[caption id="" align="alignleft" width="341"] Temenggung Adat Segaru Ketungau Hilir Kalbar[/caption] Jakarta 14 Desember 2013. Rumah Pengurus Besar Aliansi Masyarakat kedatangan tamu penting dari Ketungau Sintang, Temenggung Wilman bersama 3 orang temannya membawa tumpukan kasus sengketa dengan perusahaan sawit dan aktivitas penambangan emas tanpa ijin (PETI) pada tanggal 9 Desember 2013 lalu. Mereka baru saja mengirimkan surat pada Gubernur Kalimantan Barat dengan tembusan ke beberapa Menteri dan Sekjen AMAN. Menurut informasi yang disampaikan oleh Temenggung Wilman, mereka sedang menggugat kewenangan Inspektur Perkebunan Kelapa Sawit, terkait dengan kekuasaannya atas wilayah adat di Pemkab Sintang, Pemkab Kapuas Hulu dan Pamkab Sanggau yang disebut Inspektur Perkebunan Kelapa Sawit sebagai bagian dari usaha pembangunan. Pada awal masuknya perkebunan kelapa sawit masyarakat terpecah, sebagian masyarakat menolak, sebagian lagi mendukung. “Sejak beberapa tahun silam sebenarnya tidak ada pembangunan yang bisa diharapkan, setelah perusahaan itu berjalan muncul lagi pro kontra antara sesama masyarakat. Jadi kami sebagai tokoh yang diharapkan menjadi penyambung lidah, langsung berkonsultasi dengan penguasa pemerintah daerah, mulai dari pemerintah desa, kecamatan sampai kabupaten. Namun usaha baik itu tidak ditanggapi secara positip, kemudian masalah semakin berkembang. Perusahaan memaksakan keadaan, lalu pemerintah main kuasa,” kata Temenggung memaparkan permasalahan. Sengketa Tapal Batas dan Limbah “Sekarang mereka datang membuat peta batas wilayah, itu makin hancur lagi. Selain pro kontra atas hadirnya kelapa sawit ada juga sengketa batas wilayah. Persoalan mulai muncul dari skup yang paling besar sampai skup terkecil. Kami sebagai orang tua semakin tidak mampu, tapi bukan kami tidak berbuat, malah kami memberi petunjuk,” ujar beliau melanjutkan. “Tolong pemerintah daerah, janganlah buat cara seperti ini, karena selama ini tidak pernah masyarakat bersengketa soal tapal batas. Kenapa batas itu harus dibuat sedemikian rupa? selidik punya selidik ternyata Inspektur Perkebunan Sawit dengan Pemda ada main mata,” papar Temenggung Wilman. Ada 40-an perusahaan yang tidak pernah melakukan sosialisasi kepada kami secara terbuka. Salah satu contoh, kalau kami minta mana analisis mengenai dampak lingkungannya yang dibuatkan dalam amdal? Dikatakan ada tapi tidak pernah ditunjukan. Demikian juga dengan Inspektur Perkebunan Kelapa Sawit, kalau kami bilang mana izin Anda? selalu tidak pernah ditunjukan. Dikatakan ada izin illegal, itu kami ndak ngerti. Tetapi yang kita tahu, dia belum ada izin tapi sudah bekerja. Kemudian dari tahun ke tahun masalah semakin berkembang, saatnya kami menunggu tindakan Pemkab sebagai konsekwensi jabatan dan kedudukannya, ini saatnya mereka memberi petunjuk dengan masyarakat. Kalau memang sawit itu punya izin, supaya dibina secara profesional. Sekarang terbukti, ternyata perusahaan sawit membuka lahan perkebunan sawit sambil mereka membabat hutan, kayunya entah ke mana dibawa. Kami sudah tidak tahan lagi. Intinya sekarang lingkungan kami hancur, masyarakat sudah pro kontra. Kalau salah-salah membendung bisa jadi masalah besar, karena kami ini orang awam, kemampuan kami ini terbatas untuk membendung dampak negatif. Tidak terkecuali Sintang, 14 kecamatan semua penuh dengan hamparan perkebunan sawit, tambah lagi Kapuas Hulu dan Kabupaten Sanggau. Perkebunan sawit itu setiap saat menggunakan racun kemudian membuang limbah mercuri ke Sungai Ketungau. Baik dari Kapuas Hulu maupun dari sebagian Kabupaten Sanggau ada dua sungai besar yang membawa limbah meluncur ke Sungai Ketungau. Dimanapun lahan yang didapat perusahaan sawit berada, di sana kami berbatasan, karena kami berasal dari ujung barat tanah Borneo, Kalimantan Barat ini. “Dulu kami dikenal sebagai masyarakat perbatasan mantan garis merah, sekarang kami sudah rentan, mohon minta ditangani secara serius oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat,” ujar Temenggung penuh harap.*** JLG

Writer : |