Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Kita telah mendengar banyak kisah maupun melihat berbagai potret atas peran perempuan adat dalam bermacam hal di wilayah adatnya. Peran tersebut terhubung dengan fungsi perempuan adat sebagai subsisten di dalam keluarga maupun komunitas Masyarakat Adat, mulai dari urusan air, pangan, sandang, perkakas rumah tangga, dan lain-lain yang seringkali dianggap remeh, namun sesungguhnya amatlah pokok dan politis. Tentu saja, peran itu melekat pada perempuan adat bukan sebagai hal yang taken for granted (diterima atau diberi begitu saja). Dengan seluruh kemampuan personal dan kolektifnya - pikiran, tenaga, perasaan, dan pengalaman - dalam beradaptasi dan berinovasi, perempuan adat telah menegaskan upaya dalam mewarisi dan merawat pengetahuan dari generasi ke generasi. Kita menyadari bahwa peran maupun pengetahuan perempuan adat itu nyata mewujud di hampir setiap aktivitas yang terhubung dengan daur kehidupan dan ketahanan hidup Masyarakat Adat.

Namun, apakah kita kerap luput melihat itu sebagai hal yang penting dan strategis? Jika pun tidak, kita perlu merenungkan kesadaran lain bahwa untuk melakukan itu, perempuan adat menghadapi tantangan yang berlipat ganda dan penuh dengan ancaman. Dalam beberapa tahun terakhir, keadaan kian diperparah dengan pula hadirnya beragam peraturan dan kebijakan yang semakin mereduksi peran perempuan adat. Dan di saat yang bersamaan, menjauhkan peran perempuan adat dari wilayah kelolanya dengan maraknya perampasan wilayah adat.

Pengetahuan dan Peran dalam Situasi Menantang

Di Kampong Menteng dan Secanggang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, perempuan-perempuan adat di Masyarakat Adat Rakyat Penunggu misalnya, telah membangun kebun-kebun sayur secara kolektif di atas tanah tandus di wilayah adat yang pernah dirampas dan dijadikan perkebunan monokultur. Kebun-kebun yang diinisiasi dan dikelola oleh kelompok-kelompok perempuan adat itu pun menuai hasil dan manfaat ketika pandemi menghantam. Meski begitu, panen yang kini melimpah, tidaklah dilalui dengan mudah.

Meiliana Yumi, seorang perempuan adat, pernah menuturkan kisah bagaimana perempuan adat di sana harus berjuang keras untuk bisa kembali merawat dan mengembangkan pengetahuan kolektif yang diwarisi pada mereka dalam berkebun. Yumi bilang kalau tantangan bagi perempuan adat mengorganisasi dan membangun kebun kolektif itu tidak gampang. Ia mengungkap berbagai penolakan yang awalnya muncul dari komunitas Masyarakat Adatnya sendiri, termasuk nilai-nilai patriarki yang mengakar kuat di antara lelaki. Yumi dan para perempuan adat terus bergerak dengan memanfaatkan segala celah untuk bisa bersuara di dalam ruang pengambilan keputusan. Mereka memberanikan diri untuk menegaskan peran perempuan adat yang pernah ikut memperjuangan wilayah adat.

Saat wilayah adat kami masih dikuasai PTPN II, kami (perempuan adat) berani dan siap untuk mempertahankan wilayah adat. Kami yang terdepan karena kalau laki-laki yang di depan, itu akan berdarah-darah (penuh kekerasan). Maka, kami langsung turun pertahankan wilayah adat kami, sementara yang laki-laki melakukan advokasi dan negosiasi bersama pemerintah,” ungkap Yumi. Meski begitu, para perempuan adat kemudian ikut mengawal proses pembuatan kebijakan pengakuan hak Masyarakat Adat.

Situasi menantang seperti yang dialami Yumi pun juga dihadapi berbagai perempuan adat di seluruh penjuru Nusantara dalam mempertahankan pewarisan pengetahuan bersama dengan wilayah kelola perempuan adat, mulai dari perjuangan perempuan adat membentengi wilayah adat dari perampasan oleh perusahaan perkebunan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Tano Batak, Sumatera Utara; menjaga hutan sagu di Papua; menolak lokasi pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur; melindungi kebun bambu, bakau, dan rotan (bahan anyaman) dari perkebunan sawit dan proyek infrastruktur di Paser, Kalimantan Timur; dan sebagainya.

Apa yang dilakukan oleh perempuan adat atas pewarisan pengetahuan dan peran tersebut, merupakan upaya dalam rangka perlindungan dan pengelolaan yang berkelanjutan atas wilayah adat serta dukungan terhadap subsisten yang berdampak langsung pada kedaulatan pangan dan ekonomi Masyarakat Adat. Akan tetapi, hal yang bertentangan justru terus-menerus terjadi. Dan tekanan-tekanan itu mengondisikan perempuan adat sebagai target.

Ketua Umum PEREMPUAN AMAN Devi Anggraini menyampaikan pidato dalam perayaan HIMAS 2022. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.Ketua Umum PEREMPUAN AMAN Devi Anggraini menyampaikan pidato dalam perayaan HIMAS 2022. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Data PEREMPUAN AMAN pada Laporan Kekerasan Berbasis Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), mencatat bahwa perubahan lingkungan di wilayah adat, termasuk wilayah kelola perempuan adat di dalamnya, telah mencapai 98 persen. Secara linier, perubahan drastis dan masif tersebut telah mengakibatkan degradasi dan pelemahan yang konsisten dan kontinyu terhadap pengetahuan perempuan adat, di mana kini - mengacu pada temuan PEREMPUAN AMAN - hanya tersisa 64 persen pengetahuan perempuan adat yang masih diwariskan dari para tetua.

“Perempuan adat selalu mencoba melihat bagaimana pengetahuan itu bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi,” ucap Ketua Umum PEREMPUAN AMAN Devi Anggraini pada pidato perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang diselenggarakan di Rumah AMAN di Bogor, Jawa Barat pada 9 Agustus 2022. “Dengan seluruh hatinya, perempuan adat berupaya memastikan kemandirian kehidupan bisa dibangun oleh perempuan adat dari wilayah adatnya dengan pengetahuannya. Tapi, kalau kita melihat data bahwa lingkungan di wilayah adat sudah mengalami perubahan, artinya wilayah-wilayah produktif telah berubah menjadi konsesi: tambang, perkebunan, infrastruktur, konsevasi, transmigrasi, bahkan rezim perubahan iklim yang bicara green energy, lagi-lagi merampas wilayah adat dan wilayah kelola perempuan adat.”

Menurut Devi, situasi yang mengancam kelangsungan pewarisan pengetahuan perempuan adat itu, bukan hanya akan mempertaruhkan identitas Bhinneka Tunggal Ika, tapi juga menghancurkan generasi muda karena tak lagi mengenal adat istiadat dan menghilangkan keberagaman bangsa.

“Kami ingin mengajak kita semua untuk melihat lagi betapa mudah kita mengatakan bahwa perempuan adat ini memainkan peran yang penting dalam pengelolaan SDA. Tapi, pernahkah kita membicarakan dan melihat tantangan yang dihadapi perempuan adat dalam situasi saat ini? Peran yang harus dimainkan untuk memastikan bahwa ketahanan hidup komunitas Masyarakat Adat masih bisa berlangsung, tapi secara ironis proyek-proyek dengan beragam nama itu masuk wilayah adat dan mengambil seluruh kemandirian perempuan adat dan Masyarakat Adat untuk bisa berdaulat atas wilayah adat dan kehidupannya.”

Tentu saja, uraian yang diutarakan Devi itu mengacu pada peran penting dan strategis perempuan adat yang kerap masih dijadikan atau dianggap selayaknya pekerjaan harian yang tidak penting dan tidak strategis. Melalui pidato itu dan penegasan upaya PEREMPUAN AMAN dalam menghadirkan visibilitas perempuan adat melalui data dan penelitian yang belakangan telah dipublikasikan, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN hendak menekankan bahwa bukanlah sesuatu yang mudah bagi perempuan adat untuk berjuang menunjukkan diri hadir di dalam proses yang bisa memastikan kepentingan perempuan adat atas wilayah adatnya.

“Dalam situasi ini, yang tak terhindarkan adalah kehancuran yang ada di depan mata jika kita tidak mau melihat peran-peran ini bisa terus dipertahankan dan berlangsung. Mari, kita bersama-sama bergandeng tangan memperjuangkan bahwa pengetahuan masih terus bisa kita praktikkan dan berlangsung di wilayah adat untuk menghidupi kita dan memastikan kedaulatan, kemandirian, dan kemartabatan Masyarakat Adat tetap terjamin.”

Adalah penting bagi kita untuk kemudian menaruh hormat sekaligus mengupayakan dukungan bagi perempuan adat di seluruh Nusantara dalam mewariskan, merawat, dan mengembangkan pengetahuan maupun peran perempuan adat di dalam situasi yang menantang dan penuh ancaman saat ini.

***

Tag : PEREMPUAN AMAN Perempuan Adat SahkanRUUMasyarakatAdat HIMAS HIMAS2022