Oleh Nesta Makuba

Masyarakat Adat Suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, melambangkan tanah (wilayah adat) mereka selayaknya rekening pribadi yang selalu memberikan kehidupan bagi mereka.

Tokoh Masyarakat Adat Suku Awyu Frangky Woro menyatakan bahwa tanah memiliki arti penting bagi Suku Awyu, terutama marga Woro. Bagi kami, tanah ibarat rekening pribadi karena di dalamnya terdapat hutan adat yang menjadi sumber kehidupan, seperti air, flora-fauna, dan lainnya.

“Kami hidup dengan alam. Tanah dan hutan bagi kami, seperti rekening pribadi,” ungkap Frangky usai mengajukan gugatan perdata kepada Dinas Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Provinsi Papua ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura baru-baru ini.

Ia menggugat Dinas Penanaman Modal PTSP Papua itu karena telah mengeluarkan izin lingkungan hidup bagi perusahaan perkebunan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Franky pun meminta pemerintah untuk segera mencabut izin-izin perusahaan perkebunan sawit yang ada di Papua. Hal itu perlu dilakukan segera oleh pemerintah agar alam yang menjadi sumber penghidupan Masyarakat Adat selama ini, tidak punah.

“Jika tidak dicabut izin-izin perusahaan sawit tersebut, Masyarakat Adat akan hidup di mana? Semua lahan sudah dirampas oleh perusahaan sawit,” tandasnya sembari memohon kepada pemerintah untuk membantu Masyarakat Adat mendapatkan kembali wilayah adatnya yang telah dirampas oleh perusahaan perkebunan sawit.

Frangky juga mengkawatirkan nasib keluarga dari marga Woro yang tidak memliki pendidikan. Sementara itu, wilayah adat kami telah dirampas oleh PT IAL.

“Ke mana lagi kami akan tinggal?” katanya dengan nada lirih.

Emanuel Gobay selaku kuasa hukum Suku Awyu, menyatakan bahwa apa yang diperjuangkan dan dipertahankan oleh Masyarakat Adat Awyu, terutama marga Woro, merupakan implementasi dari penerapan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus di Tanah Papua. Ia berpandangan bahwa gugatan yang dilayangkan Masyarakat Adat Awyu di PTUN Jayapura, sebagai bagian dari upaya menjaga eksistensi Masyarakat Adat Awyu dalam mempertahankan haknya.

Emanuel menyatakan, seharusnya sebelum terbitnya izin lingkungan hidup yang diberikan PTSP Papua kepada perusahaan perkebunan sawit, ada sosialisasi terlebih dahulu kepada Masyarakat Adat secara transparan. Menurutnya, hal itu tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Sebaliknya, yang terjadi selama tiga kali kegiatan sosialisasi, justru dilakukan dengan cara-cara yang intimidatif.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua itu menegaskan kalau penolakan yang dilakukan Masyarakat Adat Awyu terhadap kehadiran perusahaan perkebunan sawit di atas wilayah adat, adalah karena kekhawatiran terhadap kelangsungan hutan, tanah, air, flora, dan fauna yang ada di wilayah adat.

“Ini meresahkan mereka, makanya kehadiran perusahaan sawit di Tanah Papua, ditolak oleh Masyarakat Adat,” tandas Emanuel.

***

Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat dari Jayapura, Papua.

Writer : |
Tag : Masyarakat Adat Suku Awyu Papua Selatan