Oleh Mohamad Hajazi dan Sepriandi

Putusan MK No.35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (MK 35) yang diperingati setiap tanggal 16 Mei telah memasuki masa satu dekade. Namun, putusan yang berisi ketetapan hutan adat bukan hutan negara tersebut belum dirasakan implementasinya oleh Masyarakat Adat di negeri ini.

Masyarakat Adat menilai implementasi putusan MK 35 masih jauh dari harapan. Hak dan perlindungan Masyarakat Adat sudah banyak menjadi bahasan pemerintah pusat maupun daerah, namun di lapangan masih belum diakui. Bahkan, kekerasan dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat hingga kini masih terus terjadi diberbagai belahan Nusantara.

Ketua AMAN Lombok Timur, Sayadi mengatakan pelaksanaan putusan MK 35 bukan sekedar menerbitkan peraturan, akan tetapi putusan MK 35 ini mensyaratkan pentingnya menata ulang relasi komunitas-komunitas adat yang ada, salah satunya dengan cara pemetaan partisipatif Masyarakat Adat. Ia menyatakan Masyarakat Adat harus mendorong adanya regulasi berupa Peraturan Daerah (Perda) dimasing-masing daerah yang memberikan ruang kepada Masyarakat Adat atas pengakuan terhadap hak Masyarakat Adat atas wilayah adatnya.

“Ini sebagai implementasi dari MK 35 ditingkat daerah,” kata Sayadi ditengah peringatan 10 tahun putusan MK 35 di Lombok Timur pada Selasa (16/5/2023).

Sayadi menjelaskan Masyarakat Adat tidak dapat dipisahkan dari wilayah adat, termasuk hutan adatnya. Karena, secara turun temurun dari leluhur, hutan adat adalah indentitas dari Masyarakat Adat yang menyediakan sumber daya alam yang melimpah guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, obat-obatan, dan menjadi bagian dari kebudayaan Masyarakat Adat.

Ketua Komunitas Adat Penunggu Gawah Tunak, Mahdan juga mengungkapkan hal yang sama tentang keprihatinannya terhadap implementasi putusan MK-35. Mahdan masih ingat ketika putusan MK-35 diterbitkan. Ia dan kawan-kawan seperjuangannya mengadakan ritual adat di hutan adat Gawah Tunak. Ia menerangkan hutan adat Gawah Tunak dulunya merupakan hutan adat, namun hari ini telah menjadi Taman Wisata Alam Gunung Tunak.

“Kenyataan ini semakin menegaskan betapa tidak bergunanya putusan MK-35,” katanya dengan penuh kesal.

Mahdan menyatakan belajar dari kasus ini, seharusnya putusan MK 35 juga didukung dengan Peraturan Daerah yang mengakui dan melindungi hak dan keberadaan Masyarakat Adat, lengkap dengan wilayah dan hutan adatnya.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 16 Mei 2013 telah mengeluarkan keputusan dari Judicial Review terhadap UU 41/1999 tentang kehutanan yang diajukan oleh AMAN dan dua komunitas Masyarakat Adat. Dalam putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara.

Rehabilitasi Aling-Aling Wilayah Adat Serawai

Di Bengkulu, implementasi putusan MK 35 juga belum dirasakan oleh Masyarakat Adat. Mereka masih berjuang melawan korporasi dalam mempertahankan wilayah adatnya. Bahkan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat masih saja terus terjadi hingga kini. Masyarakat Adat Pasar Seluma misalnya, sejak tahun 2020 terus berjuang melawan pertambangan pasir besi. Padahal, kawasan yang masuk izin perusahaan tersebut merupakan hutan adat Serawai Pasar Seluma.

Ketua AMAN Bengkulu, Def Tri Hardianto menyatakan apa yang terjadi di wilayah adat Serawai Pasar Seluma merupakan potret kehancuran kearifan lokal. Masyarakat di wilayah adat ini terus mengalami hambatan dalam menjaga lingkungannya. Hutan adat yang berfungsi sebagai pelindung pesisir sampai hari ini terus menghadapi tantangan dari para perusak hutan serta ancaman izin perusahaan pertambangan. Padahal, wilayah adat Serawai Pasar Seluma yang secara turun temurun disebut wilayah “Buluan” ini menjadi penopang kehidupan Berawang (mencari ikan), Berutan (mengambil makanan jenis batang untuk sayur) dan Beremis (mencari binatang sejenis kerang di pinggir pantai).

“Ini permasalahan kami, putusan MK 35 belum dirasakan implementasinya oleh Masyarakat Adat disini,” kata Def Tri Hardianto.

Zemi Sipantrim, salah seorang perwakilan Masyarakat Adat dari Komunitas Serawai Pasar Seluma mengakui bahwa sejauh ini implementasi putusan MK 35 belum dirasakan oleh Masayarakat Adat. Ia menyebut hingga kini Masyarakat Adat Serawai Pasar Seluma masih terus dirongrong oleh korporasi dalam mempertahankan wilayah adat. Namun, mereka tidak peduli dan terus mempertahankan ruang hidup Masyarakat Adat.

“Kami akan lawan segala bentuk perampasan wilayah adat,” tandas Zemi.

***

 Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu

Tag : MK 35 Serawai Gawah Tunaq