Oleh Simon Welan

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi meminta aparat kepolisian maupun Brimob (Korps Brigade Mobil Kepolisian Republik Indonesia) yang bertugas di lapangan dalam menjaga keamanan tim survei dan Balai Wilayah Sungai (BWS) di Rendu Butowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT) agar tidak melakukan tindak kekerasan dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat. Sebab, aksi perlawanan yang dilakukan tersebut merupakan bentuk perjuangan Masyarakat Adat dalam mempertahankan hak Masyarakat Adat sebagai pemilik wilayah adat di sana.

Hal itu dikatakan Sekjen AMAN saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan (6/10/2021) untuk menanggapi situasi terakhir yang terjadi di Rendu, Ndora, dan Lambo terkait dengan pembangunan Waduk Lambo.

Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa sikap arogan yang dilakukan aparat dengan memborgol tangan seorang ibu dalam aksi penghadangan di pintu masuk menuju lokasi kebun Masyarakat Adat, adalah tindakan kekerasan dalam upaya mengkriminalisasi Masyarakat Adat yang tengah berjuang mempertahankan haknya.

Rukka menyayangkan sikap aparat yang tidak mampu menahan diri dan mengontrol emosi dalam menjaga keamanan dan ketertiban situasi lapangan, padahal yang mereka jaga adalah masyarakat sipil yang tidak melakukan tindakan yang mengancam stabilitas keamanan negara.

“Masyarakat Adat Rendu, Ndora, dan Lambo bukan musuh yang mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban negara,” ucap Rukka, sehingga aparat kepolisian tidak harus menangkap dan memborgol mereka. Semestinya polisi melakukan pendekatan yang humanis untuk meredam situasi.

Ia pula menegaskan kalau intimidasi dan bentuk kekerasan apa pun yang dilakukan pemerintah maupun aparat kepolisian terhadap Masyarakat Adat Rendu, Ndora, dan Lambo dalam memuluskan pembangunan Waduk Lambo, tidak dibenarkan karena sangat merugikan Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat Rendu tengah berjaga dalam mempertahankan wilayah adatnya. Sumber foto: AMAN Nusa Bunga.

AMAN mendesak Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) untuk menertibkan dan menarik kembali pasukannya yang saat ini berada di Rendu, Ndora, dan Lambo. Kehadiran aparat di wilayah adat tersebut dinilai telah sangat mengganggu kenyamanan Masyarakat Adat dalam beraktivitas sehari-hari.

Sementara itu, Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL) Bernadinus Gaso mengutuk keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Brimob terhadap para perempuan adat yang berjuang mempertahankan wilayah adat.

Menurutnya, tindakan memborgol tangan Hermina Mawa atau akrab disapa Mama Mince, salah seorang perempuan adat asal Rendu, merupakan tindakan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang sesungguhnya tidak boleh terjadi karena mama-mama di sana tidak melakukan aksi penghadangan yang mengganggu keamanan dan ketertiban negara.

Bernadinus menuturkan bahwa perempuan adat dari Rendu, Ndora, dan Lambo melakukan aksi penghadangan terhadap tim survei dan BWS di pintu keluar dari lokasi Lowo Se karena BWS dan timnya melakukan aktivitas pengukuran wilayah adat tanpa izin Masyarakat Adat.

“Mereka layaknya pencuri yang datang merampok tanah Masyarakat Adat,” tutur Bernadinus.

Selaku Ketua FPPWL, ia mendukung aksi penghadangan yang dilakukan Masyarakat Adat karena perbuatan tidak terpuji BWS dan timnya yang arogan itu telah mengarah pada perampasan hak konstitusional Masyarakat Adat.

 “Para Perempuan Adat ini tidak melawan hukum,” ujarnya. “Mereka bukan residivis (orang yang pernah dihukum karena mengulangi tindak kejahatan), tetapi adalah pejuang yang mempertahankan hak asasi manusia, sehingga harus dilindungi dan bukan dikriminalisasi.

Pihak FPPWL pun mendesak Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Kapolda) Provinsi NTT untuk segera menarik pasukan Brimob dari Rendu, Ndora, dan Lambo mengingat tidak ada situasi darurat yang mengganggu keamanan dan ketertiban negara di wilayah adat tersebut.


Potongan gambar pada video pemborgolan Mama Mince pada Senin, 4 Oktober 2021 di jalan menuju lokasi Lowo Se di Desa Rendu Butowe. Sumber foto: Dokumentasi AMAN Nusa Bunga.

“Aparat Brimob datang hanya untuk memaksa Masyarakat Adat dan cenderung bertindak brutal anarkis,” katanya. “Oleh karena itu, kami minta Kapolda NTT untuk segera menarik pasukan karena kami tidak butuh aparat di tanah kami. Kami hanya butuh ketenangan jiwa dan raga kami dalam beraktivitas di tanah warisan Leluhur kami,” ungkap Bernadinus.

Hermina Mawa sebagai korban pemborgolan aparat, mengatakan bahwa pemborgolan atas dirinya terjadi saat ia dan mama-mama menghadang aparat Brimob dan BWS yang hendak pulang melakukan survei di wilayah adat mereka. Menurutnya, mama-mama nekat melakukan penghadangan di pintu keluar karena BWS bersama tim survei dan aparat Brimob menerobos masuk ke lokasi Lowo Se untuk melakukan aktivitas survei dan pengukuran tanah milik Masyarakat Adat tanpa izin.

“Mereka datang bagai pencuri yang hendak merampok dan merampas tanah kami, sehingga kami tahan mereka untuk meminta mereka mempertanggungjawabkan perbuatan mereka,” tutur Mama Mince. Ia menyinggung bahwa kriminalisasi dan kekerasan yang dilakukan aparat itu adalah pelanggaran terhadap hak asasinya sebagai masyarakat sipil sekaligus Masyarakat Adat yang berjuang untuk mempertahankan wilayah adat.

Mama Mince mengutarakan, polisi seharusnya menjadi alat negara yang hadir untuk melindungi, mengayomi, dan menghormati hak-hak masyarakat sipil serta menjalankan tugasnya dengan pendekatan yang humanis agar masyarakat tidak menilai buruk kinerja mereka.

“Peristiwa pemborgolan terhadap saya, sesungguhnya mencoreng nama baik kepolisian dan  menunjukan betapa tidak profesionalnya aparat kepolisian dalam menangani persoalan masyarakat sipil di lapangan,” ucap Mama Mince.

Mama Mince berharap Kapolda Provinsi NTT segera menarik aparat kepolisian dan Brimob dari Rendu, Ndora, dan Lambo serta memberi peringatan keras terhadap oknum Brimob yang melakukan tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap dirinya dan Masyarakat Adat lain.

***

Penulis adalah staf Infokom AMAN Nusa Bunga.

Berita lain terkait dengan perjuangan Masyarakat Adat Rendu dapat dibaca di sini dan perbincangan bersama Mama Mince bersama para perempuan adat pejuang dari Rendu juga dapat didengar lewat Podcast Radio Gaung AMAN pada Program Jelajah Nusantara