Oleh Apriadi Gunawan

Sejumlah organisasi non-profit di Asia membahas peran sistem tata kelola adat dan lembaga tradisional dalam proses reformasi inklusif serta pengelolaan tanah kolektif yang berkelanjutan di acara Asia Learning Exchange on Social Inclusiveness and Youth.

Peran strategis ini dibahas dalam forum diskusi yang menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai organisasi. Diskusi yang dipandu Annas Radin Syarif dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini mencoba mengeksplorasi strategi-strategi sukses untuk memberdayakan kembali lembaga-lembaga tradisioal secara inklusif, terutama perihal bagaimana memastikan inklusi sosial dalam sistem tata kelola adat, strategi dan pendekatan yang efektif dalam memperkuat inklusi sosial di lembaga adat.

Angnima Lama dari Centre for Indigenous Peoples Research and Development (CIPRED) Nepal mengatakan praktik-praktik tradisional di Nepal banyak sekali, setidaknya ada 60 kelompok adat yang ditemukan.

Berdasarkan geografis, sebut Angnima, kelompok adat di Nepal memiliki cara-cara yang berbeda secara spiritual pandangan hidup mereka seperti di seputaran gunung mempercayai dewa. Sistem pemerintahan juga tergantung kondisi geografis, hal ini menjadi tantangan utama untuk mengatur tata kelola, dimana dalam beberapa aspek mempengaruhi komunitas adat.

Angnima menyebut tantangan di kehidupan kelompok adat mereka adalah masalah sumber daya alam yang manfaatnya sering dinikmati oleh perusahaan besar.

 “Kalaupun ada manfaat ekonomi (dari sumber daya alam), yang mendapatkan untuk itu adalah perusahaan besar. Masyarakat Adat tidak dapat apa-apa,” katanya saat berbicara sebagai narasumber di acara forum diskusi Asia Learning Exchange on Social Inclusiveness and Youth pada 1 Juni 2023 di Bali.

Eustobio Rero Renggi sebagai narasumber Asia Learning Exchange on Social Inclusiveness and Youth.

Deputi Sekjen AMAN Eustobio Rero Renggi dalam paparannya menyatakan kondisi Masyarakat Adat di Indonesia, sama dengan di Nepal. Dikatakannya, ada kesamanaan mendasar proses storage, di mana kita hidup dalam kebijakan penindasan dan dieksploitasi.

Pria yang akrab dipanggil Eus ini menyebut hampir 78 tahun Indonesia merdeka, banyak konflik yang terjadi di negeri ini. Penghormatan atas identitas budaya juga menjadi ancaman, kemudian proses akulturasi budaya model kebijakan mengganggu sistem tata kelola adat. Hal ini menjadi catatan yang paling sering dibicarakan di kelompok Masyarakat Adat.

“Ini catatan buram, padahal Masyarakat Adat itu menjadi unsur utama pembentukan negara Republik Indonsesia,” kata Eus.

Eus menyebut kondisi Masyarakat Adat di Indonesia saat ini hidup dalam kebijakan penindasan dan dieksploitasi. Ini bagian dari proses perjuangan yang kita lakukan untuk mengembalikan kedaulatan Masyarakat Adat di tanah air.

“Negara harus memberikan kesempatan bagi Masyarakat Adat untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, menjalankan sistem hukumnya. Kelak, ini menjadi dasar model yang kita harapkan di masa depan,” ungkapnya.

Abdi Akbar sebagai narasumber Asia Learning Exchange on Social Inclusiveness and Youth.

Hal senada disampaikan oleh Abdi Akbar dari AMAN yang juga menjadi narasumber dalam acara ini.

Pria yang kini menjabat sebagai Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat Pengurus Besar AMAN ini mengatakan sudah banyak capaian yang dilakukan AMAN dalam membuka pemahaman pemerintah terhadap proses pembangunan partisipatif. Menurutnya, proses inklusi lebih efektif dapat membantu pemerintah mencapai tujuan pembangunan. Syaratnya, kita harus memperkuat Masyarakat Adat di tingkat lokal.

Sementara, persatuan Masyarakat Adat harus kuat, adanya pemimpin adat yang memiliki kompetensi, memiliki parlemen, ada organisasi adat yang kuat. Selanjutnya, membentuk aliansi termasuk membuat jaringan politik di nasional dan internasional.

“Itu terus bisa dikembangkan dan ditingkatkan,” kata Abdi dengan nada optimis.

Abdi menerangkan Indonesia sejak zaman kolonial dirampas haknya, mengalami kriminalisasi ketika mempertahankan haknya untuk wilayah dan kehidupan di masa depan. Situasi ini juga dialami oleh Masyarakat Adat di berbagai region.

Abdi menambahkan hal itu terjadi karena Masyarakat Adat absen. Ruang ini lantas dikuasai oleh orang-orang yang mementingkan kelompoknya.

Ia menerangkan sebelum AMAN didirikan, gerakan Masyarakat Adat sekaligus politik dan kebudayaan untuk merebut hak atas kepemilikan lahan, harus konfrontasi dengan aparat di lapangan melalui arena-arena politik, mendorong pemimpin terbaik masuk ke arena politik untuk pengambilan kebijakan. Salah satu yang kemudian menjadi peluang bagi Masyarakat Adat, sebutnya, peran pemerintah desa dalam agenda pembangunan hak atas asal-usul pasca pemerintahan reformasi bergulir di Indonesia.

Abdi menerangkan desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan paling depan, berhadapan langsung dengan Masyarakat Adat. Kondisi ini memberikan ruang bagi desa untuk menjalankan kewenangannya atas hak asal-usul.

Tahun 2019 di AMAN, komunitas Masyarakat Adat sudah banyak berada di desa. AMAN juga mendorong Masyarakat Adat untuk mengisi ruang-ruang pengambil keputusan kebijakan di tingkat desa. AMAN masuk melalui instrument perundangan ini, subjek yang ada di desa wajib dilayani, selain itu AMAN juga mendorong kerjasama yang berada dalam satu wilayah adat.

Untuk menguatkan pemerintah desa, sebut Abdi, kewenangan untuk pemerintah desa wajib mendapatkan partisipasi penuh dari kelompok perempuan dan pemuda. Menurutnya, kerja seperti ini selaras dengan kerja-kerja AMAN. Namun sayangnya, masih banyak pemerintah desa belum efektif melakukan tugasnya.

Abdi menyebut sejak 2019 sampai sekarang, AMAN sudah mengkonsolidasikan 552 desa se-Indonesia, diantaranya 222 kepala desa menjadi utusan politik. Menurutnya, sudah banyak capaian yang dilakukan AMAN, diantaranya proses membuka pemahaman pemerintah terhadap proses pembangunan partisipatif.

Tag : Asia Learning Exchange Youth Women