Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Perjuangan menghadirkan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (UU Masyarakat Adat) telah sejak lama dilakukan oleh AMAN bersama Masyarakat Adat di seluruh Nusantara dan banyak organisasi masyarakat sipil pendukung. Perancangan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat pertama kali dilakukan tahun 2009. Namun, sampai saat ini, mengapa Indonesia tak kunjung mensahkannya, padahal kehadiran UU tersebut bukan hanya hendak mengatasi rentetan persoalan multidimensi yang menjerat Indonesia, tetapi pula membuka peluang sebagai solusi bagi berbagai masalah, mulai dari konflik tenurial, persoalan lingkungan, hingga tantangan menjawab pembangunan yang berkelanjutan.

Lewat artikel ini, kita akan coba mengenali hal-hal tentang UU Masyarakat Adat yang penting untuk kita ketahui bersama. Pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan aspirasi Masyarakat Adat di Indonesia. Pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak Masyarakat Adat pun tak lain adalah mandat konstitusi dan perwujudan dari cita-cita Indonesia. Perjuangan menghadirkan UU Masyarakat Adat, membutuhkan dukungan kita semua.

Mari, kita coba memahami untuk kemudian bisa mendukung pengesahan RUU Masyarakat Adat!

(Baca juga artikel berjudul “Mengenal Siapa Itu Masyarakat Adat” tentang definisi dan kedudukan Masyarakat Adat sebagai subjek hukum.)

1. Bagaimana situasi Masyarakat Adat saat ini untuk menegaskan pentingnya UU Masyarakat Adat?

Keberadaan Masyarakat Adat telah diakui dan dihormati oleh Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Namun, pada kenyataannya, negara selama ini telah absen melaksanakan mandat konstitusi itu dan justru kini terdapat 32 peraturan perundang-undangan sektoral yang digunakan untuk melegalisasi perampasan wilayah adat serta menciptakan pengakuan bersyarat yang panjang dan rumit bagi Masyarakat Adat, termasuk pembentukkan Peraturan Daerah (Perda) (UU No. 41 Tahun 1999) dan Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014). Maka, Masyarakat Adat di Indonesia terus mengalami pemiskinan dan perampasan wilayah adat yang disertai dengan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.

2. Mengapa Indonesia perlu UU Masyarakat Adat?

Masyarakat Adat seringkali menjadi sasaran atas tindakan yang cenderung rasis, diskriminatif, mengeksklusi, membatasi, serta melekatkan stigma dan stereotipe. Hal itu juga termasuk pada tindakan birokrasi dan peraturan perundang-undangan yang sektoral, parsial, tumpang tindih, bertingkat, dan membatasi. Kehadiran UU Masyarakat Adat memberikan pengakuan penuh terhadap Masyarakat Adat sebagai subjek hukum yang merupakan prasayarat dari pengakuan hak tradisional atau hak asal-usul maupun hak atas wilayah adat (tanah ulayat).

3. Apa tujuan adanya UU Masyarakat Adat?

UU Masyarakat Adat memiliki tujuan untuk mengakui Masyarakat Adat dan hak-haknya; memulihkan hubungan negara dengan Masyarakat Adat; melindungi Masyarakat Adat agar dapat hidup aman, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya serta bebas dari diskriminasi dan kekerasan; meluruskan rute pengakuan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sektoral; memberikan kepastian hukum bagi Masyarakat Adat dalam menikmati hak tradisionalnya; serta menjadi dasar bagi pemerintah dalam melaksanakan pemulihan hak Masyarakat Adat, pemberdayaan, penyelesaian konflik, dan penyelenggaraan program-program pembangunan.

4. Apa isi dari RUU Masyarakat Adat?

Saat ini, draf RUU Masyarakat Adat berisi berbagai hal terkait dengan Masyarakat Adat, antara lain istilah dan definisi, asas dan tujuan, hak dan kewajiban Masyarakat Adat, kelembagaan (Komisi Nasional Masyarakat Adat yang Permanen di tingkat nasional dan Panitia Masyarakat Adat yang bersifat ad hoc di tingkat daerah); prosedur pengakuan Masyarakat Adat yang sederhana, berbiaya murah, tetapi legitimate; pemberdayaan Masyarakat Adat; serta hal-hal terkait tugas dan wewenang pemerintah; mekanisme penyelesaian sengketa dan konflik; restitusi dan rehabilitasi; dan lain-lain.

Potret wilayah adat Masyarakat Adat Mentawai di Tuapejat, Sipora Utara, Kepulauan Mentawai.

5. Berapa lama perjalanan RUU Masyarakat Adat di Indonesia?

RUU Masyarakat Adat telah berjalan selama lebih dari satu dekade. Perancangan draf RUU Masyarakat Adat pertama dilakukan pada 2009 oleh AMAN dan jaringan masyarakat sipil. Draf pun dilanjutkan dengan serangkaian konsultasi dan dialog dengan berbagai pihak. Tahun 2012, RUU Masyarakat Adat diusulkan ke DPR RI melalui Fraksi PDIP. Namun, tahun 2014, RUU tersebut gagal ditetapkan. Pada 2014, RUU Masyarakat Adat kembali berproses. Presiden Joko Widodo kala itu mengadopsi tuntutan Masyarakat Adat, termasuk pengesahan RUU Masyarakat Adat. Tetapi, hingga masa kepemimpinannya yang kedua, janji itu tak kunjung ditepati. Sejak 2019, inisiatif RUU Masyarakat Adat dilanjutkan oleh Nasdem. Perjuangan AMAN bersama Masyarakat Adat dan jaringan masyarakat sipil pun berlanjut untuk mendesak pengesahan RUU Masyarakat Adat yang terus menerus mengalami tantangan.

6. Apa tantangan pengesahan RUU Masyarakat Adat?

Ada berbagai tantangan yang dihadapi dalam upaya pengesahan RUU Masyarakat Adat, mulai dari kepentingan yang beragam, komitmen yang terbatas, hingga komunikasi dan partisipasi yang belum efektif. Saat ini, teks RUU Masyarakat Adat masih perlu dibahas lebih lanjut agar dapat menyentuh permasalahan dasar, tidak terjerat pada alur pengakuan pada peraturan perundang-undangan yang sektoral, terhindar dari potensi konflik masa lalu, serta mempermudah proses pengakuan.

7. Peluang apa yang diberikan UU Masyarakat Adat dalam mengharmoniskan kebijakan?

Kehadiran UU Masyarakat Adat berpotensi mengatasi masalah ketidakharmonisan peraturan prundang-undangan yang ada, di mana prosedur pengakuan Masyarakat Adat selama ini disusun oleh kebijakan yang sektoral. Proses pengakuan itu seperti jalan di tempat karena berbagai kebijakan disusun dengan paradigma yang pula sektoral. Pengesahan RUU Masyarakat Adat akan memberikan jawaban pada prosedur pengakuan Masyarakat Adat sekaligus menjadi rujukan dari berbagai program-program perlindungan, pemberdayaan, dan sebagainya bagi Masyarakat Adat. Maka, peraturan sektoral yang tumpang tindih itu tentu saja harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lewat UU Masyarakat Adat.

***