Di ujung utara tanah Minahasa tepatnya di Kabupaten Minahasa Utara, terlihat Pulau Bangka yang berhadapan langsung dengan Tanjung Pulisan serta Komunitas Likupang. Pulau ini memiliki kekayaan yang melimpah di laut dan daratannya serta dikuasai oleh komunitasnya yang bernama Babontehu Bangka. Sekarang ini pemerintahan terbagi atas empat, Desa Kahuku kemudian mekar menjadi Libas, Ehe dan Kinabuhutan serta Lihunu. Luas Pulau Bangka sekitar 4800 hektar dihuni sekitar 2829 jiwa dengan mata pencaharian nelayan dan bertani. Mereka hidup dalam suasana damai dan berkecukupan dari hasil laut dan daratan. Hal itu telah berlangsung jauh sebelum bangsa barat menyentuh perairan Laut Sulawesi dan Maluku, demikian laporan gugus kerja pengumpulan ceritera rakyat yang dipimpin oleh Pinontoan Mogot pada tahun 1854. Wilem Hadinaung dan Pinehas Lombonaung warga Desa Kahuku berkisah bahwa, kedamaian dan berkecukupan itu berakhir ketika pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan menjual mineral yang terkandung di Pulau Bangka pada tahun 2010 kepada investor asing negeri Cina, PT.Mikro Metal Perdana/ MMP untuk menambang pasir-besi di areal sekitar 2000 hektar dengan perkiran 40 juta metric ton biji besi serta investasi USD 100 juta. Mendengar bahwa ruang-hidupnya akan direbut untuk kepentingan tambang membuat Komunitas Bangka resah. Upaya memperoleh informasi lengkap tentang rencana penambangan tersebut dilakukan melalui kenalan hingga bertanya langsung kepada pihak yang berwenang ternyata positif. Pernyataan Gubernur Sulawesi Utara dan Bupati Minahasa Selatan turut memastikan kegiatan tersebut di media massa lokal. Hal itu membuat Komunitas Bangka semakin gusar. Informasi tersebut sekaligus membuat mereka sadar bahwa ruang-hidup mereka ternyata telah ditetapkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh negara. Untuk menjawab kegelisahan mereka musyawarah komunitas diselenggarakan, hasilnya ada kesepakatan untuk menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan invasi pertambangan. Berbagai upaya dilakukan baik atas inisiatif komunitas maupun bersama jaringan OMS di Sulawesi Utara dalam bentuk non-litigasi maupun litigasi. Sabtu, 17 Agustus 2013 di Desa Kahuku saat masyarakat sedang menantikan detik-detik proklamasi di area upacara pengibaran sang saka Merah-Putih dikejutkan dengan munculnya kapal angkut milik TNI Angkatan Laut diperairan Bangka yang memuat peralatan tambang milik PT MMP. Sejak awal masyarakat mencurigai beberapa aparat yang bertindak diluar kebiasaaan pada saat upacara kemerdekaan. Kecurigaan tersebut membuat komunitas lebih bersiaga untuk menghadapi hal-hal yang akan merugikan keberadaan mereka. Rencana menurunkan peralatan tambang milik perusahaan digagalkan oleh komunitas Bangka dan kapal pengangkut kembali ketempat semula. Penolakan komunitas atas rencana penambangan tersebut dijawab oleh perusahaan bersama pemerintah dengan berbagai cara, seperti merekrut tenaga kerja warga setempat, menekan murid SMP Nasional Kahuku jika orangtuanya dianggap sebagai penggerak komunitas melawan perusahaan. Menekan kepala desa untuk mengikuti rencana dan kegiatan perusahaan, mengukur pekarangan dan kebun warga komunitas untuk kemudian dibebaskan serta berbagai macam cara untuk melemahkan penolakan komunitas atas kehadiran mereka, ungkap Jon Haerani Ketua BPD Lihunu, Dance Ujung dan Reflin Kending. Senin, 30 September 2013, sekali lagi tekanan atas komunitas Bangka dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan aparat kepolisian dengan kekuatan sekitar 40 personil. Tekanan tersebut dilawan oleh komunitas tampilnya para pejuang wanita di barisan depan. Dalam aksi ini ibu-ibu memperlihatkan kemaluannya menghalau aparat agar tidak bertindak lebih jauh menekan komunitas. Sekali lagi upaya perusahaan gagal untuk menekan komunitas menyerahkan haknya, tegas Diana Tacumansang (Pejuang perempuan) dan Piterson Andaria Ketua BPD Kahuku. Upaya litigasi diinisiasi jaringan OMS Sulawesi Utara, menuntut pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan atas izin yang dikeluarkannya di PTUN. Keputusan PTUN menyatakan bahwa prosedur perizinan cacat, namun hingga laporan ini diturunkan belum ada revisi ataupun pencabutan atas perijinan yang cacat prosedur. Komunitas Bangka semakin gelisah karena berbagai upaya yang dilakukan belum memastikan status hak mereka terhadap ruang-hidupnya. Senin, 14 Oktober 2013 diadakan musyawarah komunitas Bangka di Desa Lihunu untuk memastikan perjuangan mempertahankan hak-haknya atas ruang-hidup dengan rencana memetakan wilayah adatnya untuk kepentingan klaim wilayah. Selasa, 15 Oktober 2013 musyawarah Komunitas Bangka dilanjutkandi Desa Kahuku untuk maksud yang sama. Dari musyawarah ini tergambar harapan komunitas untuk memastikan status atas ruang-hidup dengan cara memetakan wilayah daratan dan lautnya sebagai wilayah adat berdasarkan pasal 18B UUD 1945 tentang Hak Asal-Usul. Semoga harapan komunitas Babontehu Bangka menjadi kenyataan ditengah ketidakpastian hak atas hidup dan ruang-hidupnya. (***Matulandi Supit)

Writer : |