AMAN baru saja meluncurkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) dengan judul “Tangguh di Tengah Krisis.” Dari laporan tersebut, kita dapat menyaksikan betapa situasi Masyarakat Adat di Indonesia, masih diwarnai kesuraman dengan merujuk pada tren meningkatnya diskriminasi, perampasan wilayah adat, kriminalisasi, dan tindak kekerasan yang diikuti dengan penegakan hukum yang kian melemahkan Masyarakat Adat secara sistematis.

Perampasan Wilayah Adat

AMAN mencatat sedikitnya terdapat 13 kasus perampasan wilayah adat yang berdampak pada 103.717 warga Masyarakat Adat dan 251 ribu hektar wilayah adat. Ketiga belas kasus itu telah mencuat ke publik melalui berbagai pemberitaan media. Jumlah tersebut tidak menunjukkan jumlah kasus sebenarnya di lapangan yang diprediksi berkali lipat lebih banyak. AMAN menilai bahwa rezim Presiden Joko Widodo telah gagal melaksanakan mandat konstitusi untuk mengakui, menghormati, dan melindungi Masyarakat Adat.

Pada Catahu, AMAN menyoroti sejumlah kasus yang menimpa berbagai Masyarakat Adat di Nusantara, terutama Masyarakat Adat Marafenfen di Kepulauan Aru, Maluku yang menggugat perampasan wilayah adat oleh TNI AL; konflik Masyarakat Adat dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara; kriminalisasi Masyarakat Adat Dayak Agabag di Nunukan, Kalimantan Utara; pertambangan emas ilegal di lahan milik Masyarakat Adat di Desa Toruakat, Sulawesi Utara; pemaksaan pembangunan Waduk Lambo di Rendu, Nusa Tenggara Timur; pemberian Hak Guna Usaha (HGU) PT Sembalun Kesuma Emas yang melukai Masyarakat Adat Sembalun, Nusa Tenggara Barat; tambang pasir besi di Seluma, Bengkulu; penolakan izin HGU PT Sanjung Permai di Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara; kriminalisasi Kades Kinipan, Kalimantan Tengah; konflik Masyarakat Adat Dayak Bekati Riuk di Bengkayang, Kalimantan Barat; proyek food estate di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua; dan perkara terkait dengan ibu kota negara (IKN).

Apa Kabar RUU Masyarakat Adat?

Sementara itu, Catahu juga mengutarakan kabar terkini terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang hingga hari ini, tidak juga disahkan. Di sisi lain, pejabat-pejabat publik semakin sering menggunakan baju adat sebagai kamuflase atas wujud penghormatan terhadap Masyarakat Adat. Tantangan dari peraturan-perundang-undangan maupun kebijakan yang tidak berpihak pada Masyarakat Adat, semakin nyata di tengah-tengah situasi krisis ini.

Pemerintah juga memproduksi peraturan yang membuka peluang pada perampasan wilayah adat di kala RUU Masyarakat Adat tak kunjung dibahas.

Aksi protes Masyarakat Adat menuntut pengakuan hak Masyarakat Adat dan wilayah adatnya. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

RUU Masyarakat Adat berfungsi penting dalam menurunkan prinsip pengakuan konstitusi dan menjadi solusi acuan bagi peraturan sektoral terkait Masyarakat Adat. Saat ini, Pemerintah telah memberi izin seluas 35 juta hektar hutan kepada perusahaan, sedangkan sejak Putusan MK 35/2012, wilayah adat yang dikembalikan ke Masyarakat Adat melalui skema hutan adat, hanya sekitar 69 ribu hektar, padahal jumlah yang telah dipetakan mencapai 11 juta hektar, di mana hampir 240 ribu hektar dirampas atas nama Perhutanan Sosial (PS) dan lebih dari dua juta hektar menjadi tumbal investasi.

Menyoal Perubahan Iklim dan Sikap atas Pasar Karbon

Melalui Catahu, AMAN turut menaruh perhatian pada masalah lingkungan. Hal itu secara spesifik menyoroti persoalan hilangnya hak Masyarakat Adat dalam kebijakan nasional tentang perubahan iklim, kebijakan tanah ulayat (reforma agraria) yang dikooptasi rezim neoliberal, pengakuan hutan adat yang berbelit-belit, ketidakpastian hukum atas wilayah adat di pesisir dan pulau-pulau kecil, putusan Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas UU Cipta Kerja, dan Pemerintah Daerah yang belum melaksanakan implementasi produk hukum daerah terkait Masyarakat Adat.

Sementara itu, di tingkat global, wacana tentang pasar karbon semakin menguat. AMAN menilai bahwa Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNFCCC COP 26 gagal memastikan free, prior and informed consent (FPIC) (hak yang dimiliki Masyarakat Adat untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan atas setiap proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap wilayah adat maupun kelangsungan hidup Masyarakat Adat) dan grievance mechanism (mekanisme penanganan pengaduan dan keluhan) dalam Persetujuan Paris. Meskipun pada saat yang sama, koalisi yang terdiri dari berbagai negara dan donor internasional menyatakan ikrar untuk memastikan dukungan pendanaan bagi Masyarakat Adat, namun pasar karbon tetap menjadi ancaman nyata bagi wilayah adat di seluruh dunia. Perdagangan karbon sendiri didefinisikan sebagai kegiatan jual-beli kredit karbon (carbon credit) yang dianggap selayaknya “hak” bagi perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon dalam proses bisnisnya.

Bencana iklim yang terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa kita tidak punya waktu lagi. Tapi, ironisnya, COP 26 di Glasgow, Skotlandia - yang diharapkan akan menghasilkan komitmen yang lebih kuat dari seluruh negara - justru mengalami kemunduran dengan adanya pelemahan standar tentang penggunaan energi batu bara dari “penghentian bertahap” (phase out) yang disepakati dalam Perjanjian Paris, menjadi “penurunan bertahap” (phase down). Ini berarti bumi akan membutuhkan waktu lebih lama untuk membersihkan diri dari sumber energi paling kotor penyebab utama perubahan iklim.

Hal itu kelak menempatkan Masyarakat Adat sebagai penjaga 80 persen keanekaragaman hayati dunia yang sekaligus berkontribusi pada pengurangan emisi karbon dunia, semakin rentan. Pasar karbon yang diletakkan dalam mekanisme pasar, akan berpotensi tinggi menghilangkan hak Masyarakat Adat dan wilayah adatnya, termasuk akses terhadap hutan adat dan segala isinya. Absennya UU Masyarakat Adat dan lemahnya pengakuan terhadap hak Masyarakat Adat dalam berbagai UU dan kebijakan, termasuk dalam hal pengakuan atas wilayah adat, merupakan ancaman utama penerapan pasar karbon di wilayah adat, di mana negara didudukkan sebagai pihak yang berkuasa penuh atas karbon dan meniadakan hak Masyarakat Adat yang selama ini telah menjaga wilayah adat, termasuk hutan adat.

Maka, lagi-lagi, masalah mendasar masih tidak tersentuh. Kebijakan dan rencana kebijakan mengenai wilayah adat justru menunjukkan kecenderungan dalam memberi impunitas (kekebalan) terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi, khususnya perampasan wilayah adat. Watak kebijakan tentang Masyarakat Adat dan wilayah adatnya saat ini, menunjukkan pembangkangan serius terhadap konstitusi.

Ketangguhan di Tengah Krisis

Dari seluruh kondisi krisis tersebut, Masyarakat Adat masih dihadapkan pada tantangan lain, yaitu Covid-19. AMAN melihat bahwa masuknya virus mematikan itu ke sejumlah wilayah adat, terkait langsung dengan operasi bisnis perusahaan di wilayah adat yang tetap memaksakan diri untuk berjalan di tengah pandemi. Meski begitu, Masyarakat Adat telah mengupayakan banyak hal untuk menegaskan resistensi dan daya lentingnya.

 

Aktivitas Masyarakat Adat berladang di wilayah adat. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Bahkan, sejak sebelum pandemi terjadi, AMAN telah menggagas serangkaian kegiatan maupun program yang menguatkan gerakan kedaulatan pangan dan ekonomi berbasis Masyarakat Adat. Di berbagai penjuru Nusantara, gerakan tersebut telah banyak dipimpin oleh para pemuda adat dan perempuan adat. Dan ketika pandemi terjadi hingga saat ini, kegiatan-kegiatan berladang dan produksi pangan, bukan hanya tetap berjalan, tetapi juga semakin gencar. Ada banyak panen sekaligus pembelajaran yang dapat kita lihat dari hal itu untuk kemudian kita tak dapat lagi mengelak pada peran dan kedudukan strategis Masyarakat Adat sebagai solusi. Bahwa Masyarakat Adat adalah kunci atas jalan keluar dari beragam masalah, terutama pangan dan ekonomi. Dari sanalah, kita sesungguhnya telah melihat harapan. 

***

Publikasi Catatan Akhir Tahun: Tangguh di Tengah Krisis yang baru saja diluncurkan oleh AMAN, dapat diunduh dan dibaca di 

Tag : Tangguh di Tengah Krisis Catatan Akhir Tahun 2021