungan untuk memberitahu warga bahwa ada gempa bumi.

Inaq Buncis menerangkan, sebelum terjadi gempa di Lombok tahun 2018,  warga lebih dahulu pernah merasakan bencana yang lebih besar, yaitu gempa dan tsunami yang melanda kawasan pesisir Lombok, Sumbawa, dan Sumba pada 1977. Bencana itu  telah menimbulkan banyak korban jiwa. Namun, seiring waktu berjalan, bencana tersebut mulai dilupakan oleh masyarakat.

“Kami tidak pernah lagi memikirkan bencana yang telah banyak memakan korban jiwa itu. Kami sudah tidak takut,” katanya.

Inaq menuturkan bahwa keberanian warga dalam menghadapi bencana dikarenakan mereka sudah belajar cara menghadapi dan memitigasi diri dari ancaman bencana alam. Menurutnya, upaya mitigasi telah lama dilakukan oleh nenek moyang dari Masyarakat Adat Suku Sasak sebagai wujud kesadaran akan tingginya potensi bencana.

“Cara ini telah menjadi satu budaya yang bisa ditemukan dalam kearifan lokal Suku Sasak yang hingga saat ini masih dipelihara di beberapa wilayah yang ada di Pulau Lombok,” ungkapnya.

 

Rumah adat Masyarakat Adat Sasak di NTB. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Rumah Adat Tahan Gempa

Inaq Buncis menyatakan bahwa Masyarakat Adat Sasak punya rumah adat tahan gempa yang dalam bahasa Sasak disebut Bale Tani.

Inaq menjelaskan bahwa Bale Tani memiliki bahan dasar yang terbuat dari material yang diperoleh dari wilayah adat. Strukturnya mencakup tiang dari kayu, dinding berupa anyaman bambu, atap dari ilalang, dan lantai dari tanah liat yang dilumuri kotoran sapi sebagai perekat.

Menariknya lagi, lanjut Inaq, Bale Tani menggunakan kayu sebagai pasak yang menghubungkan antar-rangka yang satu dengan yang lain. Masyarakat Adat Sasak menyakini bila goncangan akibat gempat terhadap pasak semakin kuat, maka ikatan antar-rangka rumah pun akan semakin kokoh.

Bale Tani merupakan salah satu bangunan yang paling aman didiami saat terjadi bencana alam, terutama gempa bumi,” ujarnya.

Inaq menjelaskan bahwa untuk membangun Bale Tani, Masyarakat Adat Sasak selalu menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga. Ruangannya terbagi ke dalam ruang induk (inan bale) yang meliputi ruang untuk tidur sekaligus tempat menyimpan harta benda (dalam bale) dan ruang tamu (bale duah) untuk nemoek (menjamu tamu yang datang).

Menurut Inaq, Bale Tani masih terdapat di berbagai komunitas Masyarakat Adat yang tersebar di Pulau Lombok, mulai dari Lombok Utara, Lombok Timur, hingga Lombok Tengah.

Bale Tani masih langka di sini,” kata Inaq.

Meski begitu, ada harapan bagi Masyarakat Adat untuk bisa terus mempertahankan dan mengembangkan kearifan dalam bentuk rumah adat.

***

Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat dari NTB.

Tag : Bale Tani Sasak Ende Bojot