Oleh Alboin Samosir

Sebagaimana dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Indonesia menargetkan sejumlah capaian ambisuis, tanpa terkecuali target mengenai pembangunan berkelanjutan, pembangunan yang mengedepankan ekologi, dan peran dalam mencegah perubahan iklim.

Kritik atas Target Pembangunan

Dalam Bab VII RPJMN 2020-2024, terdapat beberapa target yang ingin dicapai, seperti dalam Penguatan Kelembagaan dan Penegakan Hukum di Bidang Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup pada 2019, hanya mencapai 30 persen, maka pada 2024 akan ditingkatkan mencapai 70 persen. Dengan jumlah luas lahan yang akan diamankan dari gangguan dan ancaman, juga akan ditingkatkan hingga 10 juta hektar pada 2024.

Dalam hal pembangunan rendah karbon, target yang ingin dicapai tahun 2024, yakni persentase penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) terhadap baseline pada sektor energi mencapai 13,2 persen; persentase penurunan emisi GRK terhadap baseline pada sektor lahan mencapai 58,3 persen; persentase penurunan emisi GRK terhadap baseline pada sektor IPPU (industri dan penggunaan produk) mencapai 2,9 persen; dan persentase penurunan emisi GRK terhadap baseline pada sektor pesisir dan kelautan mencapai 7,3 persen.

Selain itu, terdapat beberapa komitmen lain yang ingin dicapai Indonesia tahun 2024, seperti pembangunan porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional menuju 23 persen, di mana pada 2019 masih mencapai 8,55 persen. Pun dalam pemulihan lahan berkelanjutan yang mempunyai target, yakni luas lahan gambut terdegradasi yang dipulihkan dan difasilitasi restorasi gambut mencapai 330.000 hektar per tahun serta luas tutupan hutan dan lahan yang ditingkatkan secara nasional - pada 2019 masih 206.00 hektar - bisa mencapai 420.00 hektar per tahun.

Target itu berbanding terbalik dengan apa yang sudah terjadi di Indonesia saat ini. Terdapat beberapa catatan yang bisa menggambarkan betapa rendahnya komitmen Indonesia akan perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, ketimpangan materiil, dan penguasaan lahan di Indonesia.

Berdasarkan data dari Global Forest Resources Assessment, Indonesia menempati peringkat kedua dunia tertinggi untuk persoalan kehilangan hutan. Selain itu, pada 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat Kota Jakarta dan Kota Bandung yang masuk dalam 10 besar daftar kota dengan pencemaran terburuk di Asia Tenggara.

Di samping itu, data terkait dampak kerusakan lingkungan juga tidak kecil. Menurut Korlantas Mabes Polri pada 2017, terdapat lebih dari 165.000 orang yang mati akibat polusi udara. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga mencatat bahwa pada 2021, terjadi 207 letusan konflik agraria yang tersebar di 507 desa/kota, di mana korban yang terdampak mencapai 198.895 kepala keluarga (KK) dengan luas lahan yang berkonflik mencapai 500.062 hektar.

Situasi serupa terjadi pula pada perihal ketimpangan materiil dan pengelolaan SDA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Nota Sintesis tahun 2018, melaporkan adanya ketimpangan pemanfaatan SDA, di antaranya usaha kehutanan dengan perbandingan antara perusahaan besar seluas 40.463.103 hektar dan masyarakat seluas 1.748.931 hektar; usaha perkebunan sawit sebanyak 2.535.495 hektar dikuasai oleh 10 perusahaan besar, sedangkan 2,1 juta pekebun rakyat hanya menguasai 4.756.272 hektar; serta tambang minerba dengan Izin Pertambangan Rakyat yang diterbitkan sebanyak 171 dengan luas 3,2 hektar/izin dan penerbitan IUP (Izin Usaha Pertambangan) sebanyak 5.589 usaha dengan luas rata-rata 3.245 hektar/IUP, sedangkan kontrak karya yang diterbitkan sebanyak 32 usaha memiliki rata-rata 40.753 hektar/KK dan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) sebanyak 26 usaha dengan luas rata-rata 28.575 hektar/usaha. Usaha dengan skala besar, menurut KPK, menyebabkan tekanan konversi lahan-lahan produksi bagi masyarakat desa, di antaranya 535 hektar/hari lahan pertanian hilang.

Berdasarkan uraian tersebut, tidak berlebihan apabila target pembangunan jangka menengah Indonesia tahun 2024 - yang digadang-gadang sebagai capaian terbaik - justru berlebihan karena tidak mempertimbangkan berbagai aspek, terutama dengan ketiadaan langkah strategis untuk mewujudkan target tersebut. Sehingga, apa yang dilakukan selama ini, masih wacana. Dan, kalau ada pun, akan sulit rasanya untuk diimplementasikan mengingat poltik yang dilakonkan hari ini masih pro terhadap eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan terhadap SDA. Maka, gagasan pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan pada RPJMN, jauh panggang dari api.

Pembangunan ekonomi yang selama ini kita praktikkan, masih menyandarkan diri pada ketersedian SDA dan semakin berwatak kapitalistik-neoliberal yang mengabaikan kesejahteraan dan justru menciptakan ketimpangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat yang konon menjadi tujuan pembangunan. (Abdoellah, 2016).

Gagasan pembangunan berkelanjutan untuk menghadirkan wacana lingkungan hidup pun tidak dilihat dari produk, kemajuan, dan nilai paham hijau, tetapi lebih kepada perjuangan antara kepentingan politik yang disuarakan oleh para aktor, seperti ilmuwan, politisi, aktivis, atau lainnya. (Hajer, 1995) Perjuangan implementasi pembangunan berkelanjutan terletak pada pemegang kewenangan, unsur politik, dan pebisnis yang berhadapan dengan kelompok pegiat isu pembangunan berkelanjutan.

Politik Hijau

Sejalan dengan watak pembangunan ekonomi kita yang kapitalistik-neoliberal, faktor lain yang turut berpengaruh besar terhadap upaya kita menghadirkan pembangunan berkelanjutan tahun 2024, adalah minimnya narasi politik hijau yang dihadirkan oleh para partai politik. Sebagai negara dengan demokrasi perwakilan, kehadiran partai politik memiliki peran sentral dalam membawa perubahan. Partai politik merupakan instrumen utama dalam segala tindak-tanduk pemerintahan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjadikan narasi politik hijau selayaknya aturan atau etika dari setiap gerakan yang dilakukan oleh partai politik, sehingga dapat menjadi corong untuk menyuarakan isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan.

Ketidakhadiran narasi politik hijau dalam bentuk keterwakilan formal, memang tidak menjamin rendahnya pertimbangan terhadap isu lingkungan dalam pembuatan keputusan. Namun, dalam sistem demokrasi keterwakilan, menjadi sangat penting untuk menyetarakan identitas dan menghadirkan alternatif pertimbangan. (Luthfi Hasanal Bolqiah dan Riaty Raffiudin, 2020). Menurut Hannah Pitkin, alternatif  pertimbangan itu masuk ke dalam kategori reprentasi formal, di mana kekuatan dari representasi formal tersebut adalah acting with authority.

Minimnya narasi politik hijau yang ditawarkan oleh partai politik di Indonesia, diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama, isu yang berkaitan dengan lingkungan, masih dianggap sebagai isu pinggiran yang kurang mampu mendongkrak tingkat elektabilitas dan keterpilihan di tiap pemilihan umum. Partai politik masih nyaman dengan isu kemiskinan, pembangunan jalan, pendidikan gratis, dan lainnya. Kedua, isu itu kurang mendapatkan sokongan dari para pemodal partai politik di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, biaya politik di Indonesia sangatlah mahal, maka partai politik akan membutuhkan penyokong atau donator agar bisa terlibat dalam pesta demokrasi itu. Para penyokong itulah yang didominasi oleh pengusaha yang bergerak di bidang eksploitasi SDA yang tentunya berseberangan dengan isu politik hijau.

Dikarenakan minimnya suara-suara representasi formal yang pro terhadap lingkungan, maka bentuk gerakan politik lingkungan (politik hijau) di Indonesia sampai saat ini masih diimplementasikan dengan pengajuan petisi, gugatan atas kebijakan, dan aksi mobilisasi massa, di mana gerakan lebih banyak disuarakan oleh berbagai organisasi non-pemerintah dan kemahasiswaan. Meskipun beberapa gerakan sesekali mampu mengintervensi pemerintahan (kebijakan maupun program), namun - dalam beberapa perjuangan - seringkali kandas oleh kebijakan pemerintah yang sangat otoritatif dan koersif.

Berbeda dengan Indonesia, gerakan politik hijau di sejumlah negara tidak hanya diperjuangkan oleh masyarakat, tetapi juga oleh partai politik. Misalnya, Die Grünen di Jerman, Green Party of England and Wales (GPEW) di Inggris, Partai Hijau Taiwan di Republik Tiongkok, Midori no Tō di Jepang, dan Latvijas Zaļā Partija (LZP) di Latvia. Beberapa negara pun berhasil mentransformasi partainya sebagai partai politik hijau. Per Januari 2015, ada hampir 100 partai politik (mewakili sekitar 90 negara) yang berafiliasi dengan struktur Global Greens.

Di Indonesia, pernah berdiri Partai Politik Hijau Indonesia (PHI) pada 5 Juni 2012. Partai yang diinisiasi oleh Chairul Syah itu dideklarasikan oleh para petani, buruh, dan aktivis lingkungan. Chairul merupakan mantan Koordinator WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan Dewan Penasihat YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Hadirnya partai itu diharapkan dapat berbicara lebih di pemilu tahun 2014. Namun, partai tersebut tidak bertahan lama dan bubar sebelum pemilu digelar.

Jalan Keluar

Untuk meniti jalan keluar dari politik kita yang belum mampu sepenuhnya menggelorakan dan mengimplementasikan politik hijau, menurut Botetzagias dan Van Schuur (2012), ada tiga faktor yang terkait dengan keberhasilan gerakan politik hijau, yaitu efektivitas dalam membangun persepsi, kepercayaan, nilai dan ideologi, serta identitas dan dorongan jaringan. Sayangnya, ketiga indikator tersebut belum mampu dipenuhi dengan baik.

Terkait dengan efektivitas dalam membangun persepsi, partai politik masih cenderung memiliki persepsi negatif bagi masyarakat Indonesia. Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Saiful Maujani Research Center (SMRC), sejak 2004 terdapat temuan fakta bahwa kepercayaan masyarakat terhadap institusi parpol cenderung menurun.  Pada Oktober 2014, tingkat kepercayaan masyarakat berada di titik yang cukup rendah, yaitu berkisar 40 persen. Lalu, pada 2021, menurut Timur Barat Research Center (TBRC), kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan DPR hanya sebesar 50,2 persen.

Persepsi negatif masyarakat terhadap partai politik berlaku secara general, maka pembentukan Partai Hijau di Indonesia akan mengalami hal yang sama, di mana masyarakat dapat mencapnya sama dengan partai yang sudah ada tanpa niat untuk memferivikasi, apalagi mendukung. Berangkat dari persepsi itu, akan sulit bagi partai politik hijau untuk mengubah mindset masyarakat.

Meski begitu, konstitusi Indonesia sebetulnya bisa dikategorikan sebagai green constitution mengingat Pasal 28 H UUD 1945, secara tegas dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, dalam tataran aktualisasi, tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan. Pola pembangunan kita masih bersifat antroposentris, jadi masih saja mengabaikan keselamatan lingkungan.

Hal yang sama juga berlaku untuk identitas dan jaringan. Kekuasaan yang terkonsentrasi pada segelintir orang (oligarki), telah merusak identitas dan jaringan politik hijau di Indonesia. Identitas sebagai negara yang mengedepankan pembangunan berkelanjutan, - seperti yang termuat dalam RPJMN - justru digembosi oleh kepentingan oligarki yang sampai saat ini nyaman dengan eksploitasi dan eksplorasi SDA. Intervensi itu sampai ke tahap kebijakan, misalnya dengan disahkannya Revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja.

Oleh karena itu, jika Indonesia ingin sungguh-sungguh mencapai target RPJMN 2020-2024, pemerintah harus mendorong transformasi partai politik di Indonesia yang berorientasi pada politik hijau. Itu menjadi penting untuk memastikan adanya partai politik yang mau dan mampu menjadikan isu lingkungan sebagai target utama. Selain itu, pemerintah juga harus merevisi UU Partai Politik, terutama dalam hal terkait kemudahan dalam pembentukkan partai. Sehingga, kehadiran partai alternatif, seperti Partai Hijau, dapat ikut terlibat dalam kontestasi politik di Indonesia.

***

Penulis adalah Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI). 

Tag : Masyarakat Adat Politik Hijau PP PMKRI