Oleh Umbu Adi Jawa Bara

Menulis seringkali dipahami sebagai keterampilan yang hanya menggunakan kertas dan tinta. Ada juga yang memahami menulis diartikan sebagai upaya manusia untuk mengekspresikan gagasan atau pikiran dalam berbagai bentuk.

Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, perempuan adat menulis sejarah hidupnya, keluarga, marga atau kelompok lingkungan, dan alam melalui motif-motif kain untuk laki-laki atau sarung bagi perempuan. Mereka mengekspresikan keterampilan menulis mereka melalui tenun dengan menggambar motif yang mengandung berbagai macam arti. Ada motif yang memiliki kecintaan terhadap adat dan budaya para leluhur. Semuanya memiliki arti sendiri.

Seperti, motif bunga pada kain yang melambangkan kecintaan pada alam dan lingkungan. Tenunan motif ini memiliki pesan penting agar kita senantiasa tetap menjaga alam Sumba. Motif kain tenun ini berasal dari Kabupaten Sumba Timur.

Ada juga Hinggi Kawuru, kain tenun motif kuda ini berasal dari Kabupaten Sumba Timur yang melambangkan kebesaran, keberanian, kebanggan dan status sosial. Sebab, kuda jadi salah satu hewan yang dimanfaatkan untuk transportasi di daerah ini sejak nenek moyang hingga kini.

Beda lagi dengan motif ayam jantan pada tenunan kain Sumba Timur yang melambangkan kesadaran dan pemimpin yang melindungi. Sebab, ayam setiap pagi berkokok membangunkan manusia.

Hasil Karya Perempuan Adat Sumba

Rambu Mburu Amma, salah seorang perempuan adat dari komunitas Masyarakat Adat Praing Laitaku Ndapaamu menyatakan umumnya, seluruh motif kain tenun Sumba itu tercipta dari tangan-tangan cekatan perempuan adat. Kenyataan ini membantah stigma bahwa perempuan adat Sumba hanya bisa bekerja dalam rumah tangga.

Padahal sejatinya, sebut Rambu, perempuan adat memiliki banyak bakat atau pikiran layaknya laki-laki. Ia menjelaskan tentang banyaknya motif kain tenun yang tercipta dari hasil karya perempuan adat. Semua kain tenun dimotif oleh mereka. Sebab, kata Rambu, setiap pembeli kain tenun biasanya menanyakan detail motif-motif kain sebelum membelinya. Dan kain tersebut bisa dibeli dengan harga mahal jika motif tersebut bisa dipahami maknanya dengan jelas oleh pembeli.

Rambu menyebut untuk kain tenun dari Sumba Timur paling murah dijual Rp 1,5 juta hingga yang paling mahal Rp 20 juta. Sementara, tenunan yang murah dapat dijumpai di Sumba Tengah dengan harga Rp350 ribu hingga Rp1,5 juta, di Sumba Barat juga sama Rp350 ribu hingga Rp1,5 juta. Sedangkan di Sumba Barat Daya sedikit lebih mahal sekitar Rp350 ribu sampai Rp3 juta.

Rambu menerangkan proses pembuatan kain tenun Sumba dilakukan secara tradisional dan banyak tahapan. Waktu yang dibutuhkan juga cukup lama. Biasanya untuk pengerjaan kain tenun ikat butuh waktu hingga delapan bulan. Prosesnya diawali dengan pemintalan bahan kain tenun Sumba: kapas menjadi benang. Setelah itu, diwarnai dengan pewarna alami dan akar-akar kayu dari alam.

Go International

Kain tenun ikat tradisional Sumba sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Perempuan adat Sumba turut berperan dalam menjaga kelestarian kain tenun yang sudah didaftarkan ke UNESCO sebagai kekayaan Indonesia ini. Mereka menangani seluruh proses tenun ikat mulai dari memilih motif, mempersiapkan bahan-bahan (benang, pewarna), proses penenunan sampai menghasilkan selembar kain.

Kain tenun ikat Sumba bukan sekedar souvenir, tapi merupakan jiwa dan identitas orang Sumba. Setiap helai kain yang ditenun dalam waktu lama, berisi doa-doa yang dipanjatkan oleh sang pembuat. Doa itu disematkan untuk masing-masing peristiwa penting dalam kehidupan orang yang kelak memakainya.

Wajarlah bila banyak kain tenun Sumba yang telah menjadi koleksi museum dan kolektor di luar negeri. Salah satunya di Museum Basel, Swiss yang memiliki koleksi 5.000 lembar kain tradisional Indonesia, 2.000 diantaranya adalah kain Sumba. Kain tenun Sumba, juga banyak dimiliki kolektor dan museum di Belanda, Australia, hingga Amerika Serikat.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur

Tag : Perempuan Adat Sumba Menulis Lewat Tenunan