Oleh Apriadi Gunawan

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak pemerintah untuk mengedepankan dialog guna merumuskan penyelesaian permasalahan pembangunan Waduk Mbay (sebelumnya juga dikenal dengan Waduk Lambo) di wilayah adat milik Masyarakat Adat Rendu di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ketua Badan Pelaksana PPMAN Syamsul Alam Agus menyatakan bahwa dialog perlu segera dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat mengingat telah terjadi polarisasi di masyarakat sehubungan dengan rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) di wilayah adat milik Masyarakat Adat Rendu. Bahkan, dalam perkembangannya, terdapat 24 warga yang ditangkap dan diperlakukan tidak manusiawi oleh anggota Kepolisian Resor (Polres) Nagekeo pada 4 April 2022.

“Dialog yang akan dilaksanakan oleh pemerintah, harus netral guna menghindari praktik diskriminasi dan stigmatisasi terhadap salah satu pihak,” kata Syamsul Alam usai menghadiri dialog interaktif yang dilaksanakan di aula Polres Nagekeo pada 25 April 2022.

Dialog interaktif yang digagas oleh Polres Nagekeo itu dipimpin oleh Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata. Sejumlah pengacara anggota PPMAN ikut terlibat dalam dialog tersebut, termasuk Syamsul Alam Agus, Koordinator Region PPMAN Bali-Nusra Anton Johanis Bala, serta anggota PPMAN Wilayah Flores Herson Maximilian dan Simon. Selain itu, dialog juga menghadirkan puluhan warga yang pro terhadap pembangunan waduk tersebut.

Dialog di Polres Nagekeo itu merupakan respons atas surat permohonan PPMAN untuk melakukan dialog dua arah terkait dengan proses hukum terhadap 24 orang Masyarakat Adat Rendu, termasuk perempuan adat, yang ditangkap oleh aparat kepolisian pada 4 April 2022. Selain itu, dialog itu sekaligus menegaskan pemberian kuasa hukum oleh Masyarakat Adat Rendu maupun anggota Forum Perjuangan Penolakan Waduk Lambo (FPPWL) terhadap sejumlah advokat PPMAN.

Situasi dialog sempat berubah menjadi tidak kondusif. Sejumlah pihak yang hadir atas undangan Kapolres, dinilai tidak memiliki kepentingan atas tujuan penyelenggaraan dialog. Mereka pun melontarkan kata-kata yang tidak sepantasnya dan merendahkan wibawa penegakan hukum.

Pada kesempatan itu, para advokat PPMAN mengajak berbagai pihak agar menghentikan tindakan dalam bentuk apa pun yang dapat berpotensi memicu tindak kekerasan.

“Kami mengajak para tokoh untuk bekerja sama membangun komunikasi yang dimulai dari bawah guna meredakan ketegangan, kekhawatiran, dan sikap permusuhan agar relasi sosial di antara masyarakat sipil, dapat dibangun kembali,” ujar Syamsul Alam.

Ia meminta agar proses penegakan hukum yang dilakukan, dapat berlaku adil dan transparan terhadap semua pihak. Menurutnya, aparat penegak hukum harus mengedepankan prinsip hak asasi manusia (HAM) secara benar dan imparsial dalam mengatasi permasalahan pembangunan waduk tersebut.

Terkait dengan polemik pembangunan waduk, Syamsul mengingatkan kepada pemerintah untuk mengedepankan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) dalam proses pengambilan keputusan. Ia mengatakan persetujuan bebas tanpa paksaan itu penting didahulukan untuk memastikan partisipasi dan proses konsultasi sebelum memulai proyek yang berada di atas wilayah adat.

“Bagi PPMAN, media dialog ini cukup penting agar permasalahan dapat diurai dengan jernih dan diselesaikan secara adil dan bermartabat,’’ ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Anton Johanis Bala. Ia mengatakan bahwa kita harus mengedepankan dialog damai sebagai strategi utama penyelesaian siklus kekerasan sekaligus pembuka jalan untuk isu-isu lain, seperti ketidakadilan, diskriminasi, hak ulayat, dan sebagainya.

“Dialog yang dijalankan harus memuat prinsip FPIC terhadap para pihak yang terlibat karena merupakan prinsip atas persetujuan bebas terhadap suatu tindakan,” ujarnya.

***

Tag : PPMAN Waduk Mbay Nagekeo