Penolakan terhadap  Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), kembali mengemuka. Kali ini, berbagai aktivis bersama Masyarakat Adat menilai bahwa penggunaan istilah “hukum yang hidup” (bukan “hukum adat”) dalam batang tubuh pasal-pasal RKUHP, berpotensi melanggar hak Masyarakat Adat. Hal tersebut juga dapat disalahgunakan oleh kelompok elit politik, sosial, dan budaya untuk melanggengkan kekuasaan di daerah.  

Ada 11 pasal dalam RKUHP (versi 4 Juli 2022) yang mengatur mengenai hukum yang hidup dan menempatkan hukum yang hidup di masyarakat, sebagai dasar pemidanaan, pertimbangan pemidanaan, dan sanksi pidana. Dalam berbagai pernyataan publik, tim perumus RKUHP mengutarakan bahwa pengaturan itu punya maksud sebagai misi dekolonisasi dan semangat melawan asas legalitas warisan kolonial Belanda. Asas legalitas materiil dalam hukum yang hidup itu mendalilkan kalau seseorang dapat dijatuhkan pidana meskipun tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur ancaman pidana terhadap perbuatannya, melainkan didasarkan pada hukum yang hidup di masyarakat. Meskipun dimunculkan seolah sebagai bentuk apresiasi terhadap hukum adat, namun pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam RKUHP itu justru berpotensi melanggar hak Masyarakat Adat. RKUHP itu pun mendefinisikan hukum yang hidup dapat memiliki kekuatan sebagai dasar pemidanaan ketika diatur dalam Peraturan Daerah (Perda).

Selain itu, muatan tersebut menjadi kesempatan pengambilalihan wewenang Masyarakat Adat untuk menjalankan hukum adatnya oleh negara, termasuk polisi, jaksa, dan hakim, sehingga penjatuhan pidana adat kepada tersangka, dapat diambil alih oleh peradilan, padahal penyelesaian sengketa adat seharusnya dijalankan dengan sidang adat. Itu bukan hanya melanggar hak Masyarakat Adat untuk menentukan nasib sendiri dan menjalankan hukum adat di dalam komunitas Masyarakat Adatnya, tetapi juga menodai prosesi sidang adat yang sakral menjadi sekadar proses formal di pengadilan.

Alasan lain adalah, dengan membekukannya ke dalam Perda, hukum adat akan kehilangan karakter khas dan dinamisnya. Di berbagai komunitas Masyarakat Adat di Indonesia, hukum adat berkembang sesuai dengan perkembangan Masyarakat Adat karena salah satunya tidak tertulis. Maka, dengan membekukannya ke dalam aturan tertulis, hal itu dapat memberikan jarak atau kesenjangan sebagai bagian (yang hidup) dari keseharian Masyarakat Adat, di mana umumnya sengketa maupun persoalan yang terjadi - bersama sanksi secara adat - dilakukan melalui musyawarah mufakat yang melibatkan berbagai unsur di dalam komunitas Masyarakat Adat.

Para aktivis juga menekankan bahaya pengaturan mengenai tersebut ke dalam Perda dengan mempertimbangkan proses penyusunan Perda yang kerap bercorak elitis, tidak partisipatif, dan mahal. Sehingga, tidak ada jaminan bagi Masyarakat Adat untuk dapat terlibat secara penuh dan bermakna serta tidak ada jaminan Perda akan dapat mengakomodasi hukum adat yang betul-betul hidup di Masyarakat Adat. Kita perlu ingat bahwa hukum adat merupakan otoritas dari Masyarakat Adat itu sendiri.

Dan dengan masih maraknya konflik yang seringkali berujung pada kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat, pengaturan mengenai hukum yang hidup di dalam RKUHP pun tidak mampu menjamin dan melindungi hak Masyarakat Adat, khususnya terhadap kasus-kasus perampasan wilayah adat oleh negara dan perusahaan.

Maka, terkait dengan gugatan tersebut, para aktivis yang tergabung ke dalam suatu koalisi masyarakat sipil, merekomendasikan sejumlah hal. Pertama, penghormatan hukum adat seharusnya bukan diatur dalam KUHP, melainkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), di mana penghormatan hukum adat oleh negara dilakukan bukan dengan mengatur substansi norma yang dinamis ke dalam hukum tertulis, melainkan mewajibkan negara (hakim) untuk menghormati keberadaan putusan adat dan hukum adat dalam mempertimbangkan perkara yang ditangani. Kedua, penempatan hukum adat secara tidak parsial, bukan hanya sebagai dasar pemidanaan, melainkan alasan meringankan, meniadakan hukuman, atau menghentikan proses peradilan pidana. Ketiga, penghormatan hak Masyarakat Adat untuk menjalankan hukum adatnya dan menyelesaikan sengketa di dalam wilayah adat atau komunitas Masyarakat Adatnya berdasarkan hukum adat yang berlaku.

Tentu saja, terlepas dari penolakan terhadap RKUHP terkait dengan hukum yang hidup, dorongan terhadap pengesahan RUU Masyarakat Adat, merupakan jalan keluar dan upaya penting untuk mengatasi sengkarut urusan dan persoalan yang menjerat Masyarakat Adat di negeri ini.

***

Tulisan diolah dari pernyataan atau rilis atas penolakan RKUHP yang dilayangkan oleh koalisi masyarakat sipil.

Tag : Masyarakat Adat RKUHP Hukum Adat